Jumat, Maret 29, 2024

Makna Mudik bagi Partai Politik

Di Indonesia, ada yang khas dari setiap perayaan Idul Fitri tiba, yakni tradisi mudik. Tak sekadar tradisi biasa, sebagaimana Idul Fitri, mudik telah menjadi ritual yang “wajib” terutama bagi para perantau yang masih memiliki orang tua di kampung halaman asalnya.

Secara etimologis, mudik berasal dari kata “udik” dengan tambahan “m” di awal yang berarti kembali ke udik. Secara terminologis artinya kembali ke desa (udik) atau ke kampung halaman, setelah sekian lama merantau ke kota-kota besar.

Orang yang pergi merantau tujuannya bermacam-macam. Kalau tidak mencari ilmu, pada umumnya mencari kehidupan, mencari rezeki atau mencari nafkah karena di desa tempat tinggalnya sudah tidak bisa lagi menghidupinya atau sudah tidak ada lagi pekerjaan yang dianggap cocok.

Yang perlu dicatat, apa pun tujuannya, ibarat kata pepatah, setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke pelimbahan juga, sejauh apa pun orang merantau, apakah dalam perantauannya sudah berhasil sampai ke tujuan atau belum, suatu saat pasti akan pulang ke kampung halaman. Kembali ke haribaan kampung tempat orangtua yang telah melahirkannya.

Mudik bisa dijadikan kiasan untuk apa saja yang intinya bila sudah pergi jauh (apalagi yang sudah salah jalan) seharusnya kembali ke asal. Kota yang sudah terlalu ramai dan sumpek, misalnya, harus dimudikkan, dalam arti dikembalikan ke suasana asalnya, yakni desa. Karena sebesar dan seramai apa pun kota yang sejati (bukan kota instan yang dibuat pengembang) awalnya berasal dari desa juga yang lama kelamaan berkembang menjadi kota.

Di arena politik, institusi yang paling layak mudik ke asal adalah partai politik. Karena pilar demokrasi yang satu ini sudah dianggap melenceng terlalu jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Dalam banyak hal, pilar demokrasi justru membuat demokrasi menjadi rapuh, terutama akibat banyak anggotanya yang terjerat korupsi. 

Selain korupsi, jebakan oligarki membuat partai politik makin jauh dari rakyat. Para elite partai membajaknya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Partai politik diperalat oleh para elitenya untuk dua kepentingan pragmatis yang menjadi hambatan utama bagi tumbuh kembangnya demokrasi, yakni kekuasaan dan uang (baca di sini). Sejatinya, meraih kekuasaan tidak salah, sepanjang difungsikan untuk menyejahterakan rakyat. Yang menjadi masalah, pada saat tujuan kekuasaan semata-mata untuk uang.

Kekuasaan untuk uang inilah yang memperburuk citra partai politik. Mengapa kekuasaan banyak diselewengkan untuk mendapatkan uang? (baca: Wajah Korupsi). Karena kekuasaan itu sendiri diraih dengan cara membeli partai-partai, dan “menyogok rakyat” dengan “money politics”. Maka jadilah kekuasaan sebagai ladang investasi kekayaan. Modal yang sudah ditanam harus dikembalikan dengan jumlah yang berlipat ganda.

Perilaku partai politik dengan para elitenya yang seperti ini, sudah pasti akan menjadikan rakyat sebatas komoditas politik yang nasibnya persis seperti batang tebu, habis manis sepah dibuang. Setelah suaranya dipakai untuk meraih kekuasaan, rakyat segera dilupakan. Padahal, sebagai pilar demokrasi, partai politik seharusnya manunggal dengan (kepentingan) rakyat.

Olah karena itu, partai politik harus segera mudik, kembali pada kondisi asalnya sebagai pilar demokrasi, dengan fungsi-fungsinya yang konstruktif bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Sebagai pilar demokrasi, partai politik berasal dari rakyat dan harus dikembalikan untuk rakyat. Fungsi partai politik harus kembali diselaraskan dengan fungsi-fungsi demokrasi, yang menurut Robert Dahl antara lain: (1) untuk menghindari tirani; (2) menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi; (3) menjamin kebebasan umum; (4) penentuan nasib sendiri; (5) menjaga kepentingan pribadi; (6) otonomi moral; (7) perdamaian: dan (8) kemakmuran.

Untuk  mencegah tumbuhnya pemerintahan tirani, misalnya, partai-partai terlebih dahulu harus diselamatkan dari cengkeraman oligarki, dari kecenderungan kepemilikan dan hak mengendalikan partai hanya pada satu dinasti politik. Sepanjang partai-partai belum terbebas dari oligarki, selama itu pula partai-partai akan gagal membangun demokrasi yang benar.

Selain cengkeraman oligarki, yang membuat derajat partai terpuruk adalah pragmatisme. Benar bahwa partai didirikan antara lain untuk meraih kekuasaan, tapi dalam proses meraih kekuasaan itu, prinsip-prinsip dasar moral yang menjadi ideologi partai harus tetap dipertahankan. Pada saat ada pertentangan antara kepentingan kekuasaan dan asas moral, partai seyogianya lebih mementingkan asas moral.

Harus disadari betul bahwa keberadaan partai ditopang oleh dua hal, secara fisik karena adanya dukungan rakyat dalam pemilu, secara substantif karena adanya asas moral (ideologi) yang melandasi perjuangannya. Jika dua hal ini sudah hilang dari suatu partai, maka pada dasarnya partai tersebut sudah tidak ada selain hanya sebagai alat untuk meraih kekuasaan dan uang.

Karena kita tak bisa membangun negara demokrasi  yang makmur tanpa adanya partai politik, maka sekali lagi, dalam suasana hiruk pikuk arus mudik dan arus balik Idul Fitri , tentu akan sangat baik jika partai politik pun kita kembalikan pasa fitrahnya sebagai institusi yang menopang demokrasi. Inilah makna mudik bagi partai politik.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.