Ini kisah khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah. Khalifah Hisyam bin Abdul Malik menggantikan Abang tirinya (berlainan ibu), yaitu Yazid bin Abdul Malik. Saat Yazid wafat, Hisyam sedang berada di luar Damaskus, tepatnya di villanya yang berada di area Zaitunah. Seorang utusan datang membawa surat pemberitahuan ihwal wafatnya Khalifah Yazid dan membawa cincin khalifah serta mengabarkan bahwa Yazid telah mewasiatkan Hisyam sebagai penggantinya.
Hisyam, yang ibunya telah dicerai ayahnya saat dulu melahirkannya, segera berangkat dikawal menuju Damaskus untuk menerima bai’at sebagai khalifah.
Dalam tulisan Khalifah Ketujuh Umayyah: Sulaiman yang Narsis, saya telah mengisahkan bahwa saat Umar bin Abdul Azis diumumkan sebagai khalifah, wajah Hisyam tertunduk lemas karena berharap dialah yang diangkat sebagai khalifah. Namun ternyata Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik malah menyebutkan nama Umar dan kemudian Yazid bin Abdul Malik. Jadi, Hisyam menunggu sekitar 6-7 tahun, diselingi dua khalifah, Umar dan Yazid, sebelum akhirnya dia berkuasa pada usia 34 tahun.
Dari jalur ibunya, Hisyam merupakan keturunan al-Walid bin al-Mughirah, seorang pembesar Quraisy yang sangat anti-Islam. Beberapa ayat al-Qur’an secara tidak langsung merujuk pada peristiwa yang melibatkan al-Walid bin al-Mughirah. Misalnya, Surat Abbasa yang turun di saat Rasulullah SAW sedang berusaha menarik hati pembesar Quraisy, termasuk al-Walid bin al-Mughirah ke dalam Islam, lalu datang Ibn Umm Maktum, seorang buta yang hendak bebricara dengan Rasulullah.
Atau Surat al-Kafirun yang turun di saat sejumlah pembesar Quraisy, termasuk al-Walid al-Mughirah, menawarkan agar Rasul mau berkompromi dengan cara hari ini menyembah Allah, dan esoknya menyembah Tuhan mereka, lantas turun ayat yang sangat terkenal, “lakum dinukum waliyadin”. Kesemuanya itu melibatkan al-Walid bin al-Mughirah.
Saat Hisyam menjadi Khalifah, dia mengangkat pamannya dari jalur ibu Ibrahim bin Hisyam bin Ismail sebagai gubernur di Madinah dan memilihnya sebagai Amirul Hajj (pemimpin jamaah haji). Imam al-Thabari menceritakan beberapa anekdot bagaimana Ibrahim yang tidak mengerti apa-apa memimpin jamaah haji.
Misalnya, pada tahun 105 Hijriah, Ibrahim (paman Khalifah Hisyam) membuat kehebohan karena berkhutbah sebelum zuhur di hari tarwiyah. Padahal tradisi saat itu berkhutbah setelah matahari tergelincir. Ulama Mekkah saat itu, Atha bin Abi Rabah, sudah mengingatkan Ibrahim akan waktu berkhutbah namun Ibrahim salah paham dan akhirnya gagal paham.
Pada tahun 109, Ibrahim bin Hisyam membuat kehebohan lagi saat kembali memimpin jamaah haji. Pada 11 Zulhijjah, dia memberi khutbah dengan membanggakan keturunanya, “Tanyalah apa saja kepadaku, aku akan bisa menjawabnya karena aku lebih tahu dari kalian. Akulah keturunan seorang yang tersendiri dan sangat unik (al-wahid).” Nepotisme keluarga membuat Khalifah Hisyam memilih pamannya ketimbang memilih orang terbaik sebagai gubernur Madinah dan amirul hajj.
Sadar bahwa banyak desas-desus akan kebodohannya, maka Ibrahim bin Hisyam ingin membuktikan pada khalayak bahwa dia orang yang sangat pintar. Bahkan dengan mengandalkan menyebut keturunannya, yaitu al-Walid bin al-Mughirah, yang disebut dalam Surat al-Mudatssir ayat 11 sebagai “wahidan”.
Celakanya, Ibrahim yang sangat bodoh ini tidak paham bahwa konteks ayat 11 Surat al-Mudatssir menyebut a-Walid bin al-Mughirah itu dengan kehinaan bukan dalam konteks membanggakan atau memuliakannya. Karenanya menjadi tambah lucu ketika Ibrahim justru membanggakan “kepandaian”-nya dengan menunjukkan “ketidaktahuannya” atas kecaman al-Qur’an terhadap kakeknya.
Apa boleh buat, memang dari dulu ada orang yang hanya mengandalkan satu ayat tanpa paham tafsir dan asbabun nuzul-nya dan tidak malu mempertontonkan kebodohannya itu.
Diriwayatkan dan disahihkan oleh al-Hakim, yang bersumber dari Ibnu‘Abbas. Sanad hadits ini sahih menurut syarat al-Bukhari. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim bahwa al-Walid bin al-Mughirah datang kepada Nabi. Kemudian beliau membaca al-Qur’an kepadanya sehingga ia pun tertarik. Berita ini sampai kepada Abu Jahl, sehingga dia sengaja datang kepada al-Walid sambil berkata: “Hai Paman! Sesungguhnya kaummu akan mengumpulkan harta untuk diberikan kepadamu dengan maksud agar engkau mengganggu Muhammad.”
Al-Walid berkata: “Bukankah kaum Quraisy telah mengetahui bahwa aku yang paling kaya di antara mereka dan paling punya banyak anak?” Selanjutnya Abu Jahl berkata: “Kalau demikian, ucapkanlah sebuah perkataan yang menunjukkan bahwa engkau ingkar dan benci kepadanya (Muhammad).”
Al-Walid berkata: “Apa yang harus aku katakan? Demi Allah tidak ada seorang pun di antara kalian yang lebih tinggi syairnya, sajaknya, ataupun kasidahnya daripada gubahanku, bahkan syair-syair jin pun tidak ada yang mengungguli aku. Demi Allah, sepanjang yang aku ketahui, tidak ada yang menyerupai ucapan Muhammad sedikit pun (maksudnya ayat al-Qur’an). Demi Allah, ucapannya manis, bagus, indah, gemilang dan cemerlang. Ucapannya tinggi, tak ada yang lebih tinggi daripadanya.”
Abu Jahl berkata: “Kaummu tidak akan senang sebelum engkau menunjukkan kebencianmu kepada Muhammad.” Al-Walid berkata: “Baiklah aku akan berfikir dahulu.” Setelah berfikir dia pun berkata: “Benar, ucapan Muhammad itu hanyalah sihir yang berkesan, yang memberi pengaruh jelek kepada yang lainnya.”
Maka, turunlah ayat ini (Al-Muddatstsir: 11: “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian” sebagai ancaman kepada al-Walid bin al-Mughirah. Ayat 26 tegas mengatakan “Kelak Aku akan memasukkanya ke dalam (neraka) Saqar.”
Imam al-Qurtubi, Imam Suyuthi, dan Imam Ibn Katsir sepakat mengatakan rangkaian ayat 11-26 Surat al-Mudatssir ditujukan kepada al-Walid bin al-Mughirah.
Jadi, jangan cepat bangga kalau nenek moyang Anda dirujuk oleh ayat al-Qur’an. Jangan-jangan Anda orang Arab keturunan Abu Lahab dan Abu Jahal. Namun demikian perlu disebut juga, tidak otomatis keturunan al-Walid bin al-Mughirah akan masuk neraka. Contohnya, Khalid in Walid, panglima perang pasukan Rasulullah, merupakan salah satu anak al-Walid bin al-Mughirah, yang berjasa untuk islam. Hanyalah tradisi jahiliyah belaka yang membuat kita membanggakan keturunan kita.
Kembali kepada Ibrahim bin Hisyam yang diangkat Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Selepas dia menantang khalayak untuk mengajukan pertanyaan, seseorang bangkit dan kemudian bertanya kepada Ibrahim mengenai kewajiban berkurban. Ibrahim tidak menyangka akan ada yang akhirnya berani menyambut tantangannya. Ibrahim terdiam dan kemudian duduk kembali karena dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu.
Demikianlah kalau kekhilafahan berdasarkan nepotisme kekeluargaan, sehingga orang bodoh pun bisa diangkat menjadi Gubernur Madinah dan diserahi tanggung jawab untuk memimpin jamaah haji.
Imam Suyuthi mengabarkan bahwa karakter Khalifah Hisyam ini berbeda dengan Yazid bin Abdul Malik, khalifah yang digantikannya. Dalam tulisan Khalifah Yazid bin Abdul Malik: Instabilitas dan Pertumpahan Darah, saya sudah ceritakan bagaimana berbagai peperangan pada masa Khalifah Yazid bin Abdul Malik terjadi. Namun, menurut Imam Suyuthi, Khalifah Hisyam ini tidak haus darah.
Dia berusaha menstabilkan kondisi dengan sedapat mungkin tidak menumpahkan darah. Dia berkuasa cukup lama, yaitu 19 tahun. Dia berusaha keras untuk mengembalikan suasana pemerintahan seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Namun, pertempuran demi pertempuran tidak bisa dielakkan. Pasukan Hisyam berhasil menaklukkan pemberontakan di India, sehingga kekuasaan Islam bertahan di India pada masanya. Peperangan juga berlanjut melawan kekaisaran Romawi. Dia dibantu oleh Maslamah bin Abdul Malik, saudaranya yang dia angkat sebagai jenderal.
Dia juga dibantu oleh Mu’awiyah bin Hisyam, anak kandungnya. Kelak anak Mu’awiyah yang bernama Abdur Rahman yang berhasil meneruskan kekhalifahan Umayyah di Cordoba. Pertempuran lain juga terjadi dengan Khawarij di masa Khalifah Hisyam. Di masa beliaulah Islam berhasil menaklukkan Romawi.
Salah satu korban pertempuran di masa Khalifah Hisyam adalah Zaid bin Ali, cucu Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Zaid bin Ali ini adalah pendiri aliran Syi’ah Zaidiyah, yang pahamnya cukup dekat dengan Sunni, dibanding aliran Syi’ah lainnya. Zaid kena tipu penduduk Kufah yang seolah hendak menolong dia merebut kekuasaan. Namun kemudian mereka membiarkannya bertempur.
Kejadian yang menimpa Datuknya, Sayyidina Husein, terulang kembali, meski tidak sedramatis yang dialami Datuknya. Kepalanya kemudian dikirim ke Khalifah Hisyam.
Memang, ada sejumlah keberhasilan ekspedisi militer di masa Khalifah Hisyam. Sementara itu, cikal bakal Dinasti Abbasiyah terus mengumpulkan kekuatan menunggu saat yang tepat untuk mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Masih ada empat Khalifah Dinasti Umayyah lagi yang akan kita bahas sebelum memasuki periode Dinasti Abbasiyah. Jum’at depan insya Allah.
Baca juga:
Kebengisan Khalifah Yazid Menghadapi Oposisi
Kekuasaan itu Meninabobokan [Tentang Khalifah Abdul Malik dan Al-Walid]