Jumat, Maret 29, 2024

Golkar Pasca Setya Novanto

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Drama perlawanan Setya Novanto terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya sudah menemukan ujungnya. Meski ia masih melakukan perlawanan hukum, misalnya dengan menambahkan pengacara Otto Hasibuan ke dalam barisan tim pembela hukumnya, namun hampir pasti karir politiknya sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan DPR akan berakhir.

Di internal Partai Beringin sendiri kini sudah mulai muncul bursa nama calon pengganti Novanto. Ada sejumlah nama yang disebut-sebut, yakni Airlangga Hartarto yang sekarang menjabat Menteri Perindustrian, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, Wakil Ketua Dewan Pakar Golkar, dan Ade Komaruddin Hidayat, mantan pesaing Novanto pada perebutan Ketum Golkar di Bali sekaligus pengganti Novanto sebagai Ketua DPR sewaktu yang terakhir ini terkena kasus “papa minta saham”.

Oleh karena itu, meski cerita Novanto akan segera tutup buku, Golkar yang ditinggalkannya justru akan membuka lembaran baru. Pertanyaannya adalah kira-kira siapakah yang layak menjadi Ketum Golkar pengganti Novanto, dan bagaimana nasib partai ini di tangan nakhoda baru tersebut?

Tersangka kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (21/11). Ketua DPR tersebut menjalani pemeriksaan perdana usai ditahan oleh KPK terkait dugaan korupsi proek KTP elektronik. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/17.

Tantangan Nakhoda Baru

Pasti tidak mudah untuk menjadi orang nomor satu di tubuh Golkar setelah citranya kini porak poranda akibat kasus dugaan korupsi e-KTP (KTP elektronik) yang membut Novanto kini menjadi tahanan KPK. Sulit dihindari jika publik Indonesia punya persepsi yang negatif terhadap partai ini sebagaimana persepsi negatif mereka terhadap DPR yang juga dipimpin Novanto.

Karena itu, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh calon Ketua Umum Golkar pasca Novanto. Pertama, memulihkan citra partai yang anjlok akibat kasus yang membelit ketua umumnya. Padahal, citra yang baik sangat diperlukan oleh semua partai politik di Indonesia, apalagi menjelang pemilu serentak pada 2019. Kalau citranya hancur, jelas partai akan sulit menjadi kompetitif. Dalam konteks ini, calon ketua umum mesti seorang yang tidak memiliki rekam jejak yang buruk, terutama terkait kasus korupsi.

Kedua, membangun soliditas internal partai. Seperti diketahui, di internal Partai Beringin banyak terdapat faksi, seperti faksi Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono yang sempat berseteru sampai kemudian melakukan rekonsiliasi di Munaslub Bali. Harus diakui bahwa Novanto yang notabene merupakan produk Munaslub Bali mampu merekatkan hubungan kedua faksi tersebut sehingga soliditas partai terbangun cukup kuat.

Selain kedua faksi di atas, yang tidak dapat diabaikan adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Diyakini bahwa JK masih memiliki loyalis-loyalisnya di tubuh Beringin. Demikian pula dengan tokoh senior Golkar yang lain, yakni Akbar Tanjung (AT). Komentar keras kedua tokoh senior tersebut, yang notabene merupakan mantan Ketua Umum Golkar, agar Novanto mematuhi proses hukum menunjukkan bahwa mereka masih tetap memiliki perhatian besar terhadap Golkar.

Dengan faksi internal partai yang cukup beragam tersebut, tentu calon Ketua Umum Golkar harus merupakan orang yang relatif dapat diterima oleh semua pihak. Kalau tidak, soliditas partai tentu akan sulit dilakukan padahal waktu perhelatan hajat nasional tidak lama lagi.

Relasi dengan Pemerintah

Isu lain yang akan menjadi pertimbangan suksesi kepemimpinan di tubuh Golkar pasca Novanto adalah relasi partai tersebut dengan pemerintah. Selama di bawah kendali Novanto, Golkar langsung dibawanya untuk mendekat ke pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-JK. Golkar bahkan mendeklarasikan dukungannya terhadap Jokowi untuk maju lagi sebagai calon presiden di 2019.

Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid (tengah) bersama Sekjen Idrus Marham (ketiga kanan) dan sejumlah ketua koordinator bidang melaksanakan rapat pleno di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (21/11). Rapat tersebut membahas posisi Setya Novanto baik sebagai ketua umum Partai Golkar maupun anggota DPR pasca ditahan KPK atas kasus korupsi proyek KTP Elektronik. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww/17.

Mudah diduga bahwa langkah Golkar di bawah Novanto mendukung Jokowi adalah dalam rangka meningkatkan citranya di mata publik. Setelah Golkar dilanda kemelut internal yang cukup lama antara kubu ARB dan AL, citranya langsung merosot di mata publik. Karena itu, mendukung Jokowi yang elektabilitasnya selalu tinggi merupakan strategi Golkar untuk menaikkan citranya kembali.

Yang menarik, kini di antara nama-nama calon Ketua Umum Golkar, ada dua nama yang merepresentasikan dua kubu yang saling bertentangan. Pertama, Airlangga Hartarto, mewakili kubu yang menjalin hubungan baik dengan pemerintah, dan kedua, Titiek, mantan isteri Prabowo Subianto, yang merepresentasikan kubu yang berseberangan dengan pemerintah.

Munculnya dua nama tersebut tentu akan meramaikan persaingan untuk memperebutkan pucuk pimpinan Partai Beringin. Jika Airlangga Hartarto yang terpilih, Golkar tentu akan terus mendukung pemerintah. Tetapi, jika Titiek yang terpilih, kemungkinan besar Golkar akan menarik dukungannya dari pemerintah. Seperti diketahui, Titiek dan keluarga Cendana lainnya merupakan pengkritik keras pemerintah seperti yang terlihat dalam kasus pemutaran film G 30 S PKI.

Namun, jika dilihat dari karakteristik Golkar, menurut saya, partai ini akan lebih memilih untuk tetap menjalin hubungan mesra dengan pemerintah. Selain karena secara genealogisnya adalah partai yang lahir dari rahim pemerintah dan sepanjang perjalanannya selalu menyusu pada pemerintah, Partai Beringin juga sangat berkepentingan dengan pemerintah, terutama untuk menaikkan citranya di mata publik.

Pada sisi lain, pemerintah juga memiliki kepentingan terhadap Partai Golkar. Bagaimana pun dengan tambahan dukungan Golkar di barisan Koalisi Indonesai Hebat (KIH), yang merupakan partai pendukung pemerintah, kedudukan Jokowi akan semakin kuat. Apalagi Jokowi kian banyak mendapat serangan politik dari lawan-lawan politiknya.

Karenanya, bukan tidak mungkin pemerintah juga akan ikut “bermain” dalam perebutan Ketua Umum Golkar. Jika itu yang terjadi, maka suksesi di tubuh Beringin pasca Novanto kemungkinan akan berpihak kepada Airlangga Hartarto. Tetapi dinamika politik di Golkar mungkin saja menyajikan sesuatu yang berbeda. Siapa tahu.

Kolom terkait:

Setya Novanto dan 3 Kir (Mangkir, Mungkir, Terjungkir)

Tiga Kolom “Maut” Setelah Setya Novanto Tersangka

Papa Setnov, Jack Sparrow, dan Patah Hati KPK

Pesan Keras Putusan Praperadilan

Pemain Drama dan Segala Kelicinannya

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.