Minggu, Oktober 6, 2024

Izinkan Ulil Pensiun Membakar Rumah [Tanggapan untuk Muhidin Dahlan]

Mimpi Ujian

Cania Citta Irlanie
Cania Citta Irlanie
Mahasiswi S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia. Mengimani kebebasan individu dan kemanusiaan.

Ulil-Abshar
Ulil Abshar-Abdalla [sumber: panjimas.com]
Saya tidak kenal personally dengan Mas Muhidin Dahlan. Semoga menuliskan tulisan tanggapan dapat dipandang sebagai sebuah cara perkenalan yang asyik.

 

Muhidin beberapa hari lalu menuliskan sebuah kolom berjudul Ulil, Ahok, dan Para Pembakar Rumah. Kolom tersebut dipicu oleh tweet fenomenal Ulil Abshar-Abdalla tertanggal 3 Februari 2017 yang berbunyi: Ahok is a BIG liability for our social fabric as a (still) fragile nation. We should get rid of him. Too dangerous!

Yang apabila diterjemahkan, berbunyi: Ahok adalah sebuah liabilitas besar untuk harmoni sosial kita sebagai bangsa yang masih rapuh. Kita harus get rid of him (saya khawatir salah mengartikan, namun frasa ini biasa saya pahami sebagai “enyahkan dia” atau “singkirkan dia”). Terlalu berbahaya!

Di hari yang sama, Ulil langsung menjelaskan maksud omongannya tersebut dalam kultwit sepanjang 40 tweets. Namun, saya mendapatkan penjelasan bukan dari kultwit tersebut, melainkan hasil tabayyun langsung pada yang bersangkutan. Dari hasil tabayyun inilah, saya mencoba menganalisis alur rationale yang dibangun Ulil hingga sampai pada kesimpulan tersebut.

Sama seperti Muhidin, saya pun belajar banyak dari Ulil, sosok pemikir Islam dengan spirit liberal, menggebu-gebu namun tetap tajam menguliti satu per satu tafsir Islam yang perlu direvisi. Namun, lebih dari Cik Guru soal pedoman menulis esai yang tajam, Ulil menjadi pedoman saya untuk melihat wajah Islam Indonesia yang intelek, kritis tidak dogmatis, tajam ke dalam bukan hobi ngerusuhi kelompok lain, dan mampu membangun dialog yang konstruktif. Bukan dari Buya Syafii atau Gus Mus, tapi Ulil. Bukan dari Gus Mis atau Mun’im Sirry, tapi U.L.I.L. Bukan dari Gus Dur sekalipun, tapi U.L.I.L.

Sedemikian penting sosok Ulil sebagai guru bagi saya.

Masa di mana Muhidin membaca esai-esai Ulil adalah masa saya belajar mengeja. Jalan pun masih dititah. Tapi, tidak hilang kebesaran nama Ulil ketika saya cukup matang untuk membaca esainya meskipun bukan melalui Kitab Kawin Mawin, melainkan melalui artikel-artikelnya di situs islamlib.com. Betul sekali apa yang dikatakan Muhidin, Ulil adalah “tukang berkelahi”.

Komentar saya ketika pertama kali melihat tweet Ulil muncul di timeline, “Anjrit! Ahok bahaya… Lah, Ulil kurang bahaya apaan lagi???” Sampai terbahak-bahak saya membaca tweet itu.

Setelah itu, sesuai dugaan saya, di mana-mana bertebaran berbagai kritik dan hujatan pada Ulil. Dari mulai grup penulis, islamis, liberalis, humanis, sampai ateis, semuanya marah dan kecewa pada Ulil. Serangan yang serius bahkan mencuat dari tokoh-tokoh kaliber Jaringan Islam Liberal (JIL), termasuk ND dan HB. Tapi, sampai di situ saya masih mengira Ulil bercanda. “Biasalah itu, retorika kampanye saja,” pikir saya.

Akhirnya, saya putuskan untuk mengklarifikasi langsung ke Ulil.

Ternyata, Ulil Serius

Seperti apa yang dikatakan dalam kultwitnya, “Saya serius dengan twit itu. Tidak main-main.” Ia, ternyata, memang berterus terang. Hal ini justru mendorong saya untuk menelusuri landasan berpikir yang dipakai Ulil hingga ia mantap bersikap demikian.

