Selasa, Oktober 8, 2024

Kekalahan Ahok Bukan Kekalahan Kemajemukan

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berjabat tangan dengan calon Gubernur DKI Anies Baswedan di Balai Kota, Jakarta, Kamis (20/4). Anies unggul dalam hitung cepat pada Pemilihan Gubernur DKI 2017 putaran kedua. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

Rabu, 19 April 2017. Berselang beberapa jam selepas pemilihan, warga sebuah kampung di Jakarta Utara berangkulan. Mereka riang bukan kepalang mendapati hasil hitung cepat Pilkada Jakarta di televisi. Anies Baswedan memimpin mutlak. Ahok tak mungkin menyusul lagi.

Orang-orang kampung tersebut mendukung pasangan calon nomor tiga. Ini betul. Tetapi mereka gembira, tepatnya, karena hari-hari Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur akhirnya bisa dihitung. Siapa pun penggusurnya, sang gubernur tukang gusur yang menyengsarakan mereka akhirnya akan lengser dari jabatannya.

Satu potret yang diperoleh oleh Ian Wilson ini tak akan banyak Anda temukan hari-hari ini. Imajinasi yang kini berkembang ihwal drama Pilkada Jakarta adalah ia menggambarkan luruhnya benteng terakhir kemajemukan dan akal sehat. Masyarakat kita telah ditelan fanatisme picik. Ahok kalah telak bukan sebagai gubernur, melainkan sebagai seorang kafir yang didakwa secara tidak adil tak layak memimpin (Dan menjadi korban konspirasi tingkat tinggi politik nasional, kalau Anda mau percaya beberapa teori yang kini berkembang)

Dan, memang, data yang ditemukan nampaknya menjadi pembenaran gamblang atas narasi ini. Temuan exit poll yang dilansir oleh Indikator Politik Indonesia, yang menyebar dengan cepat dari gawai ke gawai, menemukan, 58 persen pemilih memilih Anies-Sandiaga karena agamanya yang sama dengan mereka.

Demikian juga dengan temuan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Dua puluh enam persen pemilih Anies-Sandi memilih mereka karena memiliki agama yang sama, 16,8 persennya karena pasangan ini dianggap memperjuangkan agama.

Namun, mari hadapkan ini dengan apa yang terjadi di Kampung Akuarium. Pada Pilkada Jakarta 2012, 95 persen warganya memilih Jokowi-Ahok. Mereka tak peduli calon wakil gubernur yang mereka pilih adalah kandidat dengan etnis Tionghoa maupun beragama non-Muslim. Pendirian ini berubah selepas Ahok naik menggantikan Jokowi. Ia bukan hanya melanggar janji Jokowi memberikan sertifikat tanah kepada yang telah bermukim lebih dari 20 tahun. Ia menggusur mereka.

Ketika Sydney Morning Herald mewawancara warga Kampung Akuarium siapa yang akan mereka pilih dalam Pilkada Jakarta, jawaban mereka tegas. Mereka tidak akan memilih gubernur yang memaki mereka pendatang ilegal dan menularkan TBC.

Hal serupa akan kita temukan pada kampung-kampung yang diteliti Wilson. Pada awal penelitiannya di 2014, sentimen keagamaan serta keaslian tidak mengemuka dalam wawancara-wawancara dengan warga. Warga bahkan mempunyai optimisme dengan pendekatan Jokowi yang humanis—blusukan ke berbagai tempat, berdialog dengan warga, mendengarkan keluh-kesah mereka.

Ekspresi-ekspresi keagamaan dan keaslian baru menyeruak belakangan. Sama halnya dengan di Kampung Akuarium, ia bangkit ketika warga sakit hati dan merasa terancam dengan Ahok. Ia menjadi legitimasi terdekat mereka untuk menegaskan kemanusiaan mereka. Menukil kata-kata Romo Sandyawan—pembela warga Bukit Duri yang dituding Gubernur sebagai penghasut warga—ini adalah persoalan harga diri.

Apakah ini hanya refleksi apa yang terjadi di segelintir kampung saja? Boleh jadi.

Tetapi, saya kira, bukan sebuah kebetulan data yang diperoleh exit poll berbagai lembaga survei menunjukkan suara kelas menengah bawah terhambur ke pasangan Anies-Sandi. Korban penggusuran Ahok dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencapai 25.533 jiwa. Jumlah yang luar biasa ini, tentu saja, tak seberapa bila dibandingkan total jumlah pemilih Pilkada Jakarta.

Namun, bila kelas menengah atas bisa memupuk, menyebarkan—dan memaksakan—citra positif Ahok lewat jejaring sosialnya, bukankah kelas menengah bawah juga dapat menyebarluaskan citra negatif Ahok melalui medium yang sama? Lebih-lebih, mereka tentu tak buta dengan keserupaan dan kesepenanggungan mereka dengan warga yang menjadi korban langsung kebijakan Ahok.

Dan kalau kelas menengah atas bisa mengimajinasikan Ahok memiliki kinerja baik, tegas, berpendirian semata karena menjumpai kemurkaan-kemurkaannya di media, mengapa kelas menengah bawah tak diperkenankan untuk menafsirkan ia kejam dari gelagat yang sama dan bahkan jelas-jelas mengecam kelompok mereka?

Kalaupun sentimen identitas lantas disambut banyak orang dan melengserkan Ahok, saya percaya, itu terjadi karena tidak ada cara lain bagi orang-orang ini untuk menumpahruahkan kepenatan terhadap peminggiran riil dan simbolik yang dialaminya. Tidak ada cara untuk berbicara kepada gubernur yang penglihatannya digelapkan dengan gemerlap perhatian media massa dan media sosial selain dengan politik identitas yang, betapapun banal, ampuh menegaskan bahwa orang-orang tersingkir ini adalah warga yang juga berhak untuk ruang hidupnya.

Klaim agama dan keaslian mungkin menjadi wajah dari kemarahan mereka. Tetapi, di balik itu, kita perlu insaf, ada trauma orang-orang yang rumahnya diluluhlantakkan dengan paksa. Ada ketidakberdayaan mereka yang kehilangan pencahariannya dan tak bisa melakukan apa-apa. Ada ketakutan mereka yang menjumpai bayangan dirinya pada warga yang telah tergusur. Dan, ada dinding tinggi elu-elu kelas menengah atas yang tak bisa mereka tembus dan membelenggu gubernur mereka dalam kaca mata kuda kebanggaan terhadap kebijakan-kebijakannya yang diskriminatif kelas.

Bahaya menafsirkan kekalahan Ahok sebagai kekalahan kemajemukan atau kemenangan agama adalah menghindarkan sang pejabat dari tanggung jawab politik yang nyata. Dan ujungnya, tak lain, adalah penistaan. Penistaan terhadap keadilan sosial. Terhadap sila kelima yang kita sepakati menjadikan kita Indonesia.

Baca juga:

Intoleransi atau Ketidakadilan?

Pendulum Intoleransi dan Keadilan Sosial

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.