Kamis, April 25, 2024

“Dian” yang Harus Dipadamkan

Ihsan Ali-Fauzi
Ihsan Ali-Fauzi
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta
dian-yulia-novi
Dian Yulia Novi

Akhir pekan lalu antara lain ditandai berita-berita besar terkait terorisme. Di berbagai belahan dunia, aksi-aksi teroris memakan banyak korban. Di negeri kita, Polri dan Densus 88 berhasil menciduk beberapa orang yang diduga akan melakukan aksi-aksi teroris, yang nanti masih harus dibuktikan, di berbagai kota.

Kita wajib bersyukur sekaligus waswas karenanya. Bersyukur karena aparat keamanan tanggap terhadap ancaman laten ini dan bertindak cepat. Tapi kita juga harus kuatir karenanya: satu di antara yang diciduk adalah perempuan bernama Dian Yulia Novi. Jika rencananya tak digagalkan, Dian ini akan menjadi pelaku bom bunih-diri pertama di Tanah Air. Sebuah rekor!

Kata “dian”, dalam pengertian obor, mengingatkan kita pada novel Sutan Takdir Alisjahbana: Dian yang tak Kunjung Padam (1932). Novel itu bercerita tentang cinta sepasang kekasih (Yasin dan Molek) yang terus bertahan, meski keduanya harus berpisah karena perbedaan kelas sosial. Cinta pasangan itulah “dian” pada Takdir, yang harus dirayakan.

Beda dari itu, Dian yang diciduk pekan lalu harus membuat kita waswas. Dian yang ini berbahaya karena jumlahnya terus meningkat, menjadikan aksi-aksi terorisme makin mematikan. Benih-benihnya harus dimatikan sedini mungkin.

Dugaan mengenai kemunculan figur-figur seperti Dian di Indonesia sudah pernah disampaikan Sidney Jones, peneliti konflik dan kekerasan yang reputasinya sudah dikenal luas. Dalam kolomnya di edisi Inggris majalah Tempo (26 Juli 2016), dia dengan sangat yakin menyatakan: “Meskipun sulit dibayangkan hari ini, hanya soal waktu saja sebelum kita menyaksikan [tampilnya] pelaku bom bunuh-diri perempuan di Jawa.”

Mudah dipahami mengapa Sidney begitu yakin. Di tempat-tempat lain, menjadi pelaku bom bunuh-diri hanya kelanjutan logis dari kesediaan kaum perempuan tertentu untuk melakukan aksi-aksi kekerasan berisiko tinggi. Dan jika aksi bom bunuh-diri lebih efektif dilakukan pelaku perempuan, why not?

Data-data yang ada memperlihatkan kecenderungan ini. Menurut Yoram Schweitzer (2006) dari Jaffee Center for Strategic Studies (JCSS), Israel, antara 1985 dan 2006, pelaku bom bunuh-diri perempuan melakukan 220 serangan atau 15% dari keseluruhannya. Sementara itu, dalam dataset lebih mutakhir, Mia Bloom (1012), peneliti lain dari Universitas Massachusetts, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa mereka melakukan sekitar 25% dari 230 serangan bom bunuh-diri antara 1985 dan 2008.

Beberapa sarjana bahkan berpendapat bahwa keterlibatan kaum perempuan dalam aksi-aksi ini memiliki nilai tambah tersendiri. Di bawah ini beberapa alasannya.

Pertama, dibanding laki-laki, mereka biasanya bisa lebih leluasa bergerak dan tidak terlalu dicurigai aparat keamanan, sehingga nilai keterlibatan mereka lebih tinggi dibanding nilai keterlibatan lawan jenisnya. Nilai khusus ini bertambah tinggi lagi belakangan ini, karena kecurigaan terhadap kemungkinan aksi-aksi terorisme bunuh-diri juga meningkat pesat.

Dalam aksi-aksi mereka, misalnya, teroris perempuan bisa pura-pura menjadi perempuan hamil, sehingga aparat keamanan tidak curiga terhadap mereka. Atau, mereka bisa mengenakan pakaian ekstralonggar, yang membuat aparat keamanan enggan memeriksa (tubuh) mereka secara teliti.

Kedua, terlibatnya kaum perempuan sebagai pelaku bom bunuh-diri memiliki daya tarik tersendiri bagi media massa. Pada gilirannya, hal ini akan mempertebal makna perlawanan yang diwakili aksi-aksi teroris yang mereka atasnamakan.

Umum diketahui, media memainkan peran krusial dalam aksi-aksi teroris, karena kaum teroris itu menyampaikan pesan politik mereka lewat media. Dengan menampilkan perempuan sebagai pelaku bom bunuh-diri, organisasi teroris bersangkutan seperti hendak mengatakan bahwa penderitaan yang mereka alami akibat penindasan lawan mereka, yang menjadi target serangan mereka, sudah sebegitu parahnya hingga bahkan perempuan pun harus “turun tangan”.

