Kamis, Maret 28, 2024

Jokowi dan Upaya Melawan Trauma atas Pancasila

Edbert Gani Suryahudaya
Edbert Gani Suryahudayahttp://www.edbertgani.wordpress.com
Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, Asisten Peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Ketika masyarakat kita saat ini sedang terbelah dua atau sering disebut terpolarisasi, pemerintah dan Presiden Jokowi berusaha mempromosikan kembali Pancasila dan berharap penguatan ideologi tersebut dapat menjadi solusi. Baru-baru ini Presiden Jokowi akan membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017.

Bagi mereka yang memang anti-Pancasila, bahkan berniat mengubahnya, tentu tidak ada ruang diskusi lagi. Mereka hanya bertujuan untuk mengubah dasar ataupun bentuk negara. Namun, yang menarik kemudian adalah perdebatan di kelompok yang memang masih menginginkan NKRI yang dulu diciptakan dengan dasar Pancasila namun sekaligus juga membuka ruang untuk mempertanyakannya sekaligus.

Kelompok yang kedua inilah yang sebenarnya mayoritas tapi juga di saat yang sama belum memiliki suara bulat yang sama. Mereka punya kegelisahan yang sama, namun belum satu suara dalam memaknai Pancasila sebagai sebuah jalan keluar utama.
Permasalahan kelompok inilah yang perlu kita sadari bersama, karena kelompok ini tidak lain adalah mayoritas dari masyarakat Indonesia.

Pergumulan akan pemaknaan sekaligus juga penerimaan Pancasila sebagai dasar negara berjalan dari mulai bangsa ini berdiri hingga saat ini. Nampaknya lamanya waktu yang dibutuhkan oleh Pancasila untuk bisa benar-benar menyerap ke seluruh masyarakat Indonesia perlu dilihat sebagai kegagalan negara dan seluruh kelompok masyarakat dalam mengakomodasi hal tersebut.

Tantangan terbesar Pancasila di era Reformasi sekarang ini terletak pada rasa traumatik dan sinis oleh masyarakat Indonesia karena pengalaman Orde Baru yang menggunakannya sebagai alat politik semata. Pemerintahan Orde Baru menggunakan Pancasila bukan sebagai dasar ideologi pemersatu bangsa, melainkan hanya sebatas alat untuk menekan masyarakat dengan melegitimasi tindakan represif terhadap pengkritik negara.

Negara pada saat itu mengidentifikasikan dirinya sebagai perwujudan dari Pancasila, sehingga siapa pun yang mengkritik negara sama saja anti-Pancasila.

Traumatisme di atas nampaknya masih mendekam di tengah masyarakat kita sehingga antusiasme akan ideologi Pancasila tidak sedemikian besar rasanya. Slogan Bhinneka Tunggal Ika nampaknya masih lebih populer sebagai simbol pemersatu maupun pesan politik. Slogan tersebut dirasa dengan mudah bisa diserap oleh masyarakat dan diaplikasikan.

Kelompok yang baru-baru ini menghiasai malam-malam kota-kota besar di tanah air dan luar negeri dengan nyala lilin dalam menanggapi vonis kasus Ahok lebih banyak menyerukan semangat pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila masih sedemikian redup atau bahkan kurang dijadikan semboyan bersama. Pertanyaan kritisnya adalah, mereka mengamalkan slogan Bhinneka Tunggal Ika, tapi apakah telah memahami Pancasila sebagai dasar semuanya?

Pertanyaan tersebut sepatutnya menjadi otokritik dalam gerakan luas menjaga keutuhan bangsa. Apabila kita ingin tarik lebih dalam, Sukarno melihat bahwa Pancasila sesungguhnya dapat diperas menjadi ekasila, yaitu gotong royong. Seorang tokoh nasional bernama Harry Tjan Silalahi dalam sebuah kesempatan di satu stasiun televisi mengingatkan akan hal tersebut. Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya pluralisme aktif di masyarakat.

Pengertiannya adalah dalam situasi yang multikultural, kita tidak bisa menjadi eksklusif, namun harus berani saling bantu-membantu, gotong-royong. Maka, sebenarnya perjuangan kebangsaan kita tidak timbul begitu saja, melainkan telah dirumuskan jauh-jauh hari oleh pendiri bangsa. Hanya saja penurunannya ke generasi muda sangat kurang.

