Tujuan rekonsiliasi adalah mendamaikan individu, komunitas, ataupun masyarakat yang bertikai dan mengalami konflik. Selain memulihkan ikatan sosial, rekonsiliasi juga berupaya menyembuhkan luka dan trauma yang dialami, khususnya bagi mereka yang menjadi korban.
Alih-alih menyelesaikan konflik dan perseteruan, dalam konteks Indonesia, rekonsiliasi lebih dianggap sebagai kontrak politik untuk menganggap bahwa persoalan telah selesai. Hal ini bisa dilihat dengan rekonsiliasi atas nama islah di Tanjung Priok (1984) dan Talang Sari (1989). Dalam penyelesaian dua tragedi yang membantai masyarakat Muslim itu, rekonsiliasi dipahami lebih pada gerakan tutup mulut dengan memberikan kompensasi, uang, dan pekerjaan.
Sementara itu, pihak korban yang tidak mau terlibat dalam penyelesaian lewat islah dianggap sebagai orang yang tidak mau memulihkan luka sosial dan trauma. Dengan cara ini, para pelaku yang seharusnya bertanggung jawab atas kejahatan politik yang dilakukan mendapatkan impunitas dari kelemahan dan “kebaikan korban” (Akmaliah, 2009 dan 2016). Impunitas ini tidak hanya dalam level putusan pengadilan, melainkan tidak adanya hukuman sosial secara publik Indonesia sebagai bagian pelajaran ke depan.
Dalam konteks yang berbeda, setelah Pilkada DKI Jakarta yang dimenangkan oleh Anies-Sandi, seruan rekonsiliasi coba diajukan baik oleh Anies Baswedan sebagai Gubernur terpilih, Bachtiar Nasir (Ketua GNFP-MUI dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah), dan M. Amien Rais (Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, periode 2005-2008, dan Ketua Dewan Kehormatan PAN).
Pertanyaannya, apakah seruan rekonsiliasi dan mendinginkan suasana yang mereka gaungkan sebagai bagian menyelesaikan perseteruan ataukah ini sekadar kontrak politik untuk melakukan gerakan tutup mulut?
Sebagaimana kita tahu selama proses kampanye Pilkada Jakarta berlangsung, dengan menunggangi kelompok konservatif, kubu pemenangan Anies Baswedan seolah-olah diam terkait dengan ujaran kebencian di masjid-masjid Jakarta dan adanya pelarangan tidak menyalatkan jenazah kepada mereka yang mendukung Ahok.
Di sisi lain, Bahctiar Nasir bersama Rizieq Shihab melakukan mobilisasi berjilid-jilid dengan membangun sentimen kebencian agama atas nama penodaan agama yang dilakukan Ahok, yang dianggap murni tidak terkait dengan Pilkada Jakarta. Sementara itu, Amien Rais, dalam demonstrasi, dengan provokatif berupaya untuk menjegal dan terus merongrong dengan menunggangi gerakan massa guna menjebloskan Ahok ke penjara, dengan mengancam Jokowi agar tidak melindunginya secara hukum.
Mengalahkan Ahok dengan cara brutal yang mengoyak-oyak bangunan keberagamaan dan solidaritas sosial di masyarakat ini cukup ampuh. Melalui tekanan massa dengan demonstrasi berjilid-jilid atas nama agama itu juga yang membuat Majelis Hakim menjatuhkan hukuman lebih berat ketimbang putusan hukuman yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.
Ketidakadilan dan penghakiman massa melalui aksi jalanan ini membuat mayoritas, yang cenderung diam, kini mulai bersuara melalui gerakan seribu lilin di pelbagai daerah di Indonesia dan dunia internasional.
Di tengah situasi tersebut, upaya membangun keadilan yang selama ini diteriakkan untuk menghukum Ahok atas ucapan yang dianggap menodai agama, sekarang juga mulai dipraktikkan oleh negara melalui aparat kepolisian kepada Rizieq Shihab dengan tuduhan berlapis yang dilaporkan oleh sejumlah pihak. Mulai dari pencemaran nama baik Sukarno, pelecehan lambang Pancasila, penistaan agama, penyebaran ujaran kebencian, kasus palu arit dalam uang baru, penyebaran konten pornografi, dan kasus sampurasun (www.bbc.com, 16 Mei 2017).
