Sabtu, April 27, 2024

Jokowi, Bebek Lumpuh, dan Freeport

Amiruddin al-Alrahab
Amiruddin al-Alrahab
Wakil Ketua Komnas HAM
Sejumlah pegiat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Rabu (27/1). Dalam aksinya mereka menuntut KPK untuk mengusut tuntas kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), menolak kebagkitan militerisme, serta meminta pemerintah menasionalisasi Freeport. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah aktivis menggelar aksi unjuk rasa terkait Freeport Indonesia di depan Gedung KPK, Jakarta , Rabu (27/1/2016). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Dalam sebulan ini, kita disajikan drama nan tiada ujung tentang Freeport di Papua. Pemerintah seakan-akan kerja serius, tapi hasilnya nihil. Kenapa? Karena Freeport tetap saja bisa menggertak pemerintah serta bermain waktu untuk mendirikan smelter.

Coba simak, drama yang terpapar kepada publik melalui beragam berita setelah gembar-gembor Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Mulai dari sinetron “papa minta saham” sampai pada drama pemerintah telah berhasil menego “51%” saham Freeport akan menjadi milik pemerintah. Bahkan pemerintah mewacanakan telah berhasil mengubah kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Semua sinetron itu hanya menyajikan realitas palsu, karena Freeport diduga kuat sedari awal memang tidak sudi mengikuti agenda pemerintah. Karena membangun smelter seperti diwajibakan Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) mungkin tidak pernah ada dalam skenario bisnis Freeport.

Jadi, adu akting antara Freeport dengan Pemerintah RI sepertinya tidak berjalan dalam skenario yang sama, tapi beranjak dari titik kepentingan yang berbeda. Mengapa demikian? Karena Freeport selalu punya senjata pamungkas untuk menakut-nakuti pemerintah, yaitu melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) para buruhnya yang jumlahnya ribuan.

Jika PHK massal terjadi, kondisi Timika dan Papua akan instabil. Senjata Freeport lainnya adalah keberhasilan Freeport sejak dulu menciptakan situasi bahwa pemerintah lebih membutuhkan Freeport, bukan sebaliknya.

Implikasi dari sergapan kedua senjata Freeport itu adalah, siapa pun yang pegang pemerintahan betul-betul percaya bahwa pemerintah memang tak bisa berbuat lain kepada Freeport, kecuali berkompromi dengan kemauan Freeport. Bisa dikatakan di hadapan Freeport, Pemerintah RI menjadi laksana bebek lumpuh.

Agar bisa keluar dari situasi bebek lumpuh itu, pemerintah mesti memgambil langkah drastis. Bukankah Presiden Joko Widodo di awal pemerintahannya menjanjikan akan mengambil langkah vivere veri coloso (berani menempuh bahaya) dalam menegakkan kedaaulatan dalam berekonomi dengan slogan berdikari?

Nah, terhadap Freeport  watak vivere veri coloso itu perlu ditunjukkan. Sebab, bukan pemerintah yang membutuhkan Freeport, tapi sesungguhnya Freeport-lah yang membutuhkan pemerintah. Simak saja sejarah keberadaan Freeport sejak awal di Papua sampai kini. Bukankah Freeport menginjakan kakinya dulu dengan fasilitas pemerintan melalui UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing agar mendapat tax holiday dan konsensi lahan. Itu sekadar menyebut dua fasilitas dan tentu banyak fasilitas lainnya.

Kini, dalam wacana politik di Papua, Freeport laksana beban bagi pemerintah. Karena, tokoh-tokoh Papua, khususnya dari kalangan muda, melihat Freeport sebagai simbol bercokolnya ketidakadilan. Bahkan tidak jarang kejengkelan orang-orang di Papua kepada Freeport dialamatkan kepada pemerintah.

Sementara itu, pendapatan negara dari Freeport dalam bentuk royalti dan pajak badan tidak cukup untuk membiaya seluruh aktivitas pembangunan di Papua. Seorang pejabat senior pernah mengatakan kepada saya, pemerintah nombok untuk membiaya pembangunan dan pelayanan publik di Papua, karena pendapatan dari Freeport lebih kecil dari yang dibutuhkan. Kondisi begitu telah berlangsung puluhan tahun.

Nah, apa jalan keluar yang tersisa jika situasi sudah kuldesak begini? Sementara waktu telah habis dua tahun untuk bernegosiasi, dan pemerintah terus terdesak. Saya rasa, langkah vivere veri coloso yang senafas dengan Nawacita Jokowi perlu diambil: mengadakan referendum nasional untuk menentukan nasib dan masa depan Freeport.

Pilihan dalam referendum itu adalah: [pertama] Freeport dibekukan seluruh operasinya, kemudian dinasionalisasi. Atau [kedua], seluruh ketentuan KK dilanjutkan dengan mengenyampingkan UU Minerba. Agar hasil referendum itu konstitusional, apa pun hasilnya itu diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk ditindaklanjuti menjadi keputusan politik bersama dengan eksekutif.

Jika langkah referendum nasional itu diambil, baru pemerintah akan tampak bertaji di hadapan Freeport. Saya percaya, jika diadakan referendum mengenai Freeport, pilihan nasionalisasi akan memang. Dengan demikian, pemerintah akan berdikari dalam lapangan ekonomi akan tampak.

Langkah melakukan referendum untuk kepentingan nasional harus dimulai di Indonesia, karena itu menunjukkan kedaulatan rakyat yang sesunguhnya. Dan itu menunjukkan adanya kepastian sikap pemerintah kepada investor besar seperti Freeport Indonesia. Apalagi untuk memperlihatkan bahwa Indonesia benar-benar berdaulat dalam bidang ekonomi. Referendum juga harus dilihat dengan santai, seperti yang terjadi di Inggris belakangan ini ketika keluar dari Uni Eropa demi ekonomi nasional mereka.

Jika sikap berani Pemerintah RI ini benar-benar ada, mungkin Freeport tidak akan memperlakukan pemerintah seperti bebek lumpuh lagi. Semoga.

Amiruddin al-Alrahab
Amiruddin al-Alrahab
Wakil Ketua Komnas HAM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.