Adalah sebuah keluguan jika seseorang mempercayai pemerintahan, yang diisi oleh tokoh-tokoh politik idola mereka, dengan membabi buta.
Sebijak apa pun pemerintahan tersebut, sehebat apa pun prestasi-prestasinya, dan seharum apa pun namanya di dunia, pastilah ada cela, yang entah mencolok atau tidak, namun berpotensi menyeleweng dari hakikat pemerintahan itu sendiri. Pada saat cela itu muncul, sudah sepantasnya kritik dilontarkan dengan dasar nalar yang tajam dan akal sehat, sepedas apa pun itu.
Masalahnya, menjadi tukang kritik adalah profesi yang tidak menyenangkan, terlebih di masa-masa sekarang. Harus diakui bahwa pemerintahan Joko Widodo telah memberikan kenyamanan, dan serangkaian program-program pembangunan yang begitu menjanjikan, sehingga menimbulkan rasa sayang tak terhingga dari masyarakat.
Namun, kedalaman rasa sayang tiap orang itu berbeda-beda. Ada yang puas hanya dengan terwujudnya infrastruktur yang merata. Ada pula yang puas dengan itu, tetapi tak tersanjung dan lanjut melontarkan kritik, semisal urusan terabaikannya sektor literasi mengingat beratnya ketetapan pajak untuk penulis.
Kemampuan untuk melihat masalah-masalah tersebut secara menyeluruh, dan rentetan energi yang seperti tak habis-habis dalam melontarkan kritik-kritiknya, memang berisiko. Layaknya individu manusia, publik memiliki karakter. Atau jika dianalogikan dengan hewan, memiliki belang.
Ketika sebagian publik melihat sesosok tukang kritik, mereka dengan segera mengidentifikasikan diri mereka dengannya. Jika karakter atau belangnya sama, maka ia kawan. Jika tidak, suka atau tidak, jadilah ia musuh.
Saya rasa, dalam banyak hal, itulah situasi yang tengah dialami oleh Rocky Gerung. Di muka, ia nonpartisan. Dan setidaknya sudah sejak 2010 silam ia mempopulerkan diri di publik sebagai oposan pemerintah yang kritis ketika ia menyampaikan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki.
Kata kuncinya saat itu adalah akal sehat, hal yang kerap lenyap baik dalam tindak-tanduk pemerintah dalam melaksanakan kebijaksanaannya, maupun rakyatnya dalam merespons berbagai isu.
Jokowi dan Prabowo, dan kubu-kubunya, memang lebih sibuk melempar dan membahas gimik: mulai dari masalah kaos, motor, sampai urusan fiksi, alih-alih substansi. Karenanya, kritik seperti yang disampaikannya secara pedas dalam acara debat populer Indonesia Lawyers Club (yang menurut saya sebaiknya harus berganti nama, karena kini sering narasumbernya bukan pengacara), cukup berkesan.
Rocky memang melemparkan argumentasi yang ekstrem terkait masalah nilai-nilai fiksi dalam kitab suci. Justru, respons pendukung kedua kubu menunjukkan hal menarik. Oposisi terlihat munafik karena cenderung bersikap diam, padahal mereka rajin menekan beberapa tokoh nasional yang dianggap menista agama.
Sedangkan, dilaporkannya Rocky terkait argumentasinya tersebut memperlihatkan bahwa pendukung pemerintah juga sama buruk dengan kubu lainnya dalam upaya memahami dan merespons sebuah persoalan.
Entah kesengajaan yang direkayasanya atau tidak, namun posisi Rocky ini mengingatkan dengan Socrates di Athena masa silam. Seperti yang ditulis Plato dalam Apology, Socrates menganalogikan dirinya sebagai seekor lalat (gadfly) yang kerap mengganggu seekor kuda hebat tapi pemalas (Athena). Tujuannya, agar sang kuda tetap cekatan dan tidak terlena; sesuatu yang membuatnya rentan celaka oleh ancaman-ancaman di sekitarnya.
Demi mengetahui hakikat kebijaksanaan, akar keadilan, dan kebaikan, Socrates berdialog dengan orang-orang Athena dari berbagai latar belakang yang dianggap bijaksana. Lawan bicaranya ia berikan pertanyaan-pertanyaan, sampai akhirnya tersudut dan tak bisa membalas, yang berarti kebijaksanaan mereka cacat.
Hal itu dilakukannya berulang kali ke banyak orang, sehingga bagi penduduk Athena ia terkesan seperti seorang bebal yang menyebalkan, pengganggu kemapanan status quo.
Apa tujuan Socrates? Banyak yang menduga bahwa ia mencoba merawat akal sehat orang-orang Athena, dan hegemoni kotanya, yang saat itu pamornya tengah jatuh setelah kalah dari koalisi Sparta pada Perang Peloponnesia.
Sederhananya, mungkin ia berharap “gangguan” berupa kritik-kritik sosial dan moral yang dilontarkannya merupakan sengatan yang dapat menjadi bahan koreksi terhadap perbaikan nalar dan akal sehat orang-orang Athena.
Namun, ternyata sengatan yang ia lakukan justru membuat marah orang-orang. Socrates dijatuhi hukuman mati oleh penguasa dengan tuduhan tak berdasar, menjadikan jejak hidupnya sebagai tragedi yang ironi, terlebih ketika pemikiran-pemikirannya masih terus dipelajari sampai sekarang. Sampai akhir hayatnya, ia tetap mengaku dirinya sebagai lalat pengganggu yang eksistensinya merupakan benefit.
Athena yang tidak mengindahkan “gangguan” Socrates tersebut nyatanya kemudian takluk oleh kekuatan-kekuatan asing. Mulai dari Makedonia, Romawi, Turki, dan lain-lain.
Kisah-kisah “lalat pengganggu” ini muncul di berbagai zaman, dan dalam situasi sosial politik yang bermacam-macam pula. Martin Luther King pernah mengaku terinspirasi dari peran Sokrates dan menganggap bahwa terkadang menyulut tensi dengan cara-cara tanpa kekerasan memang dibutuhkan agar seorang individu bangkit dari kedunguan dan mulai menggunakan akal sehatnya secara objektif.
Pendirian inilah yang menjadi dasar gerakan King dalam memperjuangkan hak-hak sipil orang kulit hitam di Amerika Serikat, dan ia dianggap berhasil akan hal itu, meski nyawanya sebagai gantinya.
Keberadaan lalat-lalat pengganggu seperti ini tidak mencederai demokrasi, bahkan memantapkannya. Rocky pernah menunjukkan niatnya bahwa ia secara pribadi setuju Jokowi diganti, dan ketika momen tersebut tiba, barulah kita bisa melihat belangnya yang sesungguhnya: apakah ia akan terus mengganggu pemerintah selanjutnya seperti yang sudah-sudah, atau justru malah diam seribu bahasa?
Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka ia tak ada bedanya dengan tokoh-tokoh bayaran (buzzer), lalat-lalat pengganggu yang bukan menghamba pada kebenaran, tetapi keberpihakan buta.
Namun sekarang, harus diakui bahwa sang lalat pengganggu telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Publik telah begitu tersengat dan bereaksi.
Kolom terkait:
Gerungisme dan Dalih Penistaan Agama
Fenomena Berkembangnya Narasi Pesimistis