Bachtiar Nasir terseret dalam laporan kepolisian yang dianggap menerima transfer dana sebesar Rp 1 miliar ke Turki. Selain bentuk penyelewengan dana Yayasan Keadilan untuk Semua, transfer itu terkait erat dengan Suriah. Menurut media asing, sebagaimana dikatakan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian, itu terkait dengan ISIS (News.detik.com, 22 Februari 2017).
Di sisi lain, Jokowi secara terbuka mengambil sikap keras kepada ormas ataupun individu yang ingin keluar atau mengganggu ideologi Pancasila serta pilar negara lain, yakni UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Selain akan menggebuk, Jokowi juga tidak akan tinggal diam terhadap setiap gerakan yang merongrong fundamen dasar negara Indonesia tersebut (Kompas.com, 19 Mei 2017).
Melihat kondisi di atas, seruan rekonsiliasi dan mendinginkan suasana cenderung lebih pada untuk menutup mulut dan menjalin kontrak politik dalam level elite. Maka, tawaran rekonsiliasi ini ditanggapi dingin oleh Gubernur Plt Djarot Saiful Hidayat. Menurutnya, “Kami ini kan tidak berbuat apa-apa. Kami tidak pernah berbuat melawan yang menganggap mereka lawan.”
Lebih jauh, “jika merasa sebangsa dan setanah air, kita harus saling menghormati. Kok, aneh. Kami enggak (berbuat) macam-macam, kok rekonsiliasi?” (metro.tempo.co, 20 Mei 2017).
Dengan kata lain, menawarkan rekonsiliasi dengan begitu mudah tetapi pihak yang mengajukan rekonsiliasi sendiri merupakan subyek yang telah melakukan kekerasan verbal dan luka sosial serta membangun torehan trauma kembali kepada kelompok minoritas. Apalagi, rekonsiliasi di sini dimaknai sekadar menerima apa pun vonis majelis hakim.
Jika benar-benar ingin melakukan rekonsiliasi untuk menyembuhkan luka sosial yang memunculkan efek trauma bagi kelompok minoritas di Indonesia, setidaknya menempuh empat langkah secara publik, politik, dan hukum.
Pertama, meminta maaf secara publik karena menggunakan sentimen agama dan mobilisasi di jalan untuk menghukum Ahok. Mobilisasi sentimen agama dengan ujaran kebencian di akar rumput dan masjid-masjid ini yang membentuk torehan ketakutan dan luka sebagian masyarakat, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga Indonesia dan internasional.
Kedua, adanya keadilan untuk Ahok. Pengakuan secara publik bahwa mobilisasi massa dengan menuduhkan Ahok yang dianggap menista agama itu bagian dari politik Pilkada Jakarta untuk memenangkan pasangan calon yang lain, dan, di satu sisi, memberikan keadilan atas kerja-kerja progresif yang dilakukan oleh Ahok selama memimpin Jakarta.
Ketiga, penghentian politik SARA untuk meraih dukungan. Kita harus mengakui menggunakan politik SARA sebagai jalan untuk mendapatkan kemenangan adalah cara paling busuk. Cara ini tidak hanya menggerogoti bangunan keindonesiaan melainkan juga solidaritas atas nama anak bangsa yang selama ini dibangun dengan susah payah. Cara ini juga yang kemungkinan akan digunakan dalam Pemilihan Presiden 2019 nanti.
Keempat, adanya kesadaran proses hukum untuk menegakkan keadilan tanpa memandang etnik, agama, apalagi kelas. Upaya rekonsiliasi itu bukan berarti menghentikan proses pengadilan kepada mereka yang terkena tuntutan hukum melainkan juga membiarkan gerakan kebhinekaan ini tetap tumbuh untuk menjaga Indonesia ke depan.
Tidak hanya membangun kepercayaan publik, jika keempat hal itu dipegang dan dilakukan, solidaritas sosial dengan menjadikan agama sebagai pemersatu untuk membangun toleransi akan tumbuh kembali. Indonesia sebagai imajinasi bangsa dapat dirajut kembali tidak hanya sebagai slogan tetapi juga momentum yang bisa membadan dalam keseharian masyarakat dan elit politik.
Jika tidak, rekonsiliasi menjadi alat cuci tangan dari orang-orang yang melakukan tindakan kotor melalui politik kebencian dengan jalan SARA di tengah konservatisme agama yang semakin menguat. Jika dibiarkan, politik kotor semacam ini akan terjadi lagi pada Pilpres 2019 dengan efek desktruktif yang lebih besar, tidak hanya di Jakarta, melainkan juga Indonesia.