Pekan lalu ada lembaga survei yang merilis hasil temuannya terkait tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo. Tidak hanya itu, lembaga survei tersebut juga merilis tingkat elektabilitas sosok tokoh yang berpeluang menjadi calon presiden pada Pemilihan Presiden 2019. Dari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), kita dapat mengetahui fakta bahwa tingkat kepuasaan masyarakat terhadap tiga tahun kinerja pemerintahan Jokowi mencapai angka 68 persen. Sementara itu, tingkat elektabilitas atau tingkat keterpilihannya berada di angka 38,9 persen.
Bahkan jika diadakan simulasi pilpres saat survei dilakukan pada periode September 2017 lalu, Jokowi dinyatakan unggul atas Prabowo dengan suara 57 persen berbanding 31,8 persen. Temuan SMRC terakit peluang keterpilihan calon presiden potensial di atas menempatkan sosok Jokowi berada di atas Prabowo Subianto (12 persen), pesaing terdekatnya, yang diprediksi akan kembali bertarung dalam Pilpres 2019.
Merespons survei SMRC di atas, muncul beragam komentar minor dari tokoh partai oposisi pemerintah yang tidak terima dengan fakta bahwa Jokowi diprediksi bakal unggul dalam Pilpres 2019. Pentolan Partai Gerindra Fadli Zon, misalnya, menyebut bahwa tingkat elektabilitas Jokowi dengan angka 38,9 persen menurut SMRC sangatlah rendah, dan menurutnya hal tersebut menunjukkan masyarakat menginginkan adanya presiden baru.
Ia bahkan mencontohkan, seperti terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, kepuasaan warga DKI terhadap kinerja Ahok tinggi pada ujungnya warga DKI menginginkan adanya gubernur baru. Hemat saya, boleh-boleh saja tidak terima dengan hasil survei. Pun demikian boleh juga mengharapkan Jokowi tumbang. Namun, yang harus diingat, menganalogikan Jokowi akan bernasib kalah sebagaimana tumbangnya Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017 tidaklah tepat dan bisa jadi keliru besar.
Ingat! Jokowi bukan Ahok. Maknanya apa? Jokowi adalah sosok dengan segudang prestasi kerja yang membanggakan. Jokowi bukanlah sosok kontroversial yang mudah dicari-cari kesalahannya, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sekalipun menimbulkan pro dan kontra masih dalam batas wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Seperti yang disampaikannya, “Anda tidak setuju dengan Perppu Ormas, tidak setuju dengan UU Pemilu 2019, silakan gugat di Mahkamah Konstitusi!” Semua ada jalurnya, semua ada koridornya, tidak perlu gaduh dan membuat instabilitas.
Belum lagi dengan capaian-capaian pemerintahannya di bidang infrastruktur yang kini satu persatu mulai dapat dinikmati warga, peningkatan kualitas layanan publik, kepastian hukum yang tegas memberangus praktik pungutan liar, dan stabilitas ekonomi makro. Semuanya menjadi justifikasi pembenar atas temuan SMRC bahwa memang politik kerja Jokowi benar-benar berbuah dan dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia.
Senada dengan survei terbaru SMRC, survei sebelumnya juga merilis temuan bahwa isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dimobilisasi oleh satu dua partai tertentu untuk menyerang secara personal sosok Presiden Jokowi yang berpeluang besar akan berlaga dalam Pilpres 2019. Merujuk pada temuan tersebut, 86,8 persen warga Indonesia tidak setuju dengan anggapan bahwa PKI sekarang bangkit. Hanya sekitar 12,6 persen warga yang setuju.
Selain itu, ihwal keterkaitan Jokowi dengan PKI, hasil survei juga menunjukkan 75,1 persen warga tidak percaya Jokowi terkait PKI, hanya 5,1 persen warga yang mempercayai. Yang patut menjadi perhatian dari survei tersebut, rupanya 19 persen pendukung Prabowo yang setuju dengan isu kebangkitan PKI. Hal ini beririsan juga dengan temuan bahwa partai-partai oposisi seperti Gerindra dan PKS cendrung setuju dengan isu kebangkitan PKI.
Tokoh-tokoh kedua partai juga tidak canggung untuk menyatakan bahwa PKI sedang bangkit. Bahkan beberapa waktu lalu ada seorang oknum fungsionaris Partai Gerindra terang-terangan menuduh PDI-P, kendaraan politik Jokowi, sebagai sarangnya PKI. Inilah realitas politik mutakhir Indonesia, menggunakan sentimen SARA dan cara-cara fitnah untuk menjatuhkan lawan.
Jika dalam Pilkada Jakarta 2017 isu SARA laris dijual dan dijadikan senjata guna melumpuhkan lawan politik di mana pasangan petahana Ahok-Djarot berhasil disingkirkan dan ditenggelamkan, maka cara yang sama akan coba dipakai menyongsong pagelaran Pilpres 2019. Kalau sebelumnya Ahok diserang karena dia berasal dari etnis China, Kristen, dianggap temperamental, arogan, kontroversial, dan hal-hal sensitif lainnya, kini giliran Jokowi coba diserang dengan isu PKI dan beberapa isu SARA.
Terhadap hal tersebut, saya berkeyakinan dan berani memastikan bahwa modus tak beradab itu sangatlah tidak mujarab digunakan untuk menjatuhkan Jokowi. Sia-sia belaka menyerang Jokowi dengan fitnah buta, malah Jokowi yang akan beruntung, ia semakin leluasa untuk membuktikan bahwa dirinya adalah sosok yang apa adanya, bukan agen komunis seperti yang dituduhkan para pembenci, mampu memberikan dedikasi terbaik dengan prestasi-prestasi kerja.
Singkatnya, jangan pernah menyamakan sosok Jokowi dengan Ahok. Mereka berbeda satu sama lain. Kalaupun keduanya pernah terlibat kerjasama politik saat berhasil terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI 2012, itu pun dalam nafas politik kerja, politik pengabdian bagi negara, bukan politik kotor untuk memperkaya diri dan golongan. Dan kini keduanya memiliki takdirnya masing-masing.
Seiring kekalahan telak dan kasus hukum yang menjeratnya, Ahok sudah menyatakan pensiun dari panggung politik. Sementara itu, Jokowi dengan rasa optimismenya siap untuk terus mengabdi, memberikan dedikasi terbaik dengan kerja-kerja nyata yang terukur. Jokowi adalah Jokowi, sosok yang susah dicari padanannya. Sekali lagi, Jokowi bukanlah Ahok! Stop mobilisasi persepsi dan politik fitnah yang memecah belah bangsa!
Kolom terkait:
Politik dan Desakralisasi Agama
Jokowi dalam Pusaran Isu Sensitif dan Kontroversial
Isu Anti-Cina dan Nasionalisme Kaum Muda