Belum lama ini netizen heboh dengan patung Dewa Perang Kwan Sing Tee Koen di Tuban, yang diresmikan pada 17 Juli 2017 lalu. Patung setinggi 30,4 meter ini dinobatkan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai patung terbesar se-Asia Tenggara, yang dibangun dengan dana sekitar Rp 2,5 miliar.
Berdiri di kawasan Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban, Jawa Timur, patung ini bukan digunakan sebagai ritual pemujaan, namun sebagai simbol tentang keteguhan dan keberanian orang-orang Tionghoa di daratan maupun diaspora orang Tionghoa di lintas negara.
Publik di dunia maya heboh dengan berdirinya patung ini, yang sebagian menganggapnya sebagai pelecehan terhadap kota Tuban sebagai kota wali. Ada juga yang menganggap bahwa lebih baik membangun patung-patung pahlawan nasional yang jelas kontribusinya untuk bangsa Indonesia. Argumentasi yang muncul di media sosial mencemaskan politik internasional Tiongkok yang agresif dan mengancam kedaulatan Indonesia.
Tentu saja klaim ini mengada-ada dan mencerminkan mental inferior dalam memahami peristiwa secara sepenggal, tanpa melihat konteks yang lebih jernih. Di sisi lain, ada juga netizen yang mendukung pendirian patung ini dan menganggapnya simbol keberanian dan kebijaksanaan.
Menanggapi kontroversi ini, Pengurus Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) bidang hukum, Sofyan Jimmy Yosadi, menganggap tidak ada yang perlu diperdebatkan dalam pembangunan patung ini. Sosok Kwan Sing Tee Koen atau Kwan Kong merupakan pemujaan umat Konghucu sejak ratusan tahun lalu di bumi Nusantara. Kwan Kong dipuja menjadi ritual persembahyangan umat Bhudda. Kwan Kong juga dikenal sebagai Satya Dharma Boddhisatva atau Sanggarama Boddhisatva bagi penganut Buddha (Mahayana).
Dalam pandangan Sofyan, sejak awal pendirian patung ini, sudah ada koordinasi dengan pemerintah setempat, MUI, pihak kepolisan, dan TNI, FKUB, tokoh masyarakat dan lintas agama. Dengan demikian, komunikasi sudah dibangun secara komprehensif dan persyaratan administratif sudah diurus secara bertahap, sesuai dengan prosedur (NusantaraKini, 4/08/2017).
Apa yang terjadi dengan kontroversi patung Kwan Kong menjadi cermin betapa bias memahami kebudayaan dan sejarah Tionghoa masih terjadi. Sebelumnya, kontroversi mengenani patung sejarah Tionghoa juga terjadi dan menjadi perdebatan hangat. Monumen Laskar Tionghoa di Taman Budaya Tionghoa Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), menjadi kontroversi netizen. Monumen ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 14 November 2015 lalu. Banyak pihak yang salah sangka dan gagal paham dengan monumen ini.
Di media sosial, tersebar kabar bahwa monumen tersebut merupakan patung Po An Tui dan dianggap melecehkan nasionalisme kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan. Po An Tui merupakan milisi yang dibentuk pada pertengahan 1947. Milisi ini terdiri dari orang-orang Tionghoa serta terkoneksi dengan kelompok Westerling, pasukan tentara Belanda yang melawan kemerdekaan Indonesia.
Sekutu dan NICA mendirikan kelompok Po An Tui sebagai milisi yang dipesenjatai untuk mengganggu kemerdekaan Indonesia. Di Sumatra, Po An Tui dibentuk oleh Jenderal Ted Kelly. Ia melatih dan mempersenjatai 110 pemuda Tionghoa dan menunjuk Lim Seng sebagai komandannya (Baqir Zen, Etnis Cina dalam Pembauran di Indonesia, 2000: 10).
