Minggu, Mei 5, 2024

Hak Angket KPK yang Tidak Beretiket

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pemberian-surat-usulan-pengajuan-hak-angket-kpk
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Taufiqulhadi (kanan) memberikan surat usulan pengajuan hak angket KPK kepada pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4). Meski menuai kecaman dari masyarakat karena dianggap akan melemahkan KPK, DPR tetap memutuskan untuk melanjutkan pembahasan hak angket. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Sebenarnya saya sudah sangat bosan menulis tentang berbagai kegaduhan yang disuguhkan para wakil rakyat di Senayan. Tetapi mereka agaknya tidak bosan-bosannya menghadirkan perilaku yang kerap membuat gaduh publik. Yang paling anyar adalah kesepakatan para anggota legislatif untuk melayangkan hak angket KPK dalam Sidang Paripurna 28 April 2017. Inilah yang kemudian memaksa saya untuk tidak bosan-bosan juga menyoroti atau menguliti perilaku mereka.

Meskipun ada tiga fraksi yang menolak menandatangani pengajuan hak angket KPK tersebut, yakni Gerindra, PKB, dan Demokrat, Sidang Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tetap mengesahkan keputusan tersebut.

Tak pelak, keputusan parlemen itu menyulut banyak pertanyaan di benak publik: Tepatkah hak angket digunakan DPR kepada KPK? Apakah sesungguhnya motif politik di balik tindakan tersebut? Jangan-jangan—seperti diduga banyak kalangan—tindakan DPR itu tidak lebih dari upaya perlawanan terhadap KPK karena serangan lembaga antirasuah tersebut tepat mengena jantung mereka?

Asal Mula Pengajuan Hak Angket KPK

Dilihat dari berbagai sudut pandang, pengajuan hak angket oleh DPR terhadap KPK jelas sangat tidak tepat. Pertama, dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) Pasal 79 ayat 3. Menurut UU, ini pengajuan hak angket harus ditujukan kepada pemerintah atau lembaga eksekutif, sedangkan KPK tidak termasuk ke dalam ketentuan pasal itu. Maka, penggunaan hak angket tersebut salah alamat.

Seandainya pun DPR bersikukuh bahwa KPK dianggap bagian dari pemerintah atau eksekutif karena diangkat oleh pemerintah (melalui tim seleksi yang dibentuk pemerintah), misalnya, tetap saja pengajuan hak angket tidak bisa diterima. Apa yang tengah dilakukan KPK saat ini, yaitu penyidikan atas kasus dugaan korupsi e-KTP, bukanlah dalam rangka menjalankan fungsi eksekutif, yakni pelaksanaan UU dan/atau kebijakan pemerintah, melainkan fungsi penegakan hukum. Maka, DPR tidak bisa begitu saja melayangkan hak angket dalam kasus ini.

Kedua, dari sisi alasan substantif penggunaan hak angket. Menurut UU, hak angket bisa diajukan DPR kepada pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, pengajukan hak angket DPR terhadap KPK jelas tidak punya cukup alasan yang kuat, karena apa yang tengah dilakukan KPK sama sekali tidak bertentangan dengan perundang-undangan.

Argumentasi yang dibeberkan para inisiator pengajuan hak angket KPK tampaknya lebih layak disebut dalih kamuflatif belaka agar mereka bisa melakukan serangan balik terhadap KPK. Masinton Pasaribu, misalnya, mengatakan bahwa DPR ingin membereskan atau memperbaiki internal KPK yang menurutnya bermasalah seperti kasus bocornya surat penyidikan perkara, misalnya, dalam kasus Anas Urbaningrum atau kasus lainnya.

Namun argumentasi Masinton tersebut dipatahkan oleh KPK bahwa hal-hal yang dituduhkan oleh DPR tersebut semuanya sudah dijawab dalam rapat kerja Komisi III dengan KPK. KPK sendiri bersedia menerima masukan DPR yang memang bertujuan untuk semakin membuat KPK lebih baik. Dengan demikian, alasan pengajuan hak angket DPR terhadap KPK lebih bersifat mengada-ada.

