Selasa, April 16, 2024

Konser Gue 2: Musik, Politik, dan Partisipasi Generasi Muda

Zaenal Muttaqien
Zaenal Muttaqien
Sedang studi S2 di Faculté de lettres, langues, arts, et sciences humaines, Université de Valenciennes, Perancis.

Suasana keriuhan dan antusiasme masyarakat dalam Konser Gue 2 [Sumber: www.karebatoraja.com]
Suasana keriuhan dan antusiasme masyarakat dalam Konser Gue 2, Sabtu 4 Februari 2017 [Sumber: www.karebatoraja.com]
Detik-detik menjelang hari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, salah satu utak-atik politik tim pemenangan bisa dibaca pada pergelaran musik di Ex-Driving Range Senayan, Jakarta Pusat. Pagelaran musik bertajuk Konser Gue 2 yang berlangsung pada Sabtu lalu (4/2/2017) dimeriahkan oleh Grup Band Slank dan sejumlah artis lainnya, seperti Tompi, Krisdayanti, dan Iwa K.

Walaupun terbatas pada sokongan moril, penyelenggaraan konser musik tersebut tentu tidak boleh dimaknai sebagai seremoni belaka. Kehadiran para seniman layar kaca di tengah masa kampanye diharapkan dapat menjadi jembatan antara pasangan calon dengan calon pemilih, khususnya kawula muda.

Berdasarkan rilis riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), persentase pemilih muda dalam Pilkada DKI Jakarta berjumlah 25 persen. Jumlah itu diperoleh dari hasil survei SMRC dalam rentang waktu dua bulan, yakni antara Juni dan Juli tahun 2016.

Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan, memperkirakan apabila jumlah itu ditanggapi secara serius dalam gelaran Pilkada DKI Jakarta 2017 nanti, bukan tidak mungkin partisipasi aktif pemilih muda menjadi kunci sukses diraihnya kursi hangat DKI 1.

Kaitannya dengan pemilih muda, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta Bidang Sosialisasi, Betty Epsilon Idroos, mendefinisikan lebih lanjut apa itu pemilih muda dan pemilih pemula. Definisi itu diutarakan pada saat penyampaian laporan penetapan daftar pemilih sementara (DPS) DKI Jakarta di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, pada 9 November 2016 lalu.

Betty Epsilon mengatakan, pemilih pemula adalah pemilih yang berusia di antara 17-21 tahun. Jumlahnya berada pada angka 10,07 persen, yakni 718.571 orang dari 7.132.856 orang DPS DKI Jakarta. Sedangkan untuk kategori pemilih muda ialah berusia 17-30 tahun. Total persentasenya sebanyak 28,97 persen atau 1.347.855 orang. Besaran jumlah pemilih pemula dan pemilih muda ditetapkan oleh KPU DKI Jakarta pada 2 November 2016.

Dengan merujuk angka persentase di atas, sangatlah beralasan jika acara konser musik itu memperlihatkan kentalnya target politik, yakni mendekatkan pasangan calon Ahok-Djarot dengan para calon pemilihnya, pemilih pemula, dan pemilih muda. Melalui sajian panggung para idola, segmen pemilih ini diproyeksikan akan mengisi slot suara secara penuh.

Sebenarnya, pelibatan acara musik dalam politik bukanlah sesuatu yang baru. Di Indonesia, fenomena suguhan musik dalam politik sejatinya sudah dikenal sejak lama. Contoh yang paling mudah dapat ditemukan pada musik Dangdut.

Di dalam buku Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music (2010), antropolog dari Universitas Pittsburg, Amerika Serikat, Andrew N. Weintraub menuturkan bahwa, meskipun musik dangdut dianggap sebagai musik “rakyat” yang kerap dianggap sebagai musik “kelas dua” (kelas bawah), nyatanya mampu menjangkau massa yang tidak sedikit di Indonesia. Hal itu menyiratkan adanya peluang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politis, yakni meraup suara dari para peminat dangdut yang jumlahnya cukup signifikan.

