Jumat, Maret 29, 2024

Kemacetan Sayap Kiri

Rifqi Hasibuan
Rifqi Hasibuan
Pemerhati Sosial dan Media, Pernah kuliah S2 Jurusan Komunikasi di Jiangxi Normal University dan S1 Jurusan Sosiologi di UGM.

Di sela riuhnya polemik Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), wacana distribusi kesejahteraan selalu menguntit di panggung politik kita. Pada Pemiihan Presiden 2014, wacana penguasaan aset oleh aseng dan asing memicu sentimen dari mereka yang merasa bukan aseng dan asing.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2017 juga diramaikan rumor mafia bisnis.  Dan dalam pidato pelantikan Anies Baswedan sebagai gubernur Jakarta yang kembali menuai perdebatan SARA beberapa waktu lalu, polemik kesejahteraan terasa kental pada penekanan sila kelima Pancasila.

Dalam konteks ini, saya tak membela atau menyudutkan kelompok tertentu dengan sentimen SARA, juga tak bermaksud menghakimi pidato Anies. Tulisan ini mengulas politik identitas domestik dengan perspektif lain, yakni kosongnya gagasan kesetaraan ekonomi atau sering kita sebut keadilan sosial.

Kebebasan dan Kesetaraan

Pemikiran modern mencatat ide kesetaraan sebagai turunan semangat Revolusi Prancis yang berslogan “Liberte, Egalite, Fraternite” atau “kebebasan, kesetaraan, persaudaraan.” Seiring laju modernitas, ketiga slogan itu sangat kuat mempengaruhi gagasan politik.

Norberto Bobbio, dalam bukunya, Left and Right, The Significance of a Political Distinction, menyorot perseteruan politik sayap kanan dan sayap kiri. Sayap kanan dimaknai sebagai politik yang berorientasi kebebasan dan lebih toleran terhadap hirarki sosial. Sebaliknya, politik sayap kiri menuntut kesetaraan ekonomi dan kurang mengakomodasi kebebasan individu.

Buku yang terbit tiga tahun setelah bubarnya Uni Soviet itu meyakini, sayap kiri dan sayap kanan akan selalu hadir, mengingat politik adalah panggung kepentingan yang sarat pertentangan. Meskipun begitu, entitas kiri maupun kanan sangat mungkin berubah seiring pergeseran zaman.

Di panggung politik Eropa saat ini, misalnya, predikat kanan disematkan pada kelompok berhaluan konservatif dan rasis. Hal itu sangat berbeda dengan politik abad ke-20 ketika sayap kanan identik dengan liberalisme, dan sosialisme berada di seberangnya.

Pada periode itu, liberalisme dinyatakan sebagai penerus ide kebebasan (liberte) dan sosialisme melanjutkan ide kesetaraan (egalite). Uniknya, kedua ideologi itu sama-sama mengusung ide persaudaraan (fraternite). Liberalisme mendorong persaudaraan dengan globalisasi, sosialisme menganjurkan persatuan kelas pekerja sedunia–meskipun Joseph Stalin akhirnya menerapkan revolusi terisolir justru saat globalisasi bergulir.

Singkat kata, liberalisme maupun sosialisme sama-sama mengklaim sebagai piranti persaudaraan umat manusia. Kaum liberal menyebut kebebasan sebagai sifat dasar manusia yang selalu mencari celah emansipasi, dan menolak pandangan Marxian yang meredusir kesetaraan pada aspek ekonomi. Menurut mereka, dimensi kesetaraan sangat luas, mencakup persoalan gender, keyakinan, budaya dan sebagainya.

Para pendukung sosialisme tak kalah sengit membantah kaum liberal, dan menegaskan bahwa berbagai dimensi kesetaraan tak mungkin tercapai tanpa pemerataan ekonomi. Orang yang menguasai aset akan mudah mengakses hak istimewa, dan sebaliknya. Penganut sosialisme percaya, kebebasan hakiki hanya tercapai melalui jalan sosialis.

Meskipun begitu, keduanya sama-sama mengimajinasikan persaudaraan manusia, hanya saja beranjak dari titik tolak berbeda. Keduanya juga sama-sama mengakui hakikat kebebasan maupun kesetaraan. Liberalisme tak menolak mentah-mentah ide keadilan sosial, dan sosialisme pun tak memasang kartu mati untuk kebebasan. Tak heran, dalam perkembangannya muncul ide-ide penengah, seperti sosial demokrasi; model negara kesejahteraan; atau konsep jalan ketiga yang dikemukakan Anthony Giddens.

Tergelincir SARA

Pasca runtuhnya Uni Soviet di penghujung 1991, liberalisme mengklaim sebagai pewaris demokrasi. Ekonomi pasar dipercaya membawa kebebasan sekaligus kesetaraan dan persaudaraan dunia. Di sisi lain, sosialisme sebagai oposan modal dinilai gagal, tak layak menjadi instrumen restrukturisasi global.

Di indonesia terlebih lagi, oposisi terhadap sistem pasar memiliki sejarah traumatik dan penuh intrik. Peristiwa 1965 tak hanya mengakhiri kiprah Partai Komunis Indonesia, tapi juga memberangus identitas dan pemikiran kiri atau sosialis. Padahal, komunisme hanya salah satu varian sosialisme.

Ironisnya, kesenjangan sosial tak terselesaikan oleh dominasi liberalisme. Di Amerika Serikat, pada 2010, satu persen orang berpenghasilan tertinggi menerima 20 persen pendapatan nasional (Thomas Piketty). Di Indonesia, pada tahun yang sama, satu persen penduduk menerima lebih dari 12 persen pendapatan nasional. Kesenjangan global memburuk sejak dekade 1980, dan terus terpuruk di awal milenium ini.

Semua itu terjadi saat sosialisme mengalami kekosongan ide, sedangkan liberalisme terus mengembangkan ide kebebasan sembari mengadopsi isu kesetaraan. Kebuntuan sosialisme sendiri sudah terjadi di era Uni Soviet, khususnya pemerintahan Stalin. Kuatnya kekuasaan Uni Soviet berhasil merebut identitas sosialisme dan memegang klaim politik kiri.

Kejumudan marxisme leninisme yang menolak inovasi gagasan cenderung menghentikan dialektika sosialisme sendiri. Padahal, Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dalam Hegemony and Socialist Strategy menegaskan, sosialisme bukanlah konsep tunggal. Genealogi sosialisme merentang jauh dari model Rosa Luxemburg hingga Vladimir Lenin. Luxemburg menganjurkan revolusi spontanieta, spontan seiring dinamika sosial, sementara Lenin menilai revolusi hanya terjadi dengan intervensi partai pelopor.

Imbas dari semua kemacetan wacana sosialisme, sentimen SARA menguat, termasuk di Indonesia. Di satu sisi, hukum modal tak bekerja untuk menciptakan pemerataan, sementara gagasan besar keadilan sosial absen dari diskursus publik. Saat berwacana kesenjangan dan keadilan sosial, orang pun lebih mudah tergelincir pada identitas primordial.

Publik lebih sibuk memilah siapa yang kaya dan miskin, daripada menelisik kenapa orang mudah melipatgandakan aset, sementara yang lain setengah mati bertahan hidup. Meminjam sebuah kutipan populer, “pemikiran besar berbicara gagasan, pemikiran rata-rata berbicara kejadian, pemikiran kecil berbicara orang.”

Tampaknya, publik hari ini lebih gemar membicarakan orang daripada membahas peristiwa dan pemikiran. Dan wacana SARA pun cepat beranak pinak.

Kolom terkait:

Watak Ganda Kita tentang Keadilan

“Pribumi” Anies, 2019, dan Politik Sentrifugal

Tanggung Jawab Politik “Sang Pribumi” Anies Baswedan

Masih Adakah Cendekiawan Pro-Keadilan?

Pendulum Intoleransi dan Keadilan Sosial

Rifqi Hasibuan
Rifqi Hasibuan
Pemerhati Sosial dan Media, Pernah kuliah S2 Jurusan Komunikasi di Jiangxi Normal University dan S1 Jurusan Sosiologi di UGM.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.