Demikianlah, lewat media, kita merasakan kuatnya pesan Hiba, ibu tiga orang anak (28 tahun) dari Palestina, yang sedang melatih-diri untuk menjadi pelaku bom bunuh-diri, mengenai alasannya menjadi teroris: “Saya harus menyatakan kepada dunia bahwa jika mereka tidak bisa membela kami, kami harus membela diri kami sendiri dengan satu-satunya hal yang kami miliki, tubuh kami. Tubuh kami adalah satu-satunya senjata kami untuk melawan.”

Ketiga, keterlibatan perempuan juga dapat mendorong keterlibatan lebih jauh kaum laki-laki dalam aksi-aksi yang sama. Hal ini karena, seperti sering dinyatakan dalam ungkapan yang umum terdengar, “Kalau perempuan [saja] bisa, maka laki-lakinya harusnya juga bisa!”

Ungkapan populer ini menggambarkan kuatnya maskulinitas di berbagai kebudayaan, di mana kekuatan otot dianggap menunjukkan superioritas, yang pada gilirannya akan terus memperkuat dan melanggangkan stereotipe yang berlaku. Dengan demikian, kaum laki-laki akan merasa tertantang untuk melakukan apa yang bisa dilakukan oleh lawan jenisnya, yang secara umum digambarkan sebagai makhluk lemah.

Akhirnya, keempat, keterlibatan perempuan juga bisa dianggap sebagai indikator makin sejajarnya kedudukan perempuan dan laki-laki, yang juga menjadi indikator kemajuan perempuan. Ini terlepas dari apakah sang pelaku itu sendiri menyadari apa yang menjadi dasar perbuatannya atau tidak, karena ada cukup banyak dugaan bahwa mereka sebenarnya tengah dimanipulasi oleh para pemimpin mereka yang umumnya laki-laki.

Pemaksaan oleh Laki-laki
Masalah manipulasi laki-laki ini menonjol sepanjang dua tahun terakhir. Kasus-kasus paling kuatnya terjadi di Afrika, khususnya Nigeria, tapi penjelasannya diperoleh dari tempat-tempat lain.

Dalam rilis studi terbarunya (2016), Yoram Schweitzer dan timnya menyebutkan bahwa sepanjang 2015, terjadi 70 serangan bom bunuh-diri di Afrika, 66 di antaranya dilakukan atas nama Boko Haram dan al-Anshar. Serangan-serangan itu dilancarkan 120 perempuan, termasuk anak-anak. Ini peningkatan penting dari 2014, ketika serangan bom bunuh-diri oleh perempuan “hanya” terjadi 13 kali.

Banyak peneliti dan pekerja kemanusiaan, termasuk kantor berita IRIN, menduga bahwa gejala di atas terkait dengan penculikan lebih dari 200 anak-anak sekolah perempuan di Nigeria oleh Boko Haram pada 2014. Jika ini benar, para pelaku bom bunuh-diri itu menjalankan misi mereka bukan karena kehendak sendiri, tapi karena paksaan.

Ada banyak mekanisme “pemaksaan” ini. “Black Widows”, misalnya, yang menyerang satu sekolah di Rusia pada 2004, adalah perempuan-perempuan yang suami mereka dibunuh tentara Rusia pada Perang Chechnya. Di banyak kasus lain, suami, anak atau saudara laki-laki mereka disandera sampai mereka rela jadi bom bunuh-diri.

Yang paling sadis adalah dengan pertama-tama memperkosa mereka, sehingga perempuan-perempuan itu ternodai bukan saja secara psikologis, tapi juga sosial—untuk kemudian mem-fait accomply mereka agar bersedia mati syahid dalam meneguhkan kembali kehormatan-diri. Contohnya pernah dilaporkan Daily Mail (9 Februari 2009), terkait perempuan Irak yang dituduh “mengkoordinasikan” pemerkosaan 80 perempuan dengan tujuan merekrut mereka sebagai pelaku bom bunuh-diri. Kepada mereka, dia menyatakan bahwa inilah satu-satunya jalan untuk membersihkan kotoran akibat diperkosa. Dilaporkan juga, dia berhasil mengirim 28 orang di antara mereka ke aksi bom bunuh-diri.

Dian dan Dian-Dian lainnya
Kita masih harus menunggu hasil pemeriksaan atas Dian yang diciduk akhir pekan lalu. Mudah-mudahan aparat keamanan bisa mengungkap informasi sebanyak-banyaknya darinya, sehingga kita mengetahui pola dan proses radikalisasinya. Dia tidak perlu menjadi aktor penting, karena sebagai bom bunuh-diri (ya, senjata), dia sudah amat membahayakan.

Dari informasi yang sejauh ini bisa kita baca, kita tidak menemukan gejala-gejala bahwa dia mengalami paksaan seperti perempuan-perempuan lain yang dipaksa menjadi bom bunuh-diri di Nigeria, Chechnya, atau Irak, atau lainnya. Surat-suratnya kepada suami dan orangtuanya, jika betul asli, menunjukkan kesediaan dan komitmennya yang tanpa paksaan.

Dan ini harus membuat kita tambah waswas. Itu hanya berarti bahwa mungkin ada banyak Dian lain di sekeliling kita.

Ihsan Ali-Fauzi
Ihsan Ali-Fauzi
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.