Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tengah mengkaji rencana pemindahkan Ibu Kota Republik Indonesia. Total kebutuhan pembiayaan dan skema pembiayaannya kini sedang menjadi perhatian besar. Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah ingin seminimal mungkin menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam rencana pemindahan ibu kota.
Terlepas dari persoalan pembiayaannya, keniscayaan ibu kota baru tak bisa ditawar-tawar lagi. Persoalan banjir yang selalu saja menerjang ibu kota menjadikan daerah ini tak lagi kondusif. Seiring dengan banjir besar, gagasan memindahkan ibukota negara ke lokasi baru kembali menyeruak karena Jakarta saat ini tak bisa lagi menangani pelbagai problem sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi secara bersamaan.
Selain kemacetan lalu lintas, banjir menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk secara serius melanjutkan gagasan memindahkan ibu kota ke lokasi baru. Penderitaan tak tertahankan akibat banjir Jakarta membuat ide tersebut realistis. Jakarta sangat padat dan kotor sehingga tidak lagi cocok menjadi ibuk ota negara.
Padatnya Jakarta sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, maka pemerintah dan DPR perlu mencari cara terbaik untuk keluar menghindari banjir dan kemacetan lalu lintas di kota yang kian parah.
Banyak yang menyebut bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah pembangun kanal untuk pencegahan banjir. Musibah banjir selalu mengancam Jakarta setiap tahunnya. Di saat aman, kanal-kanal itu bisa dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Bukankah banyak sungai telah berubah menjadi tempat wisata di kota-kota besar dunia, seperti Venesia di Italia, Beacon di AS, atau Passau di Jerman karena kebersihan dan kesegaran airnya?
Pembangunan kanal, bagaimanapun, tidak harus menghentikan pemerintah pusat untuk melanjutkan gagasan memindahkan ibu kota. Pembangunan perumahan, mall, atau gedung-gedung lain yang tidak terbatas di Jakarta telah banyak menyumbang munculnya banjir besar.
Relokasi ibu kota bisa saja berfokus pada kantor-kantor pemerintah dengan membangun pusat-pusat pemerintahan yang tersebar di banyak daerah. Misalnya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Bali; Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertambangan, dan Kementerian Lingkungan di Kalimantan; Kementerian Kelautan dan Perikanan, Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal di Sulawesi; dan banyak lainnya.
Namun, tak sedikit yang menginginkan bahwa ibu kota baru harus didirikan di tempat yang benar-benar baru di luar Jawa. Salah satu daerah di Indonesia yang cocok untuk pusat pemerintahan baru adalah Kalimantan, khususnya Palangka Raya. Palangka Raya secara geografis terletak di tengah-tengah Indonesia, sehingga memiliki akses yang mudah ke berbagai negara. Selain itu, Palangka Raya merupakan wilayah dengan lahan datar, ketersediaan air melimpah, dan tidak memiliki gunung berapi, sehingga tidak rawan bencana.
Di Amerika Serikat, Washington DC hanyalah pusat pemerintahan, sedangkan pelbagai distrik bisnis tersebar di berbagai negara bagian lainnya. Kantor pusat CNN terletak di pusat kota Atlanta, New York Times di New York City, Hollywood di Los Angeles, industri mobil di Detroit, universitas-universitas besar di Cambridge dan Boston, bahkan pusat perjudian di Las Vegas. Warga Amerika tidak perlu merantau ke Washington demi menikmati standar hidup yang lebih baik, mendapatkan pendidikan terbaik, atau menjadi pengusaha yang sukses.
Negara-negara lain juga punya kisah sukses dalam upaya mereka memindahkan ibu kota lama ke tempat-tempat baru, seperti Kuala Lumpur ke Putrajaya di Malaysia, Bonn ke Berlin di Jerman, Melbourne ke Canberra di Australia, Valladolid ke Madrid di Spanyol, atau Kyoto ke Tokyo di Jepang.
Keberhasilan relokasi ibu kota dapat terjadi di negara maju maupun berkembang. Dubai dikenal di seluruh dunia sebagai kota bisnis utama tetapi Abu Dhabi adalah ibu kota Uni Emirat Arab. Di India, Mumbai adalah ibu kota bisnis, sementara New Delhi sebagai pusat pemerintahan.
Sejumlah negara memindahkan ibu kotanya lebih dari sekali seperti Kanada yang berpindah-pindah sebanyak empat kali dari Monteal-Toronto-Quebec kemudian ke Ottawa. Iran bahkan pernah memindahkan ibu kotanya lebih dari 10 kali sebelum akhirnya sekarang memilih Teheran.
Indonesia memindahkan ibu kotanya ke Yogyakarta dari Januari 1946 sampai Desember 1949 karena perang kemerdekaan. Pada waktu itu Bukittinggi di Sumatera Barat juga sempat menjadi ibu kota saat Presiden Sukarno membentuk pemerintah darurat sebelum ia ditangkap oleh Belanda antara Desember 1948 dan Juni 1949.
Mengingat beratnya langkah-langkah drastis yang harus diambil oleh Jakarta guna menopang beban yang semakin meningkat, Indonesia harus mempertimbangkan ibu kota alternatif. Relokasi ibu kota bukan lagi menjadi masalah pilihan, tapi kebutuhan.
Kolom terkait:
Pemindahan Ibu Kota Negara: Dari Imam Ali, Sukarno, hingga Anies Baswedan