Jumat, April 19, 2024

Khilafah Islamiyah dan Sejumlah Ketidakmungkinan

Anick HT
Anick HT
Aktivis Pusat Studi Pesantren dan Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)

Hizbut Tahrir Indonesia [Sumber: Google images]
Apakah gerakan Khilafah Islamiyah mengancam Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut tentu tidak sekadar ya dan tidak. Bukan hanya karena gerakan ini masih terlalu kecil untuk menjadi ukuran ancaman, namun juga karena pada diri lembaga pengusungnya pun detail prinsip dan konsepsinya belum nampak dijalankan secara utuh.

 

Mereka menolak demokrasi dan menganggap pemerintahan yang ada sebagai thaghut, namun mereka menjalankan kehidupan sehari-hari berdasarkan aturan main yang diproduksi oleh thaghut. Mereka menolak pemilihan umum, namun pada saat yang sama menikmati hasil produksi pemilu tersebut memimpin kehidupan politik mereka.

Di luar perdebatan tentang ancaman itu, nampaknya kekhawatiran beberapa kalangan bisa dianggap berlebihan, mengingat beberapa hal menunjukkan ketidakmungkinan mewujudnya Khilafah Islamiyah seperti yang telah dikonsepsikan sedemikian rupa oleh Taqiyuddin an-Nabhani.

Pertama, prinsip-prinsip dalam Khilafah Islamiyah melawan hukum besi zaman. Zaman bergerak telah sedemikian maju, dan zaman memiliki semacam hukum besi yang membuatnya tidak mungkin mundur ke belakang. Sementara, prinsip-prinsip pemerintahan yang disebut sebagai Daulah Islam dengan sistem khilafah sama sekali tidak memenuhi syarat untuk menjawab segala persoalan kekinian. Kompleksitas masalah pengelolaan relasi antara negara dengan warganya, pengelolaan ekonomi, sama sekali tidak terlihat terjawab oleh skenario khilafah ala an-Nabhani.

Narasi prinsipil yang menjadi dasar perumusan Khilafah Islamiyah adalah narasi perang, narasi imperialisme, dan penaklukan. Bentuk pengelolaan pemerintahan yang ditawarkan juga bahkan tidak memiliki preseden dalam sejarahnya.

Jika yang disebut sebagai Khilafah Islamiyah adalah masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin, misalnya, justru pergantian kekuasaan pada masa tersebut menunjukkan tidak adanya sistem baku yang diterapkan. Abu Bakar diangkat secara aklamasi; Umar diangkat melalui wasiat; Utsman diangkat melalui tim formatur yang diprakarsai Umar; dan Ali diangkat melalui aklamasi.

Untuk sekadar menyebut contoh lain bahwa konsepsi turunan dari Daulah Islamiyah juga penuh paradoks dan memperkuat ketidakmungkinan penerapannya; keharusan menghapuskan mata uang dan penyeragaman mata uang menjadi emas dan perak.

Kedua, aliran-aliran dalam Islam tidak mungkin disatukan. Menyatukan Islam dalam satu payung ideologi, akidah, apalagi pemerintahan, adalah sesuatu yang mustahil, dan bahkan melawan sunnatullah. Keragaman Islam adalah entitas yang natural. Keragaman telah ada dengan sendirinya (sunnatullah). Praktis, sejak ditinggal oleh Rasulullah SAW, tidak ada rujukan yang bisa dijadikan pegangan, akidah yang mana yang lebih benar dari akidah yang lain. Dengan segera bermunculan kelompok-kelompok yang berbeda akidah, hingga saat ini.

Perlu dicatat, mereka berbeda, bahkan berlawanan secara akidah, bukan hanya syariah, dan bukan hanya pada persoalan khilafiyah. Apalagi dalam konteks saat ini, ketika perbedaan aliran dalam Islam sudah sedemikian meluas, meruncing, dan masing-masing aliran juga memiliki pengikut fanatiknya sendiri. Dalam hal ini, gerakan unifikasi Islam justru akan menemukan ketidakmungkinannya sejak di langkah pertama: kesepakatan mengenai adakah yang disebut sebagai daulah Islam, negara Islam.

Jika pun persoalan itu selesai dan disepakati oleh semua golongan, maka ribuan persoalan berikutnya yang melahirkan ribuan pandangan dengan hujjahnya masing-masing harus dipertarungkan. Apalagi, jika dilihat lebih jauh, alih-alih melenturkan dirinya sehingga menjadi payung pemersatu yang cukup besar, Hizbut Tahrir bukan hanya menegasikan ideologi yang jelas berbeda secara mendasar, namun juga mengeksklusi “teman seperjuangan”-nya yang memilih metode berbeda untuk memperjuangkan syariat Islam.

Mereka juga mengkritik dengan keras Partai Keadilan Sejahtera, misalnya, yang memperjuangkan syariat Islam dan memilih kompromi dengan arus demokrasi dengan membentuk partai politik resmi. Bagi mereka, berpartai berarti turut melegitimasi pengambilan keputusan dengan voting. Padahal, bagi mereka, tidak mungkin memutuskan sesuatu berdasarkan suara terbanyak.