Tak dapat dipungkiri, sejarah telah mencatat bahwa Pancasila memang sebuah konsensus politik pada awal pendirian bangsa ini. Permasalahannya adalah ketika kita melihatnya hanya pada titik itu. Jika demikian, Pancasila tidak bisa bergerak maju dari sekadar kompromi politik menjadi sebuah komitmen berbangsa dan bernegara. Pendapat inilah yang sangat perlu ditekankan dalam setiap studi tentang Pancasila itu sendiri.

Bahkan dalam kadar tertentu, studi-studi ilmu politik tentang Indonesia perlu mulai bergerak dari hanya melihat kompromi itu sebagai perdebatan dan persaingan politik yang tidak pernah berhenti. Karena setelah menjadi sebuah konsensus, alat pengikat bangsa, selanjutnya adalah masalah bagaimana ikatan itu diperkuat sedemikian rupa agar tidak longgar diterpa zaman.

Karena berupa konsensus, maka menurut Chantal Mouffe dalam teorinya tentang agonistic democracy, dalam iklim demokrasi kita sepatutnya melihat kelompok lain sebagai adversary, bukan sebagai enemy.

Bagi Mouffe, dengan melihatnya sebagai adversary, maka sepatutnya seluruh kelompok terakomodir dalam demokrasi. Apabila kita tarik kembali, jauh sebelum Mouffe, konsep ekasila Sukarno pada dasarnya telah mengakomodasi hal tersebut.

Mengatakan Pancasila sebagai sesuatu yang usang, tidak jelas, bahkan tidak perlu adalah sesuatu yang bisa dibilang salah kaprah. Setiap bangsa memerlukan apa yang disebut dengan ideologi. Namun ideologi pun dapat kita bedakan menjadi ideologi terbuka dan ideologi tertutup.

Saya memahami bahwa Pancasila sejatinya merupakan sebuah ideologi terbuka, karena ia merupakan falsafah negara. Pengertiannya adalah bahwa Pancasila merupakan tujuan dan visi Indonesia ke depan yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa dan penerusnya hingga saat ini.

Dengan demikian, Pancasila akan terus memiliki signifikansinya dan melepasnya sama saja melepas bangsa Indonesia. Memperjuangkan sebuah negara tanpa berdasar pada tujuan bersama yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa ini sama saja berada di ruang kosong atau bahkan mengarah pada cita-cita bangsa atau negara lain. Seluruh negara yang merdeka tentu punya nilai falsafahnya masing-masing.

Memahami Pancasila sebagai falsafah negara menghasilkan dua poin penting. Pertama, karena ia bukan merupakan ideologi tertutup, maka sudah sepantasnya dan sewajarnya tidak ada monopoli begitu saja atas bagaimana kita menurunkannya. Salah satu sisi negatif dari Orde Baru adalah ketika negara memonopoli sekaligus mempolitisasi definisi maupun turunan dari Pancasila itu sendiri. Poin ini yang seharusnya diperhatikan secara baik oleh negara yang saat ini dipimpin oleh Presiden Jokowi.

Kedua, dengan sifatnya yang memang merupakan ideologi terbuka, maka mengatakan Pancasila tidak relevan karena tidak memberikan turunan yang jelas dan aplikatif adalah salah sasaran. Justru karena ia ideologi terbuka, maka terbuka kesempatan partisipasi dalam diskusi dan elaborasi yang luas bagaimana cara mencapainya. Itulah tugas bangsa ini sejak negara ini dan Pancasila itu lahir.

Bukan berarti karena tidak ditemukannya rumusan yang jelas, maka Pancasila harus diganti. Seperti telah disebutkan sebelumnya, melakukan itu sama saja dengan menghancurkan negara.

Untuk itulah yang menjadi fokus utama tulisan ini ialah penguatan pemahaman akan Pancasila perlu juga dibarengi dengan pemberian ruang diskusi dan diskursus yang seluas-luasnya kepada masyarakat. Deliberasi akan pemahaman Pancasila di tengah masyarakat menjadi kunci.

Sejarah telah mencatat bahwa perumus Pancasila sendiri, Bung Karno, yang menjadi tokoh pertama yang menutup ruang deliberasi tersebut. Perdebatan dalam Majelis Konstituante tahun 1956-1959 yang dalam beberapa catatan sejarah sebenarnya sudah hampir berada pada titik akhirnya justru dibubarkan oleh Presiden Sukarno lewat Dekrit 5 Juli 1959, serta memulai Demokrasi Terpimpin.

Tindakan itu mengundang Bung Hatta mengatakan, “Orang yang menggali Pancasila, menguburkan sendiri galiannya itu.”

