Akhir pekan lalu kita dikejutkan dengan status Setya Novanto (Setnov) yang bebas dari kasus dugaan korupsi e-KTP. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi Iskandar, memutuskan penetapan Setnov sebagai tersangka oleh KPK tidak sesuai dengan prosedur, sehingga tidak sah dan gugur secara hukum.
Politikus Partai Golkar ini memang dikenal sebagai sosok ulet dalam setiap kasus hukum. Terlepas dari konteks hukum dan suara publik, Setnov adalah sosok petarung yang selalu membuat kejutan dalam episode perjalanan politik yang mengitarinya. Ia mampu mengatur ritme gerak politik, sembari terus melangkah maju memastikan agenda politiknya.
Setnov tercatat pernah terseret dalam banyak kasus hukum. Mulai kasus Cessie Bank Bali tahun 1999, penyelundupan Beras Vietnam tahun 2003, kasus Limbah Beracun di Pulau Galang, Kepulauan Riau tahun 2006, kasus PON Riau tahun 2012, kasus etik terkait Donald Trump tahun 2015, kasus Papa Minta Saham tahun 2015, dan kasus e-KTP.
Kasus-kasus ini mampu dilewati Setnov, karir politiknya juga tetap melonjak tinggi. Jabatan Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR juga masih aman. Setnov mampu merekayasa peta pertarungan politik dengan cerdas, sekalipun netizen di media sosial banyak yang mencibirnya.
Yang menarik, puncak bebasnya Setnov dari tersangka KPK berbarengan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Ini bukan kebetulan, ini sebuah tanda politik bahwa Setnov juga politisi sakti. Tetapi suara publik juga tidak bisa diabaikan, karena kesaktian Setnov menandai kerapuhan Pancasila. Bagaimana mungkin sosok yang sudah jelas terseret dalam banyak kasus bisa bebas dengan begitu mudahnya? Bagaimana kita menjelaskan sila ke-5 “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” kepada generasi penerus bangsa? Penuh ironi dan tragedi!
Terkait kasus Setnov, seorang guru pasti akan kesulitan menjelaskan sila ke-5 kepada peserta didiknya. Bagaimana mungkin anak-anak di kelas hanya diajarkan untuk menghafal dan menyelami nilai Pancasila, sementara aparatur negara justru memberikan contoh sangat nyata dalam pengaburan Pancasila.
Revolusi Pancasila
Pemerintahan Jokowi-JK sudah mengabarkan dengan tegas sejak awal bahwa revolusi mental adalah program besar bangsa ini. Semua program pemerintah juga harus selalu dikaitkan dengan agenda revolusi mental. Momentum saat ini sangat tepat untuk menegaskan kembali revolusi mental berbasis Pancasila. Jangan sampai program revolusi mental, apalagi di dunia pendidikan, hanya program dalam lembaran kertas saja yang justru akan membodohkan anak bangsa.
Menurut Yudi Latif (2015), revolusi mental harus diorientasikan agar mental Pancasila bisa menjiwai dan mendorong perubahan di bidang material dan politik yang sejalan dengan idealitas Pancasila. Di sini, Revolusi Pancasila menghendaki adanya perubahan mendasar secara akseleratif, yang melibatkan revolusi material (sila kelima), mental kultural (sila ke-1,2,3) dan politikal (sila keempat).
Revolusi (basis) material diarahkan untuk menciptakan perekonomian merdeka yang berkeadilan dan berkemakmuran, berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong royong) dan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Yudi juga menegaskan bahwa revolusi (superstruktural) mental-kultural diarahkan untuk menciptakan masyarakat religius yang berprikemanusiaan, yang egaliter mandiri, amanah dan terbebas dari berhala materialisme-hedonisme, serta sanggup menjalin persatuan dengan semangat pelayanan.
Sementara revolusi (agensi) politikal diarahkan untuk menciptakan agen perubahan dalam bentuk integrasi kekuatan nasional melalui demokrasi permusyawaratan yang berorientasi persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan). Revolusi politik ini bisa diwujudkan dengan pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian dan keadilan.
Dari sini, lembaga pendidikan mempunyai peran sangat strategis. Yakni memastikan agar revolusi mental tidak hanya berhenti pada perubahan pola pikir dan kejiwaan saja, tetapi juga pada kebiasaan dan karakter yang menyatu antara pikiran, sikap dan tindakan sebagai suatu integritas yang didasarkan pada nilai Pancasila, terutama sila ke-1, 2, dan 3.
Fokus revolusi mental Pancasila adalah mentalitas kemandirian, mentalitas gotong royong dan mentalitas pelayanan. Dari sini, maka lembaga pendidikan akan menghasilkan generasi bangsa yang siap berjuang menegakkan Pancasila. Generasi yang setia menjadikan Pancasila sebagai kritik bagi aparatur negara. Bukan hanya kritik untuk Setnov, tetapi siapa saja aparatur negara dan aparatur pemerintah juga harus selalu diluruskan kalau menyimpang dari Pancasila.
Semua anak bangsa berperan dan bertanggungjawab untuk menjaga martabat bangsa dengan mengamalkan nilai Pancasila dalam keseharian.
Kolom terkait:
Tiga Kolom “Maut” Setelah Setya Novanto Tersangka
Setya Novanto dan Ketidakabsahan DPR
Papa Setnov, Jack Sparrow, dan Patah Hati KPK