Ia menyampaikan pada saya, “Ahok is a big problem for productive interreligious relations given his irresponsible attitude… my problem is instead of reducing the menace of conservatism, Ahok’s way of handling thing exacerbated this conservatism.”  Saya hendak menyoroti dua hal saja dari pernyataan Ulil, yakni “irresponsible attitude” dan “exacerbated this conservatism”.

Kolom Muhidin dapat kita perlakukan sebagai direktori kelakuan Ulil di masa mudanya yang saya pikir cocok sekali untuk dikategorikan sebagai irresponsible attitude. Perilaku individu dikatakan tidak bertanggungjawab ketika perilaku itu memicu kemarahan komunitas. Inilah nalar di balik kesimpulan bahwa perilaku Ahok exacerbate (menambah parah) konservatisme.

Dasar argumen Ulil ini memang sepenuhnya berkhianat pada liberalisme, bahkan sejalan dengan kritik dari para pemikir komunitarian. Michael Sandel (1983:11) menyatakan dengan tegas bahwa ada keterlekatan luar biasa antara individu dengan komunitas, sehingga individu tidak bisa menihilkan keberadaan komunitas bahkan dalam ruang otonominya yang paling personal. Kritik ini ia sebut sebagai sociological objection.

Keberatan sosiologis adalah seutuhnya inti kritik Ulil terhadap perilaku Ahok.

Individu, di dalam bertindak bahkan berucap, perlu mempertimbangkan konteks sosiologis masyarakat tempat ia hidup. Lebih jauh lagi, Sandel bahkan menyebutkan bahwa pengaruh konteks sosiologis berlaku dua arah. Tidak hanya keputusan individu memancing reaksi dari komunitas, namun juga bisa merupakan reaksi atas konstruksi komunitas.

Dalam konteks Ahok, kita dapat memandang perilaku Ahok memancing reaksi negatif dari komunitas—silakan Anda runutkan dari mulai demo berjilid-jilid, aksi lapor-melapor, sampai kemarahan sebagian anggota dan pimpinan NU—yang akhirnya mendorong Ulil untuk menyimpulkan bahwa sosok Ahok berbahaya bagi harmoni sosial.

Sementara syahadat iman liberalisme berbunyi, “the right is prior to the goods.” Hak adalah yang paling utama, bahkan lebih utama dari kebaikan itu sendiri. Fungsi negara adalah melindungi hak. Fungsi hukum adalah menjatuhkan sanksi pada perampas hak. Maka, kalau hak harus dikorbankan untuk harmoni sosial, itu namanya liberal syirik.

Namun, ketika Ulil dikatakan telah berkhianat dari liberalisme, dia menjawab dengan sebuah tweet, “Kalau liberalisme otomatis berarti harus mendukung Ahok, saya kira harus diadakan kongres dulu untuk meluruskan istilah itu.”

Agar baik Ulil maupun pembaca tidak salah paham, ini bukan soal dukung-mendukung, entah itu Ahok, Agus Yudhoyono, atau Front Pembela Islam (FPI) sekalipun. Kalau liberalisme otomatis harus menjaga harmoni sosial, baru kita perlu kongres!

Satu-satunya keadilan yang harus ditegakkan bagi liberal yang kaffah adalah hak individu, yang mana rentan dicederai oleh negara dan komunitas. Sehingga, fungsi negara adalah melindungi individu dari agresi yang datang baik dari penguasa maupun komunitas.

Sebaliknya, komunitarianisme memandang prinsip keadilan selalu bergantung pada persepsi komunitas. Walzer, salah seorang pemikir komunitarian, memandang keadilan sebagai sesuatu yang relatif terhadap sistem pemaknaan sosial.

Justice is rooted in the distinct understandings of places, honors, jobs, things of all sorts that constitute a shared way of life,” begitu ujarnya (Walzer, 1984:312).

Sampai di sini, lihatlah betapa Ulil sungguh cocok dengan mazhab komunitarian.

Menyerah pada Komunitas

Banyak pihak berspekulasi bahwa ini soal siapa bayar berapa. Maaf, saya tidak bisa memandang figur intelek sekelas Ulil dengan cara seperti itu. Sampai detik ini, beliau masih sangat saya hormati. Saya lebih suka memandang ini sebagai tanda bendera putih dari Ulil untuk memperjuangkan individualitas ala liberalisme yang selama ini saya kenal dan imani.