Ruang diskusi dan deliberasi dari Pancasila juga tidak terjadi di periode Orde Baru. Namun yang justru menjadi beban di generasi sekarang ini adalah ketika selama kurang lebih 19 tahun Reformasi berjalan, negara dan masyarakat pada umumnya tidak berusaha mengisi kekosongan itu. Rasa traumatik dan sinis yang lebih banyak mengisi masa Reformasi kita akan Pancasila. Hal inilah yang sebenarnya berusaha dimanfaatkan peluangnya oleh kelompok-kelompok radikal dalam mengintervensi pemahaman kebangsaan masyarakat.

Sebenarnya sudah banyak buku yang bisa membantu kita memahami kembali dasar-dasar pemikiran dan filsafat Pancasila sekaligus wawasan historis yang memuat perdebatan para perumusnya di masa awal kemerdekaan. Sekarang masalahnya tinggal bagaimana kita berusaha menyampaikannya, khususnya kepada generasi muda.

Ke depan bangsa ini akan berperang dalam ranah gagasan. Hegemoni pemikiran pada akhirnya akan memainkan perannya. Dalam situasi polarisasi yang nampaknya memang sedemikian besar, memang diperlukan semakin banyak ruang diskusi maupun penyebaran buku dan tulisan yang mampu mengalahkan narasi radikalisme di tengah masyarakat.

Tantangan besar selain memerangi gagasan adalah bagaimana negara bisa tetap bersikap demokratis dalam berusaha menegakkan Pancasila itu sendiri. Selain ruang deliberatif untuk memaknai abstraksi Pancasila, pemerintah juga perlu tetap menekankan prinsip demokratis dalam menindak kelompok-kelompok yang dirasa ingin mengubah atau anti-Pancasila.

Inilah tantangan terbesar dalam sebuah sistem demokrasi. Kita bisa berbeda pendapat, namun kita tidak bisa menekan kelompok lain yang berbeda dengan cara-cara yang tidak demokratis.

Perlulah kemudian kita melihat kembali pemikiran Bung Hatta, yang dikutip kembali oleh Buya Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara. Bagi Buya Syafi Maarif, pemikiran Hatta dianggap dapat menjadi kunci dan relevan untuk melanjutkan deliberasi pemikiran akan Pancasila ke depan. Pemikiran Hatta juga dirasa menjadi jembatan yang kokoh dalam perdebatan hangat antara kelompok nasionalis sekuler dan Islam pada waktu dulu.

Hatta merumuskan tiga sumber demokrasi sosial di Indonesia. Pertama, sosialisme Barat yang memiliki prinsip humanisme. Kedua, ajaran Islam yang memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan. Ketiga, pola kolektivisme yang telah ada di desa-desa di Indonesia.

Dengan begitu, Pancasila bagi Hatta tidak sekadar kompromi politik semata, melainkan sebuah penjewantahan sifat kebangsaan dan pemikirannya sendiri tidak datang dengan sendirinya, namun melalui pemahaman akan berbagai pemikiran yang konstruktif dalam politik yang demokratis dan humanis. Menurut Buya, Hatta melihat bahwa apabila demokrasi lenyap, maka lenyap pulalah Indonesia.

Saat ini tulisan-tulisan dari intelektual Yudi Latif nampaknya juga menjadi salah satu acuan dalam memulai elaborasi secara luas dan terstruktur tentang Pancasila. Ke depan, pondasi pemikiran yang kokoh yang terjadi karena proses diskusi melibatkan berbagai kelompok masyarakat sangat dibutuhkan.

Pemerintah merencanakan lembaga UKP-PIP akan melakukan sosialisasi Pancasila dengan menggunakan metode yang kekinian, seperti audio visual, gambar atau komik, yang dirasa bisa diterima oleh anak muda. Bentuk memang penting untuk memberikan penerimaan atas gagasan secara mudah. Akan tetapi pondasi pemahaman yang dalam akan Pancasila penting dimulai bersamaan dengan itu.

Generasi-generasi tua perlu sekali lagi berkumpul bersama, mendiskusikannya di ruang-ruang terbuka, agar generasi muda pun dapat kembali tergugah untuk mengenal falsafah bangsanya sendiri.

Baca juga:

Pancasila, Kawah Candradimuka, dan Anti Absolutisme

Banyak Pancasilais, tapi di Mana Pancasila?

Edbert Gani Suryahudaya
Edbert Gani Suryahudayahttp://www.edbertgani.wordpress.com
Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, Asisten Peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.