Ketiga, dari sisi hukum, tindakan DPR tersebut justru menunjukkan bahwa mereka seolah orang yang tidak mengerti hukum seperti dalam hal penyidikan. Membuka BAP kasus yang tengah disidik secara peraturan tidak dibenarkan karena akan mengganggu jalannya penyidikan. DPR tidak boleh dan tidak bisa memaksa KPK untuk memperdengarkan BAP tersebut karena masih dalam proses penyidikan.

Oleh karena itu, ketika DPR kemudian melayangkan hak angket karena KPK bersikukuh tidak mau mengikuti kemauan DPR—inilah sebenarnya alasan utama hak angket—maka jelas sekali kalau lembaga yang diisi orang-orang terhormat tersebut tidak mengerti masalah hukum. Atau mengerti hukum tetapi justru malah melanggar hukum demi melindungi diri dan teman-temannya. Dengan demikian, pengajuan hak angket ini sangat tidak beretiket.

Bunuh Diri Politik

Melihat penjelasan di atas, maka pengajuan hak angket KPK sesungguhnya lebih menonjolkan perlawanan atau serangan balik DPR terhadap KPK yang memang tengah membidik kasus korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPR, bahkan termasuk pucuk pimpinannya. Alasan-alasan yang dikemukan tidak lebih dari dalih untuk menutupi motif sesungguhnya.

Publik juga tahu bahwa pengajuan hak angket itu bermula dari disebutkannya sejumlah anggota Komisi III DPR yang diduga menekan tersangka keterangan palsu kasus e-KTP, yakni Miryam Haryani. Menurut pengakuannya, seperti diungkapkan KPK, Miryam memberikan kesaksian di bawah tekanan sejumlah anggota Komisi III. Maka, tidak heran kalau yang menjadi para inisiator hak angket KPK tersebut adalah orang-orang yang disebutkan namanya oleh Miryam.

Bukan kebetulan pula jika yang menjadi pemimpin Sidang Paripurna kemarin adalah Fahri Hamzah. Selama ini Fahri adalah Wakil Ketua DPR yang paling getol mengkritik KPK. Entah karena alasan apa, politisi PKS tersebut menampakkan rasa ketidaksukaannya terhadap KPK sedemikian ekspresif. Maka, kloplah jika sidang yang disinyalir tidak quorum tersebut menyepakati penggunaan hak angket terhadap KPK.

Dari sini juga sudah sangat jelas dan terang benderang motif apa sesungguhnya yang tengah dimainkan DPR. Sama sekali tidak ada relevansinya dengan pengakuan mereka bahwa tindakannya itu dilakukan demi membuat KPK lebih baik dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Sebaliknya, mereka malah berusaha menghalang-halangi pekerjaan KPK dalam menjalankan tugas utamanya: membongkar korupsi.

Para anggota parlemen (yang entah layak atau tidak) disebut terhormat itu agaknya sudah kehilangan cara-cara yang masuk akal untuk menghentikan laju KPK yang bergerak tanpa pandang bulu. Seperti diketahui, nama-nama yang diduga mendapatkan aliran dana e-KTP banyak juga yang berasal dari partai pendukung pemerintah, tetapi KPK tetap bergeming. Siapa pun yang melakukan korupsi harus ditindak, dari mana pun asalnya.

Inilah yang tampaknya membuat sejumlah anggota DPR menggemeratakkan gigi saking kesalnya pada KPK. Akhirnya mereka memilih satu-satunya cara yang mungkin untuk bisa menghalangi atau paling tidak memperlambat gerak cepat KPK, yaitu memaikan kartu politik di DPR: mengajukan hak angket. Dengan itu, mereka berharap bisa mengintimidasi KPK.

Tetapi sebenarnya tindakan DPR tersebut justru bisa membuat citranya di mata publik semakin terpuruk. Selama ini DPR dipandang publik sebagai lembaga buruk yang sangat berbanding terbalik dengan KPK. Maka, dengan kasus pengajuan hak angket tersebut DPR seperti sedang melakukan bunuh diri politik. Alih-alih akan mendapatkan dukungan publik, justru cibiran dan kecaman yang mungkin akan mereka terima.

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.