Setelah sukses menggerakkan demonstrasi “Bela Islam II”, 4 November 2016 yang kemudian populer dengan gerakan “411”, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) kembali menggerakkan aksi “Bela Islam III”, 2 Desember 2016 atau gerakan “212”.
212 bukan istilah asing di telinga masyarakat Indonesia, terutama bagi para pecinta cerita silat (cersil). Pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, penulis fiksi cersil, Bastian Tito, berhasil menciptakan tokoh Wiro Sableng yang populer dengan gelar Pendekar 212 lantaran ia memiliki senjata utama Kapak Naga Geni 212 dan tato angka 212 di dadanya.
Kapak Naga Geni 212 merupakan senjata berbentuk kapak besar bermata dua, di masing-masing mata bertuliskan angka 212, dengan gagang berupa seruling dan ujung gagang berbentuk ukiran kepala naga.
Di antara karakteristik dari Kapak Naga Geni 212, pertama, hanya bisa digunakan dengan tenaga dalam; kedua, gagang seruling bisa ditiup dan mengeluarkan suara dahsyat yang bisa memekakkan telinga; ketiga, mulut ukiran naga dapat menembakkan jarum-jarum beracun yang mematikan.
Seolah ingin mengadaptasi Kapak Naga Geni 212, gerakan 212 juga memiliki karakteristik yang mirip. Pertama, tenaga dalam digambarkan dengan “ghirah” keagamaan yang tumbuh dari kekuatan iman pada Allah SWT—tanpa ada ghirah, demonstrasi 212 (juga 411) tidak mungkin bisa digerakkan.
Kedua, gagang seruling bisa dianalogikan dengan tongkat komando dari para pemimpin gerakan 212 yang memiliki keampuhan untuk menggerakkan massa dengan tuntutan yang “beracun” karena, selain menuntut tangkap dan penjarakan penista agama, ada juga yang menuntut “turunkan Jokowi” karena dianggap melindungi penista agama.
Ketiga, mulut ukiran naga bisa dianalogikan dengan para agitator yang tampil di panggung demonstrasi, yang isinya juga bisa “beracun” karena—jika mencermati dari panggung demonstrasi 411—acapkali keluar ungkapan-ungkapan yang bisa dikategorikan “makar” pada pemerintah.
Keempat, last but not least, keduanya sama-sama berhubungan dengan nama “Tito”. Jika Kapak Naga Geni 212 diciptakan oleh Bastian Tito, maka gelombang magnitude gerakan 212 diperkuat oleh (tercipta dari) pernyataan-pernyataan Tito Karnavian yang tujuannya untuk meredam tapi justru semakin menyulut perlawanan.
Pro-Kontra Makar
Yang membuat gerakan 212 memiliki magnitude politik yang sangat kuat, selain identik dengan Wiro Sableng yang sangat populer, juga karena kuantitasnya yang luar biasa besar. Di samping yang tidak kalah penting adalah karena Kapolri Jenderal Tito Karnavian menengarai di dalamnya terdapat agenda makar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “makar” memiliki tiga pengertian: (1) akal busuk; tipu muslihat; (2) perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya; (3) perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Dari tiga pengertian yang semuanya berhubungan dengan “kejahatan”, yang paling kuat bobot politiknya adalah pengertian yang terakhir, yakni perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah. Apa yang ditengarai Tito sontak menyulut perdebatan di berbagai kalangan baik yang pro maupun kontra.
Bagi yang pro (setuju), ada sejumlah argumen: pertama, yang menjadi tema besar 212 adalah jargon “tegakkan hukum terhadap penista agama dan pelindungnya”. Jika kita cermati pernyataan-pernyataan (baik lisan maupun tulisan) para tokoh pendukung gerakan 411, kata “pelindungnya” sangat jelas mengarah pada Presiden Joko Widodo.
Kedua, dari tokoh-tokoh politik yang tampil di panggung gerakan 411, ada di antaranya yang dengan terang-terangan mengancam jika Ahok tidak ditangkap dan dipenjara maka Jokowi akan diturunkan. Karena rekamannya tersimpan di Youutube dan bisa dicari di Google, maka Tito pun sempat “terpeleset” mengatakan bukti makar ada di Google yang kemudian menjadi bahan olok-olok (bullying) di kalangan netizen.
Ketiga, diakui atau tidak, dalam gerakan 411 (yang kemudian disusul 212), ada anasir-anasir yang memanfaatkan (dalam bahasa Jokowi—menunggangi) seperti “aliansi tarik mandat” (ATM) dan gerakan kembali ke UUD 1945 (GKU45) yang tokoh-tokohnya terdiri dari para politisi senior dan purnawirawan perwira tinggi (tentara/polisi) yang sangat kritis terhadap Jokowi
Idealnya, baik ATM maupun GKU45, bisa dilakukan secara konstitusional, yakni melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI-MPR). Tapi, dengan melihat komposisi dan peta aliansi MPR saat ini, rasanya SI MPR tidak mungkin bisa dilakukan. Karena itu, satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah melalui revolusi seperti yang terjadi pada 1998 yang didahului dengan aski massa besar-besaran. Dengan melihat kuantitasnya, baik gerakan 411 maupun 212, sangat mungkin dimanfaatkan untuk melakukan revolusi.
Ada pun pihak-pihak yang kontra (tidak setuju) dengan pernyataan Tito, didasarkan pada argumen bahwa melihat fakta politik saat ini, tidak mungkin terjadi makar—apalagi revolusi, karena syarat-syaratnya—seperti: (1) hilang atau merosotnya kepercayaan rakyat pada pemerintah; (2) pelanggaran konstitusional yang dilakukan presiden; (3) krisis ekonomi yang parah; (4) dukungan angkatan bersenjata (TNI dan Polri); serta (5) dukungan luar negeri (terutama Amerika)—semuanya tidak terpenuhi.
Sekadar Warning
Bisa jadi, lontaran (isu) makar, hanya sekadar warning dari Tito bagi para elite politik (terutama para pimpinan partai pendukung Jokowi), dan juga bagi rakyat Indonesia yang menurut berbagai survei mayoritas merasa puas terhadap kinerja Jokowi.
Di mata seorang Tito Karnavian yang kaya pengalaman dalam menangani kasus-kasus teror di dalam negeri, potensi makar itu nyata adanya. Meskipun sulit terjadi, jika keberadaan potensinya tidak disadari, bukan tidak mungkin akan tumbuh dan menjelma menjadi kenyataan.
Reaksi kalangan elite dan masyarakat pada umumnya yang negatif terhadap isu makar tentu menjadi poin positif bagi Tito, juga bagi kelangsungan pemerintahan Jokowi.
Baca