Ada dua tema besar yang mendominasi politik Indonesia hari-hari ini. Di garis depan, ada pertarungan politik atau kekuasaan dan di belakangnya ada suara-suara rasisme yang terselubung. Pada konteks ini, keduanya sering dipakai bersamaan: rasisme dikobarkan demi mengamankan kekuasan para politisi dan penguasa. Ini menjelaskan bahwa “antusiasme popularitas” semakin eksis untuk mengamankan kebijakan dengan melukai kelompok menengah atau minoritas.
Dalam hal ini politik “siulan anjing” (dog whistle politics) sangat berperan besar. Apa itu politik “siulan anjing?” Ide ini dicetuskan oleh Ian Haney Lopez dalam bukunya berjudul Dog Whistle Politics: How Coded Racial Appeals Have Reinvented Racism and Wrecked the Middle Class. Lopez menyebut politik “siulan anjing” adalah sebuah kode rasial yang digunakan di Amerika guna memanipulasi permusuhan terhadap non-kulit putih.
Contoh siulan anjing tentang penjahat dan menipu kesejahteraan, orang asing, ilegal, dan hukum syariah. Secara dangkal, provokasi ini tidak ada kaitannya dengan ras, namun mereka secara kuat mengkomunikasikan pesan yang kejam tentang ancaman yang mengancam orang-orang kulit putih di Amerika.
Dalam 50 tahun terakhir, politik “siulan anjing” telah mendorong petaka yang luas pemilih kulit putih di Amerika untuk mengadopsi permusuhan yang menghancurkan dirinya sendiri terhadap pemerintah, dan dalam prosesnya telah menciptakan kembali sifat ras dan rasisme itu sendiri. Politik Amerika hari ini—dan krisis kelas menengah—tidak dapat dipahami tanpa mengakui evolusi rasisme dan kekuatan demagog yang merusak tatanan berbangsa dan bernegara.
Rasisme boleh saja dikobarkan secara terbuka di muka umum. Tetapi, untuk menghindari gesekan di antara masyarakat, para politisi sering memainkan kode rasisme dalam bentuk yang kadang sulit dimengerti oleh orang kebanyakan. Pernyataan Profesor Bell, pada salah satu bab bukunya bertajuk “Faces at the Bottom of the Well: The Permanence of Racism” ada benarnya: racism is not disappearing, it’s adapting.
Kode rasisme telah berubah bentuk seiring kebutuhan politik para penggunanya. Kode rasisme ini secara implisit memberikan semacam peringatan kepada kawan atau lawan politik dan hanya dimengerti oleh orang tertentu saja. Ibarat gonggongan anjing yang hanya dimengerti oleh anjing-anjing yang lain saja.
Kode rasisme pernah muncul pada Pemilihan Presiden 2014 silam. Pendeknya, kode rasisme lewat kampanye hitam. Pertarungan dua figur sentral antara Jokowi dan Prabowo. Tetapi, isu rasial lewat kampanye hitam lebih condong dialamatkan kepada figur Jokowi ketimbang Prabowo kala itu. Parahnya lagi, Jokowi pernah dituduh sebagai Kristen, antek Cina, dan keturunan Cina.
Tidak berakhir sampai di situ, fitnah demi fitnah yang bermunculan makin mengganas. Kampanye hitam Obor Rakyat turut serta menyumbangkan fitnah terhadap Jokowi. Hal itu dilakukan dalam bungkus jurnalistik untuk menyerang pribadi Jokowi. Isu rasial semacam ini ditujukan kepada komunitas Islam agar tidak memilih Jokowi pada perhelatan Pilpres 2014 yang lalu.
Sektarianisme makin menguat akhir-akhir ini. Ada ketakutan-ketakutan yang berlebihan ketika isu-isu ini diangkat ke permukaan. Ketakutan kaum mayoritas kepada kaum minoritas. Begitu sebaliknya, ketakutan kaum minoritas kepada kaum mayoritas. Ketakutan-ketakutan ini yang kemudian dipakai politisi untuk melancarkan rencana-rencana busuk.
Politisi A membuat isu-isu kontroversial dengan bahasa politik yang santun tetapi patut diduga menyerang orang-orang tertentu. Politisi B memainkan perannya sebagai politisi ulung dengan berusaha merangkul kaum mayoritas demi meraup keuntungan pribadinya. Celakanya, menggunakan kode rasial yang memojokkan kaum minoritas tertentu.
Secara tidak sadar atau sadar, kode rasial dan politik “siulan anjing” kerapkali menghiasi kontestasi perpolitikan kita. Kita ambil contoh yang belakangan ini menjadi perbincangan banyak orang. Ihwal penyebutan “pribumi” pada pidato Anies Baswedan yang menyinggung perasaan tak sedikit orang. Padahal, sudah jelas dalam konstitusi penggunaan atau pelabelan pribumi harus dihilangkan dalam aspek apa pun.
Jika dibaca lagi teks pidato yang tersebar di beberapa media massa secara utuh, memang secara teks, tidak ada yang keliru. Tetapi, jika dibaca lagi dengan teliti, ada kesilapan atau kesengajaan di sana. Anies menyebut kata kolonialisme dan pribumi.
Pertanyaannya: kenapa pilihan kata “pribumi” dan apa implikasi dari pilihan kata itu? Karena itu disampaikan dalam pidato politik dan dilihat banyak orang. Jika dianalisa lagi ada politically incorrect di situ: pada subyek yang diandaikan tertindas hanya kalangan pribumi. Sementara kaum Tionghoa, Indo-Eropa, dan Arab tidak terandaikan dalam posisi tertindas dan terjajah.