Akhirnya, Ulil menyerah pada komunitas. Mungkin, itulah pil pahit yang harus ditelan oleh seluruh pemikir dan aktivis liberal di negara ini. Sudahlah, tidak bisa kita paksakan masyarakat dewasa tepat waktu.

Dengan apalagi kita perjuangkan hak kalau individualitas sudah tidak punya tempat di sini? Individu mau menyembah monster spaghetty terbang diprotes, individu mengaku nabi diprotes, individu bicara kasar diprotes, individu memakai properti pribadinya untuk kepentingannya sendiri diprotes.

Dengan apa kita perjuangkan kebebasan bicara kalau budayanya mudah tersinggung? Sedikit-sedikit tersinggung. Tuhan ditanya bidannya siapa tersinggung, Qur’an dibilang dipakai nipu tersinggung, dikasarin sedikit tersinggung, dinyinyirin sedikit tersinggung. Nah, terus kalau sudah begini, mau bagaimana?

Di situlah mungkin Ulil melihat bahwa terus menyinggung dan membakar rumah tidak menyelesaikan masalah. Mereka tidak pula dewasa, kita tidak pula harmonis. Bangsa komunitarian ekstrim yang bahkan mengurusi sampai ke masalah selangkangan tidak bisa dipaksa ujuk-ujuk percaya pada individualitas; penghargaan yang tinggi pada individu.

Bahwa pada titik tertentu, misalnya saat menjadi pejabat publik, akomodasi terhadap budaya, nilai-nilai, dan cara pandang komunitas menjadi perlu, apabila harmoni sosial yang ingin kita capai. Dan argumen ini saya anggap valid. Seperti kata Ulil dalam kultwitnya, Ahok bukan pahlawan kebhinnekaan, ia hanya asyik dengan egonya sendiri.

Karena di tengah masyarakat komunitarian, Ahok bukan dipandang sebagai Ahok (saja). Ia dibaurkan dengan Tionghoa dan Kristen. Akhirnya, tindakan dia bukan tidak mungkin memperkuat stereotipe negatif yang sejak lama menjadi masalah di antara kelompok masyarakat, meski itu hanya soal ucapan.

Lihat kan Cina itu tidak pernah hormat pada ulama kita!”

Begitulah kalo Kristen jadi pemimpin! Kitab suci kita dihina!”

Sentimen semacam ini sangat mungkin bermunculan akibat apa yang disebut Ulil sebagai irresponsible attitude. Mungkin memang bangsa ini belum siap menghadapi Ahok. Bangsa ini masih sama tidak siapnya seperti ketika menghadapi Ulil beberapa tahun lalu.

Muhidin mengatakan bahwa, “kalau Ahok bahaya, maka Ulil lebih bahaya!” Saya tidak setuju. Dalam paradigma saya, keduanya sama tidak bahaya. Tapi, dalam paradigma masyarakat, keduanya sama bahaya.

Ulil yang hari ini kita lihat telah menganggap menjadi “bahaya” itu tidak membuahkan apa-apa selain konflik. Akhirnya, ia mengkritik Ahok. Kira-kira, beginilah maksudnya, “Ahok, saya dulu juga seperti kamu, bicara seenak saya karena apa yang saya katakan benar. Tapi, saya pikir itu salah, maka mari berubah.”

Meskipun saya juga tidak tahu apakah hal ini akan membuahkan sesuatu selain memperkokoh tirani komunitas dan budaya kerumunan yang baperan, saya mengajak Muhidin dan pembaca untuk bersama mengikhlaskan Ulil pensiun membakar rumah.

Akhir kata, saya hendak memohon maaf pada mas Ulil karena kebhinnekaan yang saya cari adalah pertiwi yang mengayomi diversitas individu, bukan ibu bagi amarah kerumunan. Kebetulan, saya juga masih terlalu muda untuk pensiun. Saya masih mau membakar lebih banyak rumah, karena itu harga yang pantas untuk sebuah kemerdekaan.

Tenang, Mas Muhidin… laskar liberal tidak akan bubar jalan!

Cania Citta Irlanie
Cania Citta Irlanie
Mahasiswi S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia. Mengimani kebebasan individu dan kemanusiaan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.