Po An Tui ditentang oleh orang-orang Tionghoa pro-kemerdekaan, mereka yang ikut berjuang dan mengabdikan diri di tengah deru perang dengan darah dan air mata. Go Tik Kiong, redaktur harian Kun Po, menentang pembentuan Po An Tui. Sebagai jurnalis dan aktivis pergerakan, Tik Kiong mendirikan Servant of Society untuk menentang Bond van Java yang dibentuk Belanda. Apa ganjarannya? Ia mendekam di tahanan Belanda pada Oktober 1948 (Sam Setyautama, 2008: 64)
Lalu, apakah benar monumen laskar Tionghoa di TMII sebagai patung Po An Tui? Ternyata bukan. Monumen di Taman Budaya Tionghoa Indonesia di TMII merupakan patung laskar Tionghoa yang berperang melawan VOC pada 1740-1741. Monumen ini diinisiasi oleh kelompok orang Tionghoa dari Lasem dan beberapa kota lain untuk mengingat perjuangan pada masa Geger Pacinan.
Pada perumusan konsepnya, penulis ikut dalam beberapa serial diskusi dengan beberapa tokoh Tionghoa di Lasem dan Jakarta. Penulis juga berdiskusi secara intensif dengan Romo Daradjadi, keturunan Mangkunegara yang menulis buku Geger Pacinan: Persekutuan Tionghoa-Jawa melawan VOC (2013).
Kesalahan informasi mengenai sejarah Tionghoa di Nusantara menjadi celah lahirnya kecurigaan terhadapnya. Orang-orang Tionghoa sering dianggap sebagai ‘liyan’ yang berbeda, dan bukan bagian dari Indonesia. Segala yang berbau Tionghoa dianggap kafir, atau bahkan komunis, dengan demikian harus ditentang atau dijauhi. Kegagalan memahami sejarah dan adanya jarak kultural dengan kebudayaan Tionghoa menjadi memori gelap yang seringkali memicu konflik.
Politik Ingatan dan Tionghoa Indonesia
Kedua peristiwa di atas menjadi renungan berharga untuk memahami sejarah Tionghoa sebagai (bagian dari) sejarah Nusantara. Ada cacat logika dalam memahami orang-orang Tionghoa di negeri ini, yang sering dibingkai dengan prasangka, kecurigaan, dan permusuhan. Ini politik ingatan yang diwariskan oleh era Orde Baru sebagai produk kebijakan Soeharto dan politik kolonial.
Dalam rezim politiknya, Soeharto menjadikan orang-orang Tionghoa sebagai “kambing hitam politik” sekaligus menjadi kelompok pebisnis yang menyedot keuntungan untuk dinasti politiknya. Pada awal Orde Baru, orang Tionghoa dikekang melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China. Kebijakan ini menjadikan orang Tionghoa tidak dapat mengekspresikan ritual agama kebudayaannya di ruang publik.
Pada masa kolonial, orang-orang Tionghoa juga terjepit sebagai “mesin penghisap” untuk mengambil sumber daya dan keuntungan. Pada 1816, pemerintah kolonial menerapkan peraturan passenstelsel, yang mewajibkan setiap penduduk yang bepergian memiliki surat jalan. Sedangkan, pada 1835, kebijakan wijkenstelsel diberlakukan, yang mengharuskan setiap kelompok bermukim di wilayahnya masing-masing.
Kebijakan ini, kemudian menjadikan orang-orang Tionghoa bermukim dalam kawasan pecinan, yang semakin berjarak dengan lingkungan sekitarnya. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda dan Orde Baru mengakibatkan orang-orang Tionghoa seolah sebagai “asing”, dengan beragam persepsi negatif yang berasal dari ranjau politik penguasa.
Jarak kebudayaan yang menganga ini masih belum sepenuhnya bisa dijembatani hingga sekarang. Masih ada celah-celah prasangka dalam memahami orang-orang Tionghoa dengan segenap identitas, kultur, dan khazanah pengetahuannya. Kita perlu memangkas jarak ini dengan memahami kembali sejarah kebudayaan orang Tionghoa di Nusantara.
Kelompok “gagal paham” inilah yang sering melihat orang Tionghoa dengan cara berpikir warisan kolonial dan Orde Baru. Kelompok “Muslim kagetan” juga tampil dengan prasangka yang dibumbui kebencian etnis tanpa memahami rangkaian akulturasi kebudayaan dan kontribusi sejarah yang menjadi konteksnya.
Sementara itu, sekelompok politisi arogan menggoreng isu etnis sebagai bagian kampenya untuk melanggengkan kekuasaan. Arus politik di DKI Jakarta selama setahun terakhir menjadi refleksi nyata betapa pewarisan ingatan atas Tionghoa dan simbol-simbol yang menyertainya masih berselimut prasangka.