Menjelang akhir tahun 2017, tiba-tiba beredar kembali kampanye testimonial Anies Baswedan saat Pilpres 2014. Isinya, menurut saya bagus sekali. Rektor Universitas Paramadina (waktu itu) ini mengajak kita semua untuk meninggalkan kampanye hitam (fitnah) dan menghindari penggunaan agama sebagai isu politik yang bukan pada tempatnya.
Anies mengajak semua pihak untuk memilih kandidat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan objektif, tidak semata-mata pertimbangan emosional.
Ajakan Anies ini perlu untuk terus kita gemakan agar arena politik ke depan bisa terhindar dari hal-hal buruk yang kontraproduktif dan merusak masa depan demokrasi di Indonesia. Kita membutuhkan sesuatu yang berbeda di antara kebisingan suara yang terus menerus menjadikan agama sebagai “gincu” yang menarik perhatian namun tidak bisa dirasakan, bukan sebagai “garam” yang bisa menyedapkan masakan walaupun tidak kelihatan.
Selain itu, saya yakin Anda pernah mendengar seruan high politics (politik adiluhung) yang disuarakan Amien Rais pada tahun 90-an yang kemudian diimplementasikan dalam gerakan moral untuk melawan segala bentuk KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Anies Baswedan dan Amien Rais telah terekam dalam sejarah pernah menyerukan pentingnya memegang etika yang luhur dalam berpolitik. Meskipun belum tentu manjur, seruan ini penting untuk diputar ulang mengingat sepanjang tahun 2017, panggung politik kita dipenuhi adegan-adegan kotor yang jauh dari keluhuran etika politik. Tragisnya, adegan kotor itu justru kadang-kadang diperankan para aktor yang di luar panggung kita kenal sebagai tokoh yang petuah-petuahnya sarat dengan ajaran-ajaran moral.
Ujaran kebencian, provokasi, fitnah, hinaan dan cercaan, semua dilakukan dengan tingkat banalitas yang sempurna. Belum lagi senarai elite partai yang terjerat kasus korupsi, di antaranya bahkan terkena operasi tangkap tangan (OTT) baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi maupun aparat kepolisian. Semua itu tersaji begitu saja di hadapan kita bagai adegan drama tanpa skrip.
Jika panggung yang dimaksud betul-betul merupakan tempat pentas teater, kita bisa acungkan empat jempol sekaligus karena mereka yang berada di panggung itu begitu meyakinkan dan penuh penjiwaan dalam memerankan tokoh-tokoh antagonis. Masalahnya, ini realitas yang nyata apa adanya di depan mata, bukan panggung sandiwara.
Tahun 2017 benar-benar menjadi gelaran disfungsi etika politik. Etika kesantunan dan keadaban kadang dicampakkan justru oleh orang-orang yang mengklaim dirinya beradab, berpendidikan, dan menjunjung tinggi moralitas agama. Bisa dikatakan, tahun 2017 merupakan titik nadir dari moralitas politik termasuk yang berbasis agama.
Tahun 2018, upaya menjunjung tinggi etika politik akan kembali menghadapi ujian berat. Pada tahun ini, pilkada serentak akan digelar, dan pada tahun ini pula, mesin politik untuk pemilu dan (terutama) Pemilihan Presiden 2019 sudah mulai dipanaskan. Karenanya, panggung politik tahun 2018 sudah pasti akan jauh lebih meriah ketimbang 2017.
Kemeriahan politik ini akan menjadi batu ujian. Pertama, bagi penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu) untuk menjalankan semua proses pilkada, pemilu, dan pilpres secara efektif dan efisien dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, dan imparsialitas yang tinggi.
Kedua, bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk tetap menjaga netralitas politik, meningkatkan pengabdian pada bangsa dan negara, bukan pada individu-individu pejabat atau calon pejabat negara.
Ketiga, bagi partai politik dan elite-elitenya, tahun 2018 akan menjadi pembuktian untuk menentukan apakah masuk dalam barisan pemenang atau sebaliknya pecundang. Kemenangan atau kekalahan dalam Pilkada 2018 ikut menjadi penentu pada Pemilu dan Pilpres 2019.
Partai-partai, terutama yang mendukung pemerintah, menghadapi ujian lebih berat karena sudah ada sejumlah kalangan yang “mengancam” akan menggusur mereka seperti yang terjadi pada Pilkada Jakarta. Cara-cara kampanye—mungkin termasuk yang kotor—yang dijalankan di Jakarta akan diduplikasi di tempat lain. Jika “ancaman” ini terbukti, pasti akan berdampak pada pemilu dan pilpres nanti.
Dan (keempat) ujian tidak kalah berat tentu bagi Presiden Joko Widodo. Bukan tidak mungkin, fitnah tentang hubungannya dengan komunisme dan islamofobia akan kembali disematkan pada presiden ketujuh ini, termasuk soal LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) yang gagal dikriminalisasi melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Pokoknya, semua isu negatif yang mengisi ruang opini publik akan dipelintir dan dikapitalisasi oleh barisan oposisi untuk mendiskreditkan Jokowi.
Bagaimana sikap Jokowi terhadap isu-isu negatif ini akan ikut menentukan tingkat popularitas dan dukungan rakyat terhadap dirinya. Sikap yang terbaik, menurut saya, tidak reaktif, tetap fokus pada kerja-kerja konkret—terutama untuk bidang-bidang yang masih perlu peningkatan kinerja seperti mengurangi kemiskinan, menyediakan tanah dan hunian yang layak untiuk rakyat, dan segala upaya yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan untuk menghadapi segala bentuk fitnah yang dialamatkan pada Jokowi, khususnya dan pemerintah pada umumnya, serahkan sepenuhnya pada aparat kepolisian. Satuan tugas anti-SARA yang (akan) dibentuk Polri ada baiknya didukung untuk meminimalisasi berita-berita hoaks dan provokasi politik yang kerap memenuhi ruang media sosial kita.
Kolom terkait:
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama
Membaca Peta Politik Amien Rais
Saya Percaya Amien Rais, tapi…
“Pribumi” Anies, 2019, dan Politik Sentrifugal
Harga Sebuah Integritas: Surat Terbuka untuk Anies Baswedan Ph.D
Surat Kedua untuk Anies Baswedan: Meniti Jejak Langkah Pendahulu Kita