Pengambilan keputusan harus mengacu kepada kesesuaian dengan syara’, karena kedaulatan tertinggi ada pada syara’, bukan jumlah manusia yang setuju atau tidak setuju. Meski tentu saja, pada titik ini mereka seakan lupa bahwa manusia jualah yang menentukan mana yang syara’ mana yang bukan.

Ketiga, ketidakmungkinan menyatukan beberapa negara. Hizbut Tahrir menyatakan bahwa saat ini tidak ada satu pun bentuk pemerintahan yang memenuhi syarat disebut sebagai Daulah Islam, karena Khilafah Islamiyah bukan kerajaan, bukan pula republik atau demokrasi. Daulah Islam bukan Saudi Arabia, bukan Iran, bukan Mesir, dan bukan Indonesia.

Jangankan menyatukan seluruh negara yang dianggap sebagai negara Islam atau negara Muslim, saat ini bisa dibilang mustahil menyatukan dua negara saja menjadi satu. Apakah Saudi Arabia yang Wahabi akan bersedia dipimpin oleh Iran yang Syiah? Atau, apakah yang Wahabi dan Syiah bersedia melebur begitu saja dalam payung besar ideologi Hizbut Tahrir? Apakah negara-negara yang telah berdaulat itu akan merelakan kehilangan privilese dan melebur dalam sebuah daulah yang kekuasaannya memusat pada satu orang manusia?

Agar nampak lebih dramatis, perlulah sedikit disinggung bahwa yang disebut negara-negara Muslim pun saat ini lebih banyak yang menyatakan Hizbut Tahrir sebagai organisasi terlarang. Sebut saja Saudi Arabia, Mesir, Turki, Tunisia, Pakistan, Bangladesh, dan bahkan Yordania—negara tempat organisasi ini dibesarkan. Tragisnya lagi, pusat organisasi ini berada di Inggris, sebuah negara demokrasi yang ditentangnya. Dan demokrasilah yang melindungi eksistensi mereka.

Keempat, mewujudkan khilafah berarti membubarkan negara yang ada saat ini. Jika Indonesia menyepakati berdirinya khilafah, hal itu berarti membubarkan NKRI dan membentuk ulang negara Indonesia. Dengan segala konsepsinya, mendirikan khilafah dalam konteks Indonesia berarti mengubah konstitusi dan dasar negara, Pancasila. Mungkinkah? Dengan mudah dijawab bahwa perubahan konstitusi UUD 1945 pada tingkat yang sangat ekstrem seperti itu mustahil dilakukan.

Apakah mungkin mengubah Pembukaan UUD 1945 yang berisi dasar negara Pancasila? Konstitusi kita dengan jelas menyebut bahwa mengubah Pembukaan UUD 1945 sama artinya membubarkan negara. Begitu juga mengubah bentuk negara NKRI menjadi Khilafah tidak dimungkinkan oleh UUD 1945.

Pasal tentang bentuk negara NKRI itu sudah final dan tidak boleh diganggu gugat, demikian digariskan oleh UUD 1945. Lihatlah Pasal 37 ayat (5): “Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Atas dasar segala ketidakmungkinan itu, tentu dengan mudah bisa disimpulkan bahwa sejauh ini, konsepsi gerakan khilafah Islamiyah belum menjadi ancaman terhadap Pancasila secara ideologis.

Namun, tentu ini harus dibedakan dengan tindakan-tindakan yang jelas dilakukan melawan hukum negara yang berlaku. Sejauh mereka menaati peraturan yang berlaku, meski dianggap sebagai peraturan thaghut, mereka masih layak untuk hidup secara sah di negeri demokrasi ini. Tentu akan lebih fair jika kita mendukung Hizbut Tahrir Indonesia menjadi partai politik resmi yang bertarung dan berkompetisi dengan partai politik nasional lain untuk membuktikan apakah dirinya bisa diterima rakyat Indonesia atau tidak.

Kita akan lihat sejauhmana HTI bisa berlama-lama bergandengan tangan dengan Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Ansharut Tauhid, Jemaah Islamiyah, dan seterusnya untuk membuat satu payung besar menuju terwujudnya Khilafah Islamiyah. Kita juga akan lihat sejauhmana HTI ketika menjadi partai bisa berkoalisi dengan PKS, PPP, PAN, dan sebagainya. Namun, nampaknya itu juga bukan pilihan HTI.

Jika demikian, tentu saja saran saya untuk para pejuang khilafah: jadilah penggerak khilafah yang kaffah: Tak hanya anti-pemerintahan thaghut, anti-upacara bendera, anti-demokrasi, dan anti-pemilu, namun juga anti-KTP, Surat Kelahiran, Surat Nikah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan anti-tinggal di wilayah darul kufr. Tak perlulah membuat surat pemberitahuan kepada polisi thaghut untuk menyelenggarakan demonstrasi.

Baca juga:

Keragaman Agama Itu Sunnatullah

Dalam NKRI Tak Ada Orang Kafir!

Anick HT
Anick HT
Aktivis Pusat Studi Pesantren dan Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.