Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura
Dua bait dalam larik lagu berjudul “Panggung Sandiwara” di atas tentu sudah tidak asing bagi publik. Dalam sejarahnya, lagu yang diciptakan oleh Ian Antono dan balutan lirik oleh penyair kondang Taufiq Ismail tersebut selalu mendapat tempat yang istimewa.
Lantunan musiknya yang anthemik dan mampu melampaui zaman kerap kali membuat lagu ini relevan untuk menggambarkan narasi atas fakta sosial yang terjadi. Sejak kemunculannya di tahun 1970-an sampai hari ini, tercatat sudah banyak musisi yang merekam lagu ini. Sebut saja versi Duo Kribo (1978), Achmad Albar (1988), Nicky Astria (1989), dan Nike Ardilla (1997).
Perubahan sosial baik dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya tentu saja tidak lepas dari dinamika dan proses dialektika yang mengiringinya. Salah satu contohnya, riak politik pada level nasional yang terjadi di Indonesia dalam beberapa hari ini mengundang perhatian publik. Adanya perbedaan sikap, disinformasi serta keputusan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan HAM dalam merespons UU MD3 tentu membuat rakyat bertanya-tanya dan menimbulkan beragam asumsi.
Seperti telah diketahui, mencuatnya revisi U MD3 menuai protes dari masyarakat. Adapun sejumlah pasal dalam UU MD3 yang paling bermasalah antara lain: Pasal 73 mengenai pemanggilan paksa, Pasal 122 soal kewenangan MKD bisa memanggil pihak yang mengkritik DPR, dan Pasal 245 tentang hak imunitas anggota dewan. Adapun penekanan ihwal pemanggilan oleh DPR kemudian diatur dalam Pasal 73 ayat 2 dan 4, Pasal 73 ayat 2 yang berbunyi: “Setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 1.”
Jokowi membiarkan UU MD3 melenggang sejak disahkan oleh DPR pada 12 Februari 2018. Merujuk peraturan yang ada, jika selama 30 hari sejak regulasi disahkan DPR tak direspons lewat Perppu, UU itu tetap berlaku. Pun sikap Jokowi hingga hari ini yang tak menandatangani, tetapi juga tidak membuat Perppu.
Presiden yang “Kaget, Resah”
Sikap Presiden Jokowi yang terkesan membiarkan lolosnya UU MD3 secara tak langsung menggambarkan situasi politik kita saat ini—kompromi. Dalam hiruk-pikuk politik, tentu saja negosiasi dan pergulatan tawar-menawar menjadi sesuatu yang wajar. Pernyataan yang kerap kali terdengar populer ialah, “dalam politik yang abadi hanyalah kepentingan”.
Sebagai orang nomor satu di republik ini, Presiden Jokowi tentu memiliki kekuasaan untuk bisa membendung UU MD3. Namun, kenyataannya justru berbeda. Gaung penolakan atas UU MD3 sebenarnya sudah banyak direspons publik, hanya saja tak menuai hasil yang positif.
Presiden hanya mengaku “resah” dan “kaget”. Akan tetapi, apakah Jokowi merasakan hal yang sama, bahwa publik memiliki keresahan dan rasa kaget dengan porsi yang lebih besar atas sikapnya yang demikian? Dan konsekuensi dari disahkannya UU MD3?
Jika harus merujuk pada penggalan lirik “Panggung Sandiwara” di awal tulisan ini, sesungguhnya para elite yang terlibat, baik secara langsung maupun tak langsung, dalam wacana UU MD3 sedang memainkan lakonnya masing-masing. Ada peran wajar, dan ada peran berpura-pura. Mengapa kita bersandiwara?
Sesungguhnya, terma “elite” berasal dari Bahasa Prancis, Elite, berfungsi untuk mendeskripsikan suatu kelompok kecil yang mendominasi masyarakat, atau organisasi sosial lainnya tanpa berkomitmen pada penjelasan khusus untuk dominasi yang dimaksudkan.
Robert Michels, misalnya, berpendapat bahwa terdapat pola-pola tertentu yang dibangun dan terjadi berulang-ulang. Kemudian dijelaskan oleh fakta bahwa ketika suatu organisasi formal dibentuk, ia menjadi didominasi oleh oligarki kecil para birokrat.
Lebih jauh, para ilmuwan sosial yang menekuni bahasan teori elite berpendapat, kompetisi terjadi antara rival wakil-wakil elite, yang bisa kita lihat praktiknya dalam pemerintahan demokratis yang paling parlementer (The Sage Dictionary of Sociology, hal. 82-83).
Dari Panggung hingga Dramaturgi
2018 merupakan tahun politik di Indonesia, dan akan mencapai klimaksnya di 2019 nanti saat pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden untuk masa kerja hingga 2024. Sederet prosesi untuk menjemput momen spesial tersebut telah dipersiapkan. Para elite tengah sibuk dan bergeliat meluaskan jaringan dan yang paling penting bergerilya membangun citra untuk merengkuh simpati publik.
Selebrasi elektoral selalu mendapatkan posisi yang istimewa bagi para elite politik. Mereka berusaha membangun ruang untuk merias diri di depan publik. Memoles program-program yang berbalut kerakyatan di awal masa kampanye menjadi citra yang sering kali ditampilkan. Namun, sayangnya, tidak sedikit juga program tersebut yang bias, rabun bahkan berbelok jauh dari kebutuhan rakyat.
Tak jarang, selebrasi seperti ini hanya menjadi euforia sesaat dengan jargon-jargon politik yang berusaha melakukan mobilisasi saat masa-masa penting tiba. Janjimu palsu!
Goffman dalam karyanya, Presentation of Self in Everyone Life (1959), memaparkan bahwa ada ketegangan antara diri spontan, “I” dan “me”, diri yang dibatasi oleh kehidupan sosial. Ketegangan ini tercermin dalam pemikiran Goffman tentang apa yang disebutnya “ketidaksesuaian diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil proses sosialisasi” (1959: 56).
Ketegangan ini disebabkan perbedaan antara apa yang ingin kita lakukan secara spontan dan apa yang diharapkan orang lain untuk kita lakukan. Kita berhadapan dengan tuntutan untuk melakukan tindakan yang diharapkan dari kita. Selain itu, kita diharapkan tak ragu-ragu. Seperti dinyatakan Goffman, “kita tak boleh tunduk pada ketidakstabilan” (1959: 56).
Untuk mempertahankan kestabilan citra diri, orang melakukan audiensi sosial dengan dirinya sendiri. Goffman memusatkan perhatian pada pelaksanaan audiensi sosial dengan diri sendiri. Dalam hal ini ia membangun konsep dramaturgi, atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama, seperti ditampilkan di atas pentas (Ritzer, 280).
Jika dikontekskan, konsep dramaturgi sangat relevan untuk menjelaskan perkara UU MD3. Di sini, saya berusaha menggunakan konsep yang sangat menarik dari Goffman, “manajemen pengaruh”. Dalam pandangan Goffman, saat berinteraksi, seorang aktor ingin menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain. Akan tetapi, ketika menampilkan dirinya, aktor menyadari jika anggota audiensi dapat mengganggu penampilannya.
Oleh karena itu, aktor menyesuaikan diri dengan pengendalian audiensi, terutama pada unsur-unsur yang dapat mengganggu. Aktor berharap perasaan diri yang mereka tampilkan kepada audiensi dalam menetapkan aktor sebagai orang yang dibutuhkan. Aktor pun berharap situasi seperti ini akan menyebabkan audiensi bertindak secara sengaja seperti yang diinginkan aktor dari mereka.
Adapun “manajemen pengaruh” yang dimaksudkan Goffman meliputi teknik yang digunakan oleh aktor untuk mempertahankan kesan tertentu dalam menghadapi masalah, yang mungkin oleh mereka hadapi dan metode yang digunakan untuk mengatasi masalah yang dimaksud.
Selain itu, konsep dramaturgi lebih detail menjabarkan tentang adanya pembagian permainan peran di front stage (setting, front personal—penampilan dan gaya), dan back stage. Juga terdapat teknik mistifikasi (kecenderungan untuk membangun “jarak sosial” oleh aktor dengan audiensi, mereka mencoba menciptakan perasaan kagum untuk publik).
Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan dua hal. Pertama, polemik UU MD3 yang terjadi sekarang jika dilihat dalam perspektif Goffman, mengerucut kepada sikap para pengambil kebijakan. Dalam hal ini, para elite di lembaga legislatif dan eksektutif. Mencermatinya tentu bisa dilihat dalam perspektif interaksionisme simbolik (misalnya dramaturgi gaya Goffman) jika kita memusatkan perhatian pada aktor tunggal, maka situasi tersebut akan mengaburkan fakta penting tentang interaksi.
Pada dasarnya unit analisis dasar Goffman bukanlah individu, melainkan tim. Dalam bahasa Goffman, tim ini merujuk kepada sekumpulan individu yang bekerja sama dalam mementaskan rutin masing-masing. Lebih spesifik, Goffman menyimpulkan bahwa tim semacam “masyarakat rahasia”. Dan dari uraian di atas, mungkin kita bisa menerka siapa tim yang dimaksudkan di sini.
Kedua, saya ingin mengutip pemikiran cemerlang yang disampaikan Noam Chomsky dalam The 10 Principles of Concentration of Wealth & Power. Salah satunya adalah, manufacture consent. Dalam pemaparannya tentang prinsip kesembilannya, Chomsky mengutip ahli ekonomi politik Thorstein Veblen, yang menyebutkan salah satu cara terbaik untuk mengendalikan publik dalam hal sikap adalah menciptakan “fabrikasi konsumen”—jika Anda dapat memfabrikasi keinginan untuk memperoleh hal-hal yang baru antara jangkauan Anda dalam esensi kehidupan, maka mereka akan terjebak menjadi konsumen.
Menurut Chomsky, poin utamanya di sini adalah untuk menciptakan konsumen yang akan membuat pilihan-pilihan irasional.
Semoga perasaan kaget dan resah yang dialami oleh Presiden kita memiliki frekuensi yang sama dengan perjuangan para petani, masyarakat sipil yang di pelbagai wilayah Nusantara sedang berjuang mempertahankan ruang hidup, sumber mata air, tanah adat, dan kelestarian alamnya. Citra natural!
Kolom terkait:
UU MD3 dan Tantangan Demokrasi
Anomali Hukum Menunda Penetapan Tersangka Koruptor