Penemuan mesin cetak Gutenberg berjasa besar memperkuat demokrasi di Eropa. Tapi ia pula yang digunakan Nazi untuk menyebar fasisme melalui koran-korannya. Radio dimanfaatkan secara cerdas oleh Presiden Franklin D. Roosevelt untuk menyelamatkan demokrasi Amerika Serikat. Tapi ia juga digunakan Joseph Goebbels, propagandis Hitler, untuk menyebar kebencian dan fasisme.
Ketika pemerintahan tiran Slobodan Milosevic di Beograd menutup sebuah stasiun radio oposisi, kelompok itu kemudian mengunggah siarannya melalui internet dan akhirnya di-relay oleh stasiun lain seperti Radi Free Europe dan Deutzche Welle (Leslie David Simon: 2003)
Sebagai produk teknologi yang secara filosofis bebas nilai, internet menjadi berwajah ganda ketika berada di jagat pragmatisme politik: digunakan sebagai oksigen demokrasi, tapi secara kontradiktif juga digunakan untuk “membunuh” demokrasi.
Kita bisa memahami ambivalensi internet melalui sejarah kelahirannya. Internet lahir dari kantor Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada 1969. Cukup anomalis: instrumen media yang bebas tanpa batas ini diciptakan justru oleh departemen yang paling rigid dalam perkara pembatasan.
Pertanyaan fundamental yang muncul: internet akan menjadi kawan atau lawan demokrasi? Ada 3 (tiga) aliran: pesimistik, optimistik, dan realistik. Aliran pertama tak yakin internet bisa menjadi kawan setia demokrasi, malah sebaliknya: menusuk dari belakang. Aliran optimistik percaya betul internet akan memperkuat demokrasi di tataran global maupun lokal. Aliran ketiga mencoba berdiri seimbang di antara dua titik ekstrem: mendorong sisi demokratis internet, sembari tetap mengakui sekaligus memininalisasi sisi antidemokrasinya (Anthony G. Wilhelm: 2003)
Internet memiliki 9 (sembilan) karakteristik khusus yang mampu mengikis otoritarianisme, yaitu: menembus batas fisik, nirkontrol, meningkatkan kemampuan kekuatan sipil untuk berserikat secara bebas, meminimalisasi kontrol negara atas warganya, membuat negara dilema (menggunakannya atau tidak), kekuatannya tak terbendung, memaksa pemerintah untuk lebih demokratis, memberdayakan kekuatan sipil, dan memperluas akses edukasi publik (Simon: 2003).
Ketika awal mula kelahirannya, karakter inilah yang diyakini akan mengangkat demokrasi analog ke level yang lebih tinggi kualitasnya, yaitu demokrasi digital.
Tapi kenyataan tak seindah harapan. Faktanya, rezim di beberapa negara ternyata juga sukses memanfaatkan internet untuk memperkuat kuasa totaliternya. Mereka memanfaatkan media sosial untuk kapitalisasi ekonomi saja, namun membungkamnya ketika masuk domain politik. Benar yang dikatakan David Gompert (1998), teknologi informasi adalah sine qua non dari globalisasi dan kekuatan. Teknologi mengintegrasikan ekonomi dunia dan menyebarkan kebebasan, tapi pada saat yang sama menjadi faktor penting bagi militer dan bentuk-bentuk kekuatan lainnya.
Ambivalensi internet membuat setiap negara memiliki respons berbeda terhadap internet atau media sosial: ