Sabtu, April 27, 2024

Fiksi Politik, Mitos Kekuasaan, dan Pak Tua

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Pelukis maestro Jeihan Sukmantoro dan sejumlah kolega di depan lukisannya yang berjudul “Yang Mulia 6 RI Satu: Untuk Ibu Pertiwi”. Lukisan di atas kanvas berukuran 300×800 cm ini menjadi koleksi negara di Museum Balai Kirti Istana Presiden Bogor. (Foto: koleksi kurator Mikke Susanto)

Saya punya satu pertanyaan kecil yang niscaya memerlukan jawaban besar. Siapa sesungguhnya the king maker di negeri ini? Menurut saya yang awam politik ini, sesungguhnya siapa pun bisa menjadi orang nomor satu di Indonesia. Siapa pun, termasuk Anda. Tak cuma seorang Jokowi yang bisa menjadi Presiden Republik Indonesia “bermodal” curriculum vitae pengusaha furnitur. Tapi, pertanyaannya, siapa yang akan menjadikan Anda presiden di tanah air seluas 1.913.578,68 km2 di atas 17.504 pulau ini?

Apakah yang menjadi dalang lakon-lakon politik di bumi Nusantara adalah seorang atau sekelompok orang politisi kampiun? Ketika membaca tulisan di linimasa akun @FahriHamzah yang menyatakan,” Mari tegakkan akal. Mari lihat faktanya. Gak usah takut. Jangan percaya fiksi dan mitos. Mari lihat apa adanya,” dilanjut, “Wakil2 anda di @DPR_RI mustahil jahat seperti fiksi dan mitos yang selama ini dikisahkan,” apa yang muncul di benak Anda? Salahkah jika tebersit pikiran, akun ini justru mengiyakan ada fiksi politik dan mitos kekuasaan di Indonesia?

Apakah negarawan mumpuni-lah yang menjadi the king maker, sebut saja dalam kurun pra dan pasca era reformasi? Atau, lebih spesifik lagi, sebut saja: Amien Rais, sang lokomotif reformasi. Tapi, jujur saja, pertanyaan berikutnya, siapa yang telah dijadikannya presiden? Adakah kiprahnya yang menjadikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia? Bahkan, kiai besar yang sangat hormat pada kiai-kiai kampung ini jauh-jauh hari sudah bicara ke sana ke mari bahwa kelak ia akan menjadi presiden di Indonesia.

Pada awalnya, Gus Dur–demikian cucu Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari ini biasa disapa– ditertawakan, bahkan dianggap tidak waras lagi. Namun, kenyataannya, ia jadi presiden. Pun demikian halnya Kusno, yang berganti nama menjadi Soekarno, tak menyangka dirinya menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia. Ia bahkan mengatakan, H.O.S. Tjokroaminoto-lah yang jauh lebih layak dibanding dirinya. Sang Pahlawan Islam Jang Oetama yang juga berjuluk Raja Tanpa Mahkota inilah gurunda Bung Karno, Sang Proklamator.

Tak ada pula yang menduga Soeharto akan menjadi Presiden Republik Indonesia ketika Ahmad Yani adalah jenderal yang digadang-gadang meneruskan tongkat komando Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia. Anak emas Pemimpin Besar Revolusi ini justru lalu menjadi korban dalam G 30 S/PKI dan lakon kekuasaan bergerak ke luar alur dugaan awam. Pun tatkala Bacharuddin Jusuf Habibie yang tiba-tiba “dibelokkan” oleh suratan takdir dari rel teknokrat tulen ke rel kepresidenan, siapa bisa apa?

Kita mungkin akan menyebutnya takdir. Ya, takdir tak bisa diubah, termasuk takdir politik kekuasaan. Namun, bolehkah saya bertanya? Ketika menjadikan perempuan sebagai pemimpin masih merupakan isu yang panas di negeri ini, bagaimana bisa Megawati Soekarnoputri melenggang dengan sedemikian mudahnya menjadi perempuan pertama Presiden Republik Indonesia? Ah, saya pun bertanya di dalam hati: apakah Susilo Bambang Yudhoyono juga menduga dia akan jadi Presiden Republik Indonesia?

Tiga bintang sudah gemerlap di pundak SBY. Tapi, politik kekuasaan mengakhiri karir militernya dan memasukkannya ke deret menteri Abdurrahman Wahid, lanjut ke era Megawati. Meski pasang surut, SBY justru terdorong gelombang pasang takdir hingga ke pucuk politik kekuasaan. Siapa yang mengira? Eit, tapi jangan Anda tanyakan pula kepada SBY, yang mantan Menteri Pertambangan dan Energi di era Gus Dur, siapa yang mengira Jokowi yang mantan Ketua Bidang Pertambangan dan Energi KADIN Solo bisa jadi presiden.

Saya pernah menulis esai tentang betapa lakon politik kekuasaan di Nusantara yang terdiri atas kerajaan-kerajaan ternyata tak sungguh-sungguh berdasarkan trah. Tak selalu trah biologis yang akhirnya duduk di singgasana. Justru anak ideologis-lah yang acapkali menjadi tokoh utama dalam berbagai lakon. Esai yang saya tulis itu lantas disatukan dengan esai-esai lain menjadi buku kumpulan esai berjudul Republik Ken Arok. Waktu itu, saya lebih mencermati fenomena Lembu Peteng atau sosok tanpa latar yang jelas namun kemudian menjadi penguasa negeri.

Bisa jadi, bayangan saya terlalu absurd, apalagi bagi para pemain politik yang telah dan terus harus mengeluarkan ongkos tanpa batas untuk merebut kursi kekuasaan. Tapi, izinkan sekali ini saja saya polos. Saya membayangkan, siapa pun bisa menjadi Presiden Republik Indonesia, bahkan seorang wali kota yang tadinya hanya mengurusi wilayah seluas 46,01 km2. Asalkan the king maker sudah mengeluarkan sabda pandita ratu, maka jadilah siapa pun itu sebagai presiden. Tapi, apa saja peran sang dalang ini?

Pada malam pertama seusai seorang terpilih dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, dan matanya masih terbelalak menyaksikan bumi nan luas dan subur makmur ini dari ruang kontrol, tiba-tiba muncul seorang tua dari balik gulita. Seseorang yang tanpa jatidiri di kancah kehidupan publik, baik di bawah sorot lampu dan ingar-bingar corong, maupun di meja judi, pusat perputaran bisnis, dan ruang pesta. Ia seorang tekun yang mengawasi presiden sejak membukakan segala rahasia negeri ini, atau sebagian besarnya.

Sejak ditemui oleh Tuan Entah Siapa, yang tidak tersentuh itu, sebaru apa pun seorang presiden seketika ia menjadi sangat cerdas, tidak kuper lagi, tidak kudet, mengetahui seluk-beluk wilayah yang paling sepi bahkan, yang belum pernah diinjak Warga Negara Indonesia, hingga hiruk-pikuk wilayah yang paling ramai, yang menjadi rebutan rakyatnya. Menjadi tahu siapa saja raja jin yang menguasai tanah dan air mana saja. Lalu, Pak Tua itu pula yang menggerakkan presiden untuk sowan-sowan pada para penghulu ruhani.

Anda mungkin seorang rasionalis dan apa yang saya kemukakan ini Anda anggap klenik, takhayul, kurafat, tidak logis, dan omong kosong. Tapi, cobalah sesekali main lebih jauh. Keluarlah dari zona nyaman penalaran Anda, barang sejenak. Supaya Anda bisa juga mendapat cerita, seorang laki-laki kurus dibonceng motor ke makam seorang wali di Kebumen pada siang bolong di musim pemilihan presiden.

Atau kisah para prajurit yang berjaket tebal namun masih menggigil kedinginan di Dieng, berdiri menjaga seorang jenderal murah senyum yang bertelanjang dada bertapa di gua. Atau seorang utusan yang ditolak masuk ke bilik pemujaan di Trowulan karena, ya, karena dia hanya utusan.

Jika disandingkan dengan kicauan akun @Fahrihamzah soal fiksi dan mitos, banyak kisah yang akan meneguhkan ada seorang “pembisik”–meminjam istilah di era kepresidenan Abdurrahman Wahid–yang bisikannya didengarkan oleh setiap presiden di setiap era. Seperti kisah-kisah dalam novel, ia bisa saja menyamar jadi tukang sapu, tukang kebun, juru masak, dan “bukan siapa-siapa” di Istana Negara. Namun, ia juru kunci. Kuncen yang membukakan pintu-pintu ke dunia lain yang tak diketahui oleh selain presiden.

Jika Anda tak bisa berimajinasi liar, atau bahkan tidak ada imajinasi sama sekali untuk urusan kepemerintahan dan kenegaraan yang sangat serius dan menyangkut hajat hidup orang banyak, ya sudah. Lupakan obrolan ini. Atau, anggap saja intermezzo. Namun, jika kelak takdir membawa potret diri Anda terpajang di deret foto resmi kenegaraan Presiden Republik Indonesia, semoga Anda tak terlalu terkejut ketika diam-diam diminta oleh protokoler untuk memasuki ruang rahasia. Di sana, presiden baru sudah ditunggu.

Baca juga:

Kabar Dusta dan Puisi Mantan Presiden

Mengingat Mantan

SBY yang Sudah Bukan Korban (Lagi)

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.