Dari pembacaan seperti ini masuk ke pemahaman saya hanya pribumi yang berhak jadi tuan rumah. Dalam konteks dan tujuan apa Anies Baswedan harus memakai kata pribumi dalam pidatonya? Tidak jelas.
Pada konteks ini, saya jadi teringat sosok presiden yang kontroversial: Donald Trump. Anies dan Trump memiliki kemiripan, keduanya suka menyetir opini publik, dan menggiring mereka yang disebut mayoritas. Trump datang dengan isu Islam/migran. Sedangkan Anies datang dengan menggunakan isu pribumi.
Sependek pengetahuan saya, saya pikir bahasa politik yang digunakan Anies pada saat pidato bukan sekadar pelantikan semata saja, tetapi untuk meraup keuntungan dari publik demi tujuan jangka panjang. Saya tidak mau terlalu gegabah menyebut bahwa ada rencana besar yang ingin disampaikan di balik pidato Anies tersebut.
Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Tony Abbot, Perdana Menteri Australia. Ia pernah melontarkan pidato kontoversi dan membuat panas telinga rakyat. Pada pidato keamanan nasional, ia menyatakan agar para pemimpin dan masyarakat Muslim harus berbuat lebih banyak untuk memerangi ekstremisme. Abbot mengatakan “semua orang, termasuk para pemimpin komunitas Muslim, perlu berbicara dengan jelas karena, tidak peduli apapun keluhannya, kekerasan terhadap orang yang tak berdosa harus menjadi penghujatan terhadap semua agama.”
Aksi protes kemudian berkumandang atas pidato Abbot tersebut. Berbagai desakan dari lapisan masyarakat untuk menekankan menteri mempromosikan persatuan nasional dan berhenti mengkambinghitamkan satu segmen masyarakat dunia. Seolah-olah yang bertanggung jawab atas kekerasan dan ketidaknyamanan ini adalah satu komunitas saja. Abbot secara tidak langsung memantik permusuhan, mempromosikan kebencian, mengobarkan rasisme dan politik “siulan anjing” untuk orang-orang di dunia.
Secara umum, penggunaan politik “siulan anjing” berarti berbicara dalam kode kepada audiens target. Politisi secara rutin melakukan ini, kemudian berusaha untuk secara diam-diam mengkomunikasikan dukungan kepada kelompok kecil pemilih yang berapi-api, yang komitmennya tidak secara luas dipeluk oleh tubuh politik.
Yang termasuk audiens siulan anjing, seperti, pada masa-masa sulit, pemrotes hak-hak sipil, anggota aktivis hak agama, aktivis lingkungan, dan aktivis hak-hak senjata. Siulan anjing tidak memiliki valensi politik tertentu, terjadi di kanan dan kiri, juga tidak biasa atau mengganggu dari dalam dan dari dirinya sendiri.
Mengingat beragam masyarakat yang tersegmentasi oleh prioritas yang sangat beragam, sangat dapat diprediksi bahwa politisi akan mencari cara terselubung untuk berbicara pada khalayak yang berbeda. Politik “siulan anjing” yang berarti, secara lebih sempit, pidato berkode yang berpusat pada ras; sementara istilah tersebut bisa mencakup permintaan rahasia di sejumlah basis, di sini mengacu pada seruan rasial.
Selain menekankan pertarungan politik, politik “siulan anjing” terpisah dari praktik yang lebih umum karena pesan tersembunyi yang ingin dikirimnya melanggar konsensus moral yang kuat. Dengan dorongan berbicara dalam banyak kode daripada kekhawatiran bahwa banyak pemilih tidak menerima hasrat audiens target. Sebaliknya, substansi banding bertentangan dengan nilai-nilai nasional yang mendukung persamaan dan menentang rasisme.
Menghembuskan politik “siulan anjing” tahu betul bahwa mereka akan dikecam secara luas jika dipahami sebagai sesuatu yang menarik solidaritas ras di kalangan orang-orang menengah ataupun atas.
Singkatnya, politik “siulan anjing” bertujuan untuk meletakkan bagaimana ras telah menjadi dan, setidaknya dalam jangka menengah, akan tetap ada pada pusat politik, termasuk untuk Indonesia dan untuk kelas menengah. Bahkan ketika bersedia mengakui bahwa masalah ras berbicara ihwal kehidupan kaum minoritas miskin, anggota kelas menengah tetap saja memiliki kepastian yang tidak berdasar bahwa pertarungan politik tidak terlalu relevan dengan mereka atau masa depan mereka.
Mereka tidak bisa disalahkan, karena pertarungan politik merupakan “keajaiban gelap” ketika pemilih kelas menengah diyakinkan untuk menyerahkan pemerintahan kepada politisi santun, atau politisi brutal dan liar—terlepas dari bahaya yang terjadi pada diri mereka sendiri. Politik “siulan anjing” akan tetap eksis dan bermetamorfosa seiring perubahan dan kebutuhan zaman.
Karena itu, penting membangunkan diri dan melek terhadap situasi politik sekarang ini dan yang paling penting berpacu dengan pergeseran zaman seraya betul-betul menyaringnya. Pertarungan politik dan isu rasial rawan inilah yang harus diantisipasi masyarakat. Kedua tema besar ini tidak hanya dilancarkan secara terbuka tetapi sudah dilancarkan secara terselubung.
Kolom terkait:
“Pribumi” Anies, 2019, dan Politik Sentrifugal
Ihwal Pribumi dalam Pidato Anies Baswedan