Rabu, April 24, 2024

Jadikan Politik Sarana Ibadah Terbaik

Banyak kalangan mengeluh dengan realitas politik saat ini, dianggap tidak menentu ke mana arahnya dan tidak jelas polanya. Politik seperti teater yang dipentaskan di panggung dengan struktur bangunan tak beraturan, dengan skrip yang disusun secara absurd, tidak jelas ujung pangkalnya.

Yang tampil di permukaan panggung politik hanyalah keburukan-keburukan: maraknya tindak pidana korupsi, asusila, dan bahkan kejahatan terorisme yang begitu mudah mengorbankan nyawa. Politik seolah menjadi dimensi yang buruk dari kehidupan kemanusiaan.

Tapi, apakah keluhan dan pandangan kita yang buruk tentang politik bisa memperbaiki keadaan? Tidak. Politik membutuhkan kepedulian dan keterlibatan orang-orang baik agar cerita yang tergambar di panggung bisa berubah, menceriakan, dan mencerahkan.

Karena, sejatinya, politik dalam suatu negara tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik, dan alokasi atau distribusi kepentingan. Filsuf Plato dan Aristoteles menganggap politik sebagai upaya menuju masyarakat politik yang terbaik, di dalamnya manusia bisa hidup bahagia karena memiliki peluang mengembangkan potensi dan bakat yang dimilikinya, bisa berinteraksi antar sesama warga secara akrab dan beradab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi.

Peter H. Merkl dalam buku Continuity and Change (1967:13) menulis, politics, at its best is a noble quest for a good order and justice (politik dalam bentuknya yang terbaik adalah upaya mencapai suatu masyarakat yang baik dan berkeadilan). Politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches (politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk diri sendiri).

Pandangan Merkl menunjukkan dua wajah politik yang saling berhadapan. Satu sisi untuk kebaikan, tapi di sisi lain bisa juga untuk keburukan. Harold Lasswell (1935) menyebutnya dengan ungkapan “siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana” (who gets what, when, and how).

Definisi politik menurut Lasswell ini mencerminkan puncak pragmatisme, yakni suatu gambaran politik yang semata-mata dilihat dari sisi cara untuk mengambil manfaat yang dibutuhkan. Dengan berpolitik, siapa pun bisa memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, demi kepentingan apa pun dan untuk kepentingan siapa pun.

Dan untuk mendapatkan itu, semua cara bisa ditempuh, sepanjang diperkenankan oleh undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, jika Anda ingin berbuat baik dengan dampak yang luas dan sistemik, berpolitik menjadi salah satu pilihan yang tepat. Dengan kekuasaan politik, Anda bisa melakukan apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi, dan tidak melanggar undang-undang.

Apakah pragmatisme politik seperti ini merupakan tindakan yang buruk? Bisa ya, bisa tidak. Pragmatisme hanya merupakan cara pandang (bahasa akademik menyebutnya aliran filsafat) yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang bisa membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang benar dengan cara melihat hasilnya yang bermanfaat secara praktis.

Karena ukuran kebenaran hanya dilihat dari manfaatnya inilah yang membuat pragmatisme menjadi cara pandang yang berpotensi disalahmengerti sebagai bentuk ketidakpatutan. Pragmatisme kerap diidentikkan dengan pandangan “tujuan menghalalkan cara” (the end justified the means) yang digagas Niccolo Machiavelli.

Maka, jika ada yang bertanya, bisakah politik dijadikan sebagai sarana ibadah? Jawabnya pasti bisa. Politik pada dasarnya hanya alat. Alat, seperti halnya pisau, pedang, senapan, atau apa pun yang bisa dipergunakan untuk melakukan sesuatu, pada dasarnya netral, bisa digunakan untuk berbuat baik dan bisa juga digunakan untuk berbuat jahat.

Bagaimana alat bisa berfungsi akan sangat tergantung pada siapa yang memakainya. Di tangan orang baik-baik, alat yang buruk pun bisa dibuat untuk kebaikan. Sebaliknya di tangan penjahat, alat yang baik bisa digunakan untuk melakukan kejahatan.

Begitulah politik. Ia bisa jadi alat meraih kebajikan, juga bisa menjadi sarana berbuat kejahatan. Kebijakan-kebijakan konstruktif yang bisa mengantarkan rakyat ke gerbang kesejahteraan dan kemakmuran, bisa dirancang, disusun, dan ditetapkan melalui aktivitas berpolitik. Sebaliknya, korupsi yang menyengsarakan, juga kebijakan-kebijakan untuk menindas rakyat, semua bisa dilakukan dengan politik (kekuasaan) sebagai alatnya.

Politik, dengan demikian, bisa dijadikan sebagai sarana ibadah yang mulia, dan bisa juga untuk melakukan tindakan durjana. Pilihan itu ada pada manusianya. Untuk apa mendirikan partai politik, dan untuk apa menjadi aktivis politik? Jawabannya hanya ada pada dua pilihan ini.

Aktivitas politik yang terjadi di negara mana pun, dengan partai politik apa pun, sejatinya berisi kompetisi antara dua kepentingan ini. Maka, saat kita berniat masuk dan aktif di partai politik, harus memancangkan sekuat-kuatnya niat baik, menjadikan politik sebagai pilihan kebajikan. Menjadikan politik sebagai sarana ibadah terbaik.

Selamat menjalankan ibadah puasa. Dan selamat bagi siapa pun yang mampu menjadikan politik sebagai sarana untuk meraih setinggi-tingginya nilai ibadah, dan untuk mencapai setegak-tegaknya keadilan, serta seluas-luasnya kesejahteraan rakyat.

Baca juga:

Politik Orang Baik

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.