Kamis, Oktober 10, 2024

Kenapa Harus Dedi Mulyadi?

Denny Siregar
Denny Siregar
Penulis dan blogger.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi [Foto: okezone.com]

Sejak peristiwa penolakan Dedi Mulyadi di Purwakarta oleh Front Pembela Islam (FPI), karena masalah patung yang dia bangun, saya tertarik untuk melihat profil Bupati Purwakarta ini.

Buat saya, orang yang berani melawan arus terhadap intoleransi adalah orang yang punya prinsip. Dia berdiri di atas idealismenya bahwa semua orang–dengan latar belakang apa pun–adalah sama.

Di situlah saya mencoba menelusuri sepak terjang sang Bupati. Karena orang hanya bisa dinilai dari track record, atau apa yang pernah dilakukannya.

Untuk lebih mengenalnya, saya berkunjung ke Purwakarta. Kabupaten kecil di Jawa Barat yang saya analogikan sebagai Desa Galia, desa kecil yang menolak pendudukan bangsa Roma di komik Asterix.

Di sana, saya melihat bahwa Kang Dedi adalah pemimpin yang mempunyai program. Dia mempunyai visi dalam membangun daerah dan melawan intoleransi yang mengangkangi sebagian penduduk Jawa Barat.

Sebagai catatan, Wahid Institute dalam laporannya pernah menyatakan bahwa Jawa Barat adalah provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi di antara wilayah lainnya.

Kang Dedi melawan intoleransi bukan dengan langsung berhadap-hadapan. Tetapi melalui pembinaan terhadap anak sekolah, yang rentan terhadap doktrin lingkungannya. Ia mengumpulkan anak sekolah dari berbagai agama untuk saling mengenal tatacara ibadah masing-masing. “Tak kenal, maka tak sayang..” begitu katanya dalam sambutan.

Ia juga mewajibkan siswa sekolah belajar kitab kuning, ajaran lama dari NU, kitab yang berisi tafsiran berbagai ulama. “Biar mengerti bahwa perbedaan tafsir itu biasa..” katanya.

Selain itu, ia membuat program penjemputan anak sekolah dengan bus sekolah yang disupiri oleh tentara, dan selama perjalanan si anak dibekali pengetahuan tentang Pancasila.

Apalagi hal yang membuat saya tidak jatuh cinta kepadanya?

Dedi Mulyadi adalah anak desa dan seumur hidupnya dihabiskan di desa. Ia tidak pernah sekolah di luar negeri begitu lama sehingga melupakan akarnya. Ia mengusung nilai-nilai filosofi desa yang menjadi visinya.

“Jawa Barat itu mayoritas pedesaan, buka kota…” katanya lagi waktu kami duduk bersama. “Ketika Jawa Barat dipaksakan menjadi kota, mereka kehilangan akar budayanya. Itulah kenapa banyak warga Jawa Barat yang terpengaruh budaya Timur Tengah, karena mereka sudah kehilangan identitas asli dirinya.”

Kekerasan hati Dedi Mulyadi itu karena kecintaannya. Dia mempunyai gambar besar seperti apa Jawa Barat nantinya.

Inilah yang dibutuhkan warga Jawa Barat. Seorang pemimpi yang mengerti karakter wilayahnya. Bukan seorang pemimpin yang hanya ingin duduk di ruangan dingin kantor besarnya dan berbagi proyek dengan rekanan.

Saya tidak kuat mengikuti blusukannya ke daerah-daerah terpencil di Jawa Barat. Sehari saja saya menyerah, sedangkan apa yang dia lakukan setiap hari selama sekian tahun lamanya.

Kenapa orang berebut jadi pemimpin kalau susah seperti ini?” tanyaku. Dia tersenyum, “Kalau bukan karena passion, saya juga tidak mungkin melakukannya…”

Sudah waktunya pemimpin itu jauh dari kosmetik berlebihan, tampil dengan pencitraan yang membosankan dan dibesarkan oleh media sosial. Pemimpin harus turun ke bawah, menyapa masyarakat yang dipimpinnya.

Dan Kang Dedi dikenal oleh warga Purwakarta dan daerah di Jawa Barat lainnya, sebagai orang yang mau menyapa mereka, jauh sebelum Pilkada Jawa Barat. Ia melakukannya karena ia senang.

Jawa Barat membutuhkan seorang Dedi Mulyadi. Pemimpin ada karena ia dibutuhkan, bukan karena ia berambisi. Di tangan seorang Dedi, Jawa Barat akan mempunyai nafas baru seperti Purwakarta, kabupaten yang penuh dengan nilai-nilai budaya.

Biarlah jika orang menuduh saya menulis ini sebagai kampanye. Sejak ketika mendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, saya kenyang dengan tudingan itu. Bahkan saya dianggap penulis bayaran. Saya mematahkan tudingan itu dengan membantu biaya kampanye Ahok dari hasil penjualan buku.

Buat saya, pemimpin bagus harus dikenalkan. Ia harus dimunculkan dan tidak tenggelam di tengah kemunafikan calon pemimpin yang mengandalkan pencitraan dengan uang.

Jawa Barat harus bisa melihat isi. Tidak lelah apa selalu membeli bungkus yang cantik, tapi “isi di luar tanggung jawab percetakan”?

Seruput kopi dulu, hari sudah siang…

Denny Siregar
Denny Siregar
Penulis dan blogger.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.