Berbeda dengan konteks Indonesia, di negara Inggris, model mengaitkan musik dengan politik dikenal sebagai sebuah gerakan yang terinspirasi oleh gerakan pemuda di Amerika Serikat. Gerakan itu bernama Rock the Vote yang diperkenalkan pada tahun 1996 di kota London. Kemunculan Rock the Vote (1992) dilatarbelakangi oleh partisipasi para pemilih di bawah usia 25 tahun yang tidak optimal, yakni hanya mencapai 61%. Jumlah tersebut dirasa kurang, terutama bila dibandingkan dengan porsi keikutsertaan para pemilih dewasa yang mencapai 75%.

Mengutip pernyataan Heath dkk. dalam Understanding Political Change: The British Voter 1964-1987 (1991), para pemilih muda tidak begitu tertarik pada dunia politik, karena area itu dianggap masih baru. Selain nuansa partai politik yang menuntut serba loyal dan cenderung kaku, politik juga dianggap asing dan tidak relevan dengan kawula muda yang belum memasuki usia dewasa.

Namun, apabila kita melihat konteks Indonesia lewat Pilkada DKI, ternyata generasi muda ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya tak acuh pada politik. Di usia yang masih muda, memperkenalkan politik dengan kemasan baru, salah satunya dengan menyisipkan konser musik di tengah masa kampanye, merupakan keputusan yang tidak sia-sia. Bahkan, tidak hanya menghibur, cara ini sedianya mengejawantahkan 3 (tiga) buah strategi politik sekaligus.

Pertama, memperkenalkan pasangan calon dengan para calon pemilihnya secara lebih dekat. Tujuan persuasif ini diyakini sangat sesuai dengan dunia kepemudaan. Sebab, dibandingkan dengan bentuk lain, umpamanya debat kandidat pasangan calon atas program kerjanya, pendekatan politik dengan tampilan menghibur diposisikan sebagai sebuah ajakan yang tanpa disadari perlahan mengerucutkan pilihan mereka.

Kedua, mendapatkan peta pemilih secara lebih jelas. Dengan menampilkan dukungan dari para artis, para pemilih muda diarahkan untuk juga masuk ke dalam lingkaran yang sama. Hal itu bisa diartikan sebagai perekat dukungan agar tidak pecah pada saat pemilihan suara datang. Secara sosiologis tingkat solidaritas para pemuda pun dikenal kuat dan menjadi nilai positif untuk penggalangan dukungan.

Ketiga, mengetengahkan para artis di masa kampanye berarti mengundang media massa, baik cetak maupun elektronik, untuk ikut terlibat. Pertimbangan ini didasari oleh faktor pemenuhan rasa ingin tahu para penggemar atas figur-figur yang mereka cintai. Pemenuhan rasa ingin tahu ini dapat kita lihat dalam momen kunjungan paslon Ahok-Djarot ke markas Slank di Jalan Potlot, Pancoran, Jakarta Selatan.

Jika langkah kombinasi antara musik dan kampanye politik berjalan sesuai rencana, maka apa yang diramalkan oleh Niel Spencer, Observer Review (1996), akan terjawab dalam konteks akomodasi politik. Yakni bahwa salah satu penentu suksesnya sebuah pemilihan umum adalah bagaimana pasangan calon membangun relasi dengan kelompok yang mengantongi pengikut yang tidak sedikit. Dalam konteks Ahok-Djarot, salah satu kelompok yang dimaksud adalah grup musik Slank.

Akan tetapi, perlu juga ditekankan bahwa janji-janji politik yang menyinggung kebutuhan para pemilih merupakan alasan lain jatuhnya pilihan mereka pada salah satu pasangan calon. Pada umumnya, pemilih muda sangat tertarik pada tawaran program kerja yang bisa menjawab kebutuhan personal dan sosial mereka secara langsung.

Sepengamatan saya, di koridor personal, terdapat pendidikan yang baik dan peluang kerja yang besar sebagai hal yang paling penting dan genting. Sementara dalam aspek sosial, mereka cenderung serius mempertimbangkan kualitas pasangan calon pada isu pemberantasan korupsi serta pembangunan akses transportasi yang mudah sebagai solusi konkret untuk permasalahan mobilitas di Ibu Kota Jakarta.

Zaenal Muttaqien
Zaenal Muttaqien
Sedang studi S2 di Faculté de lettres, langues, arts, et sciences humaines, Université de Valenciennes, Perancis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.