Jumat, April 19, 2024

Kaum Hawa di Pilkada 2018

Kehadiran kaum hawa di panggung politik republik ini bukanlah pemandangan yang asing. Pada 1949, Salawati Daud telah menduduki kursi Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Ia Wali Kota Makassar pertama di bawah pemerintahan Republik Indonesia.

Menurut catatan Rudi Hartono (2018) dalam Salawati Daud, Walikota Perempuan Pertama di Indonesia, Salawati adalah pejuang kemerdekaan, yang aktif di pergerakan antikolonial di Sulawesi Selatan sejak 1930-an.

Pada Oktober 1949 Salawati memimpin penyerbuan tangsi militer Belanda. Tak hanya merebut puluhan pucuk senjata, penyerbuan itu juga berhasil membebaskan sejumlah tawanan. Mungkin itu sebabnya ia didaulat menjadi wali kota.

Opu Daeng Risaju, Emmy Saelan, Andi Depu dan Salawati Daud (foto: dok loop.co.id)

Pada Pemilu 1955, Salawati yang dikenal sebagai tokoh kiri terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante. Ini bukan perkara ideologinya, tapi soal kiprah perempuan di alam demokrasi yang menjamin hak politik semua orang, tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Maka, mengungkit-ungkit mitos perihal ketakmungkinan kaum hawa bertarung dalam kontestasi politik sudah tak relevan lagi.

Mari tengok keterwakilan perempuan di Pilkada serentak 27 Juni 2018. Ada 101 perempuan atau 8,85% dari total 1.140 pendaftar bakal calon Kepala Daerah. 49 orang maju sebagai calon Kepala Daerah, 52 lainnya maju sebagai calon Wakil Kepala Daerah.

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, jumlah di atas meningkat dibandingkan dengan keterwakilan perempuan di dua Pilkada sebelumnya. Keterwakilan perempuan hanya 7,47% dalam Pilkada 2015, dan 7,17% di Pilkada 2017.

Di Sulawesi Utara, ada 5 kandidat perempuan yang berkompetisi untuk 6 daerah, yakni Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Kota Kotamobagu, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Minahasa, dan Kabupaten Minahasa Tenggara. Salah satunya Sri Wahyumi Manalip, calon Bupati petahana yang kembali maju melalui jalur perseorangan.

Beberapa hari terakhir perbincangan tentang politisi cantik kelahiran 1977 itu ramai di media sosial, karena ia dinonaktifkan oleh Menteri Dalam Negeri dari jabatannya, lantaran Sri ke luar negeri tanpa izin. Warganet mengenal Sri sebagai bupati yang gemar blusukan di kepulauan Talaud, tak peduli gelombang sedang tinggi. Ia telah mengantongi sejumlah penghargaan, terutama di bidang pariwisata.

Sri makin dikenal sejak Presiden RI Joko Widodo meresmikan bandara di Pulau Miangas, Kabupaten Talaud, pada akhir 2016. Ia berpasangan dengan Gunawan Talanggoran untuk bersaing dengan 3 pasang kandidat lainnya di Talaud.

Di Lampung, muncul nama Chusnunia Chalim alias Nunik, politisi kelahiran 1982.  Baru dua tahun menjabat Bupati Lampung Timur, lalu dilamar Arinal Djunadi untuk mendampinginya di Pemilihan Gubernur Lampung 2018. Alasan Nunik maju adalah karena Arinal memberi ruang lebih bagi peran perempuan dalam banyak sektor.

Nunik tercatat sebagai Bupati perempuan pertama di Kabupaten Lampung Timur. Sebelum memenangkan Pilkada 2015, ia sudah dua kali terpilih sebagai anggota DPR-RI.

Salah satu calon kepala daerah perempuan yang disebut-sebut membawa harapan besar bagi kaum perempuan adalah Khofifah Indar Parawansa. Menteri Sosial (2014-2018) itu maju sebagai calon Gubernur Jawa Timur, didampingi Emil Dardak, Bupati Trenggalek non-aktif. Khofifah yang saat ini masih tercatat sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU adalah politisi senior yang berlatar belakang aktivitas gerakan sosial pro-perempuan.

Di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001), ketika dipercayai sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan, Khofifah mengganti istilah wanita yang biasa diartikan wani-ditata alias siap diatur-atur, menjadi perempuan yang berasal dari kata empu, yang bermakna orang yang dihormati. Sebagaimana diketahui, di masa Orde Baru, kementerian yang dijabat Khofifah itu bernama Menteri Peranan Wanita.

Menurut peneliti LIPI Kurniawati Hastuti Dewi, dalam Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections, sebagaimana dikutip Husein Abdulsalam di www.tirto.id (3/8/17), orientasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) juga mengalami perubahan di era tersebut. Semula PKK memiliki doktrin gerakan kesejahteraan keluarga dengan “istri sebagai pendamping suami”.

Di masa Menteri Khofifah, doktrin itu berubah menjadi perempuan sebagai “partner setara laki-laki,” yang mendorong perempuan menjadi aktif bersama pria di berbagai bidang.

Di sejumlah aktivitas penyapaan di masa kampanye yang disebut Khofifah dengan navigasi program, ia menegaskan bahwa kaum perempuan adalah pihak yang paling banyak menanggung risiko dari tingginya angka kemiskinan, terutama di wilayah pedesaan Jawa Timur.

Menurunkan angka kematian ibu dan bayi, pemberdayaan UMKM perempuan dengan dukungan modal dan penguatan koperasi, serta peningkatan kesejahteraan keluarga dengan progam PKH Plus adalah titik pijak Khofifah.

“Yang tahu masalah dapur adalah ibu-ibu. Yang paham ekonomi keluarga adalah ibu-ibu, maka ekonomi berbasis koperasi yang digerakkan oleh ibu-ibu, harus dikembangkan di semua lini,” ungkap Khofifah dalam peringatan Harlah Muslimat NU ke-72 di Blitar (31/3/2018).

Komitmen Khofifah tentang koperasi bukan isapan jempol belaka. Ia inisiator berdirinya Koperasi Annisa’ di lingkungan Muslimat NU. Pertama kali bergabung di Muslimat NU pada 1995, Khofifah dipercaya sebagai Ketua Bidang Koperasi. Sejak 1996, ia blusukan dari kabupaten ke kabupaten. Bukan saja di Jawa Timur, tapi di seluruh Indonesia, merintis pembentukan koperasi.

Tahun 2008, Muslimat NU berhasil membentuk induk koperasi, dan kini telah memiliki 144 koperasi primer, 19 puskop dan induk koperasi. Atas upaya itu, Khofifah menerima penghargaan dari Menteri Koperasi dan UKM pada 2008 dan 2013.

Di akun Instagram-nya Khofifah menulis, “di Jawa Timur banyak perempuan tangguh. Mereka bekerja keras membantu ekonomi keluarga. Apakah mereka bekerja untuk mencari kemewahan? Tidak! Mereka bekerja untuk meningkatkan ekonomi keluarga, untuk putra-putri mereka yang sedang bersekolah. Maka, usaha yang berbasis keterampilan perempuan harus terus diberdayakan.”

Sebagai politisi, Khofifah bukan anak kemarin sore. Di usia 26 tahun ia sudah menjadi anggota DPR-RI, umur 34 tahun sudah menjadi Menteri. Pilgub Jatim 2018 adalah Pilkada ketiga bagi Khofifah, setelah kalah di dua pilkada sebelumnya (2008 dan 2013). Di linimasa twitter, warganet mempertanyakan kenapa Khofifah tidak belajar dari pengalaman, dan masih maju di pilgub yang belum tentu ia menangkan.

“Kalau saya ingin jabatan, sekaranglah saatnya, karena saya sudah menjadi Menteri, namun ini demi perjuangan kehormatan,” kata Khofifah di hadapan ribuan jemaah Muslimat NU dalam Istighosah Kubro, Ponpes Amanatul Ummah, Mojokerto (4/9/17).

Tak ada yang tahu makna frasa “perjuangan kehormatan”, tapi dapat diduga itulah kehormatan kaum perempuan yang selama ini dibela Khofifah, termasuk kehormatan dirinya sebagai perempuan yang pantang menyerah. Kemauan keras yang tak bisa ditawar-tawar itu mendedahkan banyak harapan, yang dititipkan pada Khofifah, untuk mengangkat martabat kaum perempuan.

Kolom terkait:

Jalan Terjal Perempuan di Panggung Politik

Gus Ipul, Khofifah, dan Kewarganegaraan

Emilia Lisa, Tsamara Amany, dan Suara Politik Perempuan

Politik Kita di Tengah “Tsamaraisasi Milenial”

Ahok, Kartini, dan Kebangkitan Perempuan dalam Politik

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.