Pada 1 September tahun 813 Masehi berakhirlah perang saudara antara kedua anak Harun ar-Rasyid, yaitu al-Amin dan al-Ma’mun. Khalifah al-Amin kalah dan kepalanya dipenggal, lalu al-Ma’mun menduduki takhta kekhilafahan Dinasti Abbasiyah sebagai khalifah ketujuh. Pada perioden al-Ma’mun berkuasa, ilmu pengetahuan berkembang pesat lewat penguatan institusi Bait al-Hikmah. Namun nama al-Ma’mun menjadi cacat di mata para ulama tradisional akibat peristiwa mihnah. Yuk, kita ikuti catatan hasil mengaji sejarah politik Islam.
Al-Ma’mun lahir di malam Khalifah Musa al-Hadi wafat, atau saat ayahnya, Harun ar-Rasyid, dibaiat menjadi Khalifah. Maka, pada malam 14 September tahun 786 Masehi itu terdapat tiga peristiwa: wafatnya seorang khalifah, diangkatnya khalifah baru, dan lahirnya calon khalifah. Al-Ma’mun berusia sekitar 27 tahun saat menjadi khalifah.
Imam Suyuthi mendeskripsikan al-Ma’mun sebagai orang yang belajar hadits, fiqh, sejarah dan filsafat kepada banyak ulama dan ilmuwan. Dia seorang yang istimewa dalam hal kemauan yang kuat, kecerdasan, kewibawaan, dan kecerdikan. Dia bicara dengan fasih, dan seorang orator yang ulung.
Sulit mencari tandingannya di antara para khalifah Dinasti Abbasiyah lainnya dalam hal kepintaran. Diriwayatkan dalam al-Bidayah wan Nihayah (10/302) bahwa saat bulan Ramadhan dia sanggup mengkhatamkan al-Qur’an 33 kali.
Bekal kepintaran dan kecintaan pada ilmu itulah yang membuat periode kekhilafahan di masanya tercatat sebagai masa keemasan Abbasiyah, melanjutkan kisah gemilang ayahnya, Harun ar-Rasyid, khalifah kelima. Kalau pada masa ayahnya, Bait al-Hikmah didirikan sebagai perpustakaan pribadi, pada masa al-Makmun Bait al-Hikmah dikembangkan menjadi semacam perpustakaan negara dan pusat kajian.
Khalifah al-Ma’mun mengundang para fisikawan, matematikawan, astronom, penyair, ahli hukum, ahli hadis dan mufasir dari berbagai penjuru untuk menyemarakkan panggung intelektual dunia Islam. Mereka diberi fasilitas dan perlindungan negara agar dapat mencurahkan seluruh perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan ilmuwan Kristen dan Yahudi pun diajak turut serta.
Sejarah mencatat bahwa Hunain Ibn Ashaq, seorang Kristiani, telah menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan Plato dari karya-karya Hippocrates dan Galen di bidang fisika. Karya itu beberapa tahun kemudian menyebar sampai ke Eropa Barat melalui Sisilia dan Spanyol. Setelah menjamurnya karya-karya terjemahan itu, semakin lengkaplah koleksi buku di perpustakaan akademi Bait al-Hikmah.
Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka dan penemu al-Jabar (Algebra), pernah bekerja di perpustakaan ini. Selama masa tugasnya di perpustakaan itu, ia menulis karya monumental, Kitab al-Jabr wa al-Muqabillah.
Sekadar ilustrasi saja, dana riset yang diberikan Khalifah al-Ma’mun kepada Bait al-Hikmah itu setara dengan dua kali dana Medical Research Centre di Inggris saat ini. Begitu juga gaji para ilmuwan seperti Hunain dan Khawarizmi di atas setara dengan gaji atlet profesional saat ini seperti Lionel Messi dan Ronaldo. Tidak aneh kalau Bait al-Hikmah menjadi pilar kemajuan peradaban Islam saat itu. Inilah institusionalisasi perintah iqra’ dalam al-Qur’an.
Bagaimana dengan kondisi sekarang? Majalah Newsweek, misalnya, melaporkan bahwa pada 2005, jumlah publikasi internasional yang dihasilkan Harvard University jauh lebih banyak dibanding akumulasi semua publikasi ilmiah dari universitas-universitas di 17 negeri Muslim. Dari 1,6 miliar umat Islam, kita hanya bisa menghasilkan dua Muslim sebagai pemenang nobel di bidang kimia dan fisika.
Kedua saintis Muslim tersebut—dan ini penting diingat—justru tinggal dan bekerja di dunia Barat. Itu artinya, kalau mereka melakukan penelitiannya di kampung halaman mereka, sulit atau kecil kemungkinan mereka akan mendapatkan hadiah nobel. Secara kontras, umat Yahudi yang jumlahnya hanya sepersepuluh umat Islam telah melahirkan 79 pemenang nobel dalam dunia sains.
Dana riset di 57 negara Muslim hanya sebesar 0,81% dari GDP mereka. Sebagai contoh yang memilukan hati, sebuah universitas di Islamabad, Pakistan, sudah memiliki 3 masjid di dalam kampus dan sekarang tengah membangun masjid keempat. Tapi, tidak satu pun ditemukan toko buku di dalam kampus. Mungkin kalau kita menengok koleksi dan fasilitas perpustakaan di dunia Muslim, kita akan lebih terkejut lagi.
Kembali ke kisah al-Ma’mun, sebagai pecinta ilmu, tentu saja dia dipuji para ilmuwan. Namun al-Ma’mun pada saat yang sama hendak menegakkan otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah. Sebagai seorang rasionalis, dia cenderung pada pemikiran Mu’tazilah. Dan al-Ma’mun tidak bisa menahan godaan untuk memaksa para ulama tradisional agar memiliki paham yang sama dengannya. Maka, muncullah peristiwa mihnah, yaitu semacam tes keagamaan di mana mereka yang memiliki paham berbeda akan dipersekusi oleh negara.
Pangkal persoalan ada pada perdebatan ilmu kalam: apakah kalamullah yang berbentuk mushaf al-Qur’an itu qadim atau hadits (baru diciptakan dan karenanya dianggap sebagai makhluk). Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat al-Qur’an itu qadim, sedangkan Mu’tazilah berpendapat al-Qur’an itu makhluk.
Kalau ditarik ke belakang, perdebatan ini muncul akibat perbedaan kedua kelompok ini dalam memahami apakah Allah memiliki sifat atau tidak. Bukan pada tempatnya di sini kalau saya jelaskan panjang lebar soal ini. Kita kembali fokus pada masalah mihnah.
Imam Thabari menuliskan ulang surat Khalifah al-Ma’mun yang memerintahkan dikumpulkannya para ulama dan diinterogasi apakah mereka berpendapat al-Qur’an itu qadim atau makhluk. Sesiapa yang menjawab makhluk, maka amanlah dia. Sementara sesiapa yang menjawab qadim, habislah dia disiksa. Surat lengkap Khalifah al-Ma’mun kepada Ishaq bin Ibrahim yang memulai mihnah ini bisa dibaca di Tarikh Thabari, juz 8/361-345.
Maka, bisa kita simpulkan, Khalifah al-Ma’mun bukan hanya hendak menegakkan otoritas keilmuan tapi juga otoritas keagamaan sebagai khalifah. Dia memaksakan pahamnya dan ulama harus mengikutinya. Inilah sebabnya para ulama tradisional banyak yang tidak suka dengan al-Ma’mun. Salah satu yang ngotot bertahan dengan pendapat al-Qur’an itu qadim adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Peristiwa mihnah ini bisa dibaca lebih jauh di Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir, juz 10/298.
Ada sebab lain kenapa ulama tradisional tidak menyukai al-Ma’mun. Secara pemikiran, dia cenderung mengikuti Mu’tazilah, dan para ulama menyalahkan kecintaan al-Ma’mun pada filsafat dan gerakan penerjemahan karya para filosof Yunani. Mereka menuduh al-Ma’mun menjadi sesat karena pengaruh filsafat.
Tentu menjadi ironis: di satu sisi, masa al-Ma’mun dianggap sebagai periode keemasan khilafah dan para penyokong berdirinya kembali khilafah di abad ke-21 ini sering mengambil contoh masa keemasan ini. Tapi, di sisi lain, masa keemasan Abbasiyah ini justru berdiri di atas pondasi rasionalitas dan filsafat—sesuatu yang sering diharamkan pada masa sekarang. Pada masa al-Ma’mun aliran Mu’tazilah yang mendominasi, bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Aspek ini yang sering luput dari perhatian kita.
Secara politik, para ulama tradisional juga tidak senang dengan al-Ma’mun karena dia juga condong kepada Syiah. Al-Ma’mun memilih tinggal di kota Merw, di daerah Iran yang banyak orang Syiah dan Persia. Al-Ma’mun dituduh anti-Arab. Dia mengatakan berlepas diri terhadap mereka yang memganggap Mu’awiyah itu orang baik. Bahkan al-Ma’mun, seperti dituliskan oleh Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa halaman 227, mengatakan orang yang paling utama setelah Rasulullah itu adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Tidak berhenti sampai di sana, al-Ma’mun bahkan menjadikan Imam Ali ar-Ridha, Imam kedelepan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, sebagai putra mahkota pengganti al-Ma’mun. Tentu tak terbayangkan bahwa Dinasti Abbasiyah memberi kekuasaan kepada orang lain di luar jalur keluarga Abbas.
Al-Ma’mun beralasan, dulu saat Sayyidina Ali menjadi Khalifah keempat, beliau banyak memberikan posisi penting kepada keturunan Abbas. Dan kenapa sekarang saat Dinasti Abbasiyah berkuasa, tidak ada keturunan Sayyidina Ali yang mendapat jatah kekuasaan.
Al-Ma’mun semakin menegaskan posisi politiknya dengan memerintahkan pejabat untuk mengenakan pakaian hijau, dan mencopot pakaian hitam. Pakaian hitam adalah ciri Dinasti Abbasiyah, sedangkan pakaian hijau biasa dikenakan pemeluk Syiah.
Kemarahan sebagian pihak di Baghdad terhadap al-Ma’mun membuat mereka membaiat Ibrahim bin Mahdi, anak Khalifah ketiga Abbasiyah, sebagai khalifah pengganti al-Ma’mun. Al-Fadhl bin Sahal, perdana menteri al-Ma’mun, juga berkhianat kepada al-Ma’mun dengan memberikan informasi yang keliru. Posisi al-Ma’mun menjadi terjepit.
Kelompok Syiah tidak sepenuhnya menerima penunjukkan Imam Ali ar-Ridha sebagai putra mahkota pengganti al-Ma’mun. Mereka menuduh ini taktik politik al-Ma’mun agar mendapat dukungan kaum Syiah, dan juga fakta bahwa Imam Ali ar-Ridha berusia 20 tahun lebih tua dari al-Ma’mun. Artinya, kemungkinan Imam Ali ar-Ridho kelak tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah amat besar.
Dan ternyata benar, Imam Ali ar-Ridho wafat lebih dulu dari al-Ma’mun. Imam Thabari mengabarkan bahwa Ali ar-Ridha wafat setelah memakan buang anggur. Banyak kalangan Syiah yang percaya buah anggur itu sudah diracun atas perintah al-Ma’mun. Wa Allahu A’lam.
Wafatnya Ali ar-Ridha meredakan ketegangan politik. Al-Ma’mun membujuk keluarganya dan pejabat Abbasiyah untuk kembali loyal kepadanya karena Ali ar-Ridha bukan lagi putra mahkota.
Ibrahim bin al-Mahdi, yang diberi gelar al-Mubarak, bertahan hampir dua tahun menguasai Baghdad sebelum pasukan al-Ma’mun mengambil alih kekuasaan. Al-Ma’mun kemudian kembali mengenakan pakaian hitam.
Al-Ma’mun wafat karena sakit saat berusia 47 tahun. Dia berkuasa sekitar 20 tahun. Dia tidak menunjuk anaknya, al-Abbas, sebagai penggantinya. Dia menunjuk saudaranya, Abu Ishaq Mihammad bin ar-Rasyid, sebagai khalifah selanjutnya. Pada periode al-Ma’mun ini sejarah mencatat Imam Syafi’i wafat (820 M) dan juga guru Imam Syafi’i, yaitu Sayyidah Nafisah (824 M), seorang perempuan suci di Mesir.
Kita akan lanjutkan mengaji sejarah politik Islam pada kolom Jum’at berikutnya, insya Allah.
Kolom terkait:
Khalifah al-Amin bin Harun ar-Rasyid: Penyuka Sesama Jenis dan Pemicu Perang Saudara
Khalifah Harun Ar-Rasyid: Masa Keemasan Abbasiyah
Khalifah Ketiga Abbasiyah: Klaim sebagai Mahdi
Al-Manshur, Khalifah Kedua Abbasiyah: Pecinta Ilmu yang Memenjarakan Ulama