Indonesia adalah negara paling konsisten dan tegas dalam mendukung perjuangan Palestina untuk merdeka. Selain dukungan politik, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) calon negara Palestina, dan bentuk-bentuk dukungan lain, hal itu juga tercermin dalam konsistensi Indonesia untuk tidak membuka hubungan resmi baik dagang maupun diplomatik dengan Israel.
Konsistensi itu juga terlihat dari respons Indonesia terhadap kebijakan Presiden AS Donald Trump yang memberikan pengakuan terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel (6/12). Pemerintah Indonesia juga merespons dengan sangat cepat, tegas, dan bahkan keras dengan mengeluarkan statemen kecaman dan dengan sigap menggalang kekuatan melalui berbagai saluran, termasuk melalui organisasi kerja sama Islam. Pemerintah Indonesia mendorong segera digelar sidang khusus masalah ini.
Dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul, Turki, Presiden Joko Widodo menegaskan dukungannya untuk kesejahteraan dan kedamaian di Palestina. Presiden Jokowi juga menyebut selalu ada Palestina di setiap hela napas diplomasi Indonesia.
“Dalam setiap helaan napas diplomasi Indonesia, di situ terdapat keberpihakan terhadap Palestina,” kata Jokowi dikutip dari rilis Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Rabu (13/12).
Selain dari pemerintah, dukungan dari masyarakat Indonesia bagi perjuangan Palestina juga tidak kalah kuat yang tercermin dalam berbagai bentuk dan aksi solidaritas. Bagi saya, itu adalah kebanggaan Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat yang menghormati hak kemerdekaan setiap bangsa.
Faktanya, dukungan besar dan konsisten itu sepertinya tidak berpengaruh banyak di lapangan, khususnya dalam proses perdamaian. Sikap Indonesia dalam isu Palestina memang mencerminkan sikap yang tegas sebagaimana dituntut oleh konstitusi kita. Bangsa ini dituntut untuk memperjuangkan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa dan harus aktif menciptakan perdamaian dunia. Sikap konsisten Indonesia tentu juga melegakan lapisan luas masyarakat Indonesia.
Namun, ada dilema serius dalam sikap Indonesia itu selama ini. Dilemanya terletak pada efektivitas dalam mencapai tujuan. Tujuan dari dukungan bangsa Indonesia untuk Palestina sebagaimana tuntutan konstitusi adalah terciptanya perdamaian dan kemerdekaan. Yaitu, kemerdekaan untuk rakyat Palestina dan perdamaian antara Israel dan Palestina sebagai dua negara berdaulat yang bertetangga baik.
Faktanya, sikap konservatif ini membuat Indonesia tidak banyak membantu menciptakan terobosan penting dalam usaha menciptakan kemerdekaan Palestina dan perdamaian Palestina-Israel. Padahal, di tengah macetnya perundingan dan jauhnya posisi kedua pihak, yang paling dibutuhkan sebenarnya adalah terobosan-terobosan yang kreatif dan berani. Kedua hal di atas, kemerdekaan Palestina dan perdamaian, idealnya bisa tercapai secara bersamaan.
Kunci untuk tercapainya perdamaian ada di tangan Palestina. Dan kunci bagi tercapainya kemerdekaan Palestina ada di tangan Israel. Dua hal ini tak bisa dipisahkan. Israel akan memperoleh perdamaian sebagaimana keinginan mereka selama ini bahkan normalisasi hubungan dengan semua negara Muslim jika Palestina telah menyetujui perdamaian final dan menyeluruh. Demikian pula Palestina bisa menjadi negara merdeka dan berdaulat jika Israel menyetujuinya. Titik, sesederhana itu saja.
Dilemanya, Indonesia tidak memiliki saluran secara langsung untuk berbicara kepada Israel. Indonesia memang bisa berbicara dengan Palestina secara leluasa, tetapi untuk apa? Jika tujuannya adalah untuk membela kepentingan Israel melalui proses perdamaian, maka saluran Indonesia dengan Palestina itu sangat bermanfaat. Tetapi, jika kita hendak memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui proses perdamaian, yang sangat penting adalah saluran kita kepada Israel. Tapi kita tidak memilikinya. Itu dilema lapis pertama.
Dilema lapis kedua adalah jika kita membuka saluran komunikasi langsung dengan Israel, maka logikanya kita memang memiliki hubungan dengan negara itu, baik di level dagang saja sebagaimana kebanyakan negara Arab atau sampai pada level diplomatik sebagaimana Mesir, Yordania, Turki, dan lainnya.
Tetapi, jika kita membuka hubungan dengan Israel, apa itu bukan berarti pelanggaran terhadap konstitusi kita. Sebab, Israel masih menjajah Tepi Barat yang seharusnya menjadi tempat berdirinya negara Palestina merdeka. Perlu kajian konstitusi yang sungguh-sungguh mengenai hal ini dan tentu juga seberapa jalan itu kemungkinan akan memberi dampak efektif. Tapi, yang hampir pasti, gejolak domestik akan sangat kuat dalam merespons perubahan strategi pemerintah dalam mendukung perjuangan Palestina.
Dilema lapis lain tentu terkait dengan pihak Palestina sendiri dan negara-negara Arab yang lebih berdekatan dengan Israel secara geografis. Penyatuan Palestina saat ini seperti basa-basi saja. Di lapangan, keterpecahan pemerintahan yang paling dominan terlihat, kendati rekonsiliasi di depan kamera telah tercapai.
Perpecahan HAMAS-Fatah mungkin justru menguntungkan bagi sebagian elite kedua sayap politik utama Palestina ini. Tapi, itu jelas sangat kontroproduktif dalam upaya mencapai kemerdekaan. Sementara kita terus menjadi supporter yang gegap gempita tak lelah memberi dukungan, para pemain klub yang didukung justru tidak kompak dalam permainan dan bikin permainan sendiri dengan tujuan lain.
Hal yang sama juga terjadi pada negara-negara Arab atau Timur Tengah di sekitarnya. Mereka lebih banyak terlibat baku hantam. Isu Palestina sepertinya sudah masuk kotak, yang terpenting bagi elit-elite diktaktor di kawasan itu adalah mempertahankan kekuasaan atau menghancurkan lawan. Urusan Palestina hanya urusan di bibir saja, itu pun saat disorot oleh kamera. Setiap kali ada musibah di Palestina, mereka ikut jadi suporter, ikut berteriak di depan media, lalu setelah itu selesailah semuanya.
Dengan begitu, tekanan domestik akibat masalah Palestina pasti akan berkurang atau bahkan terhindarkan, kendati tak membawa efek apa-apa bagi perjuangan Palestina merdeka. Menyebalkan.
Kolom terkait:
Menakar Komitmen Erdogan dalam Krisis Yerusalem
Trump dan Status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel
Yerusalem, Pembuka Jalan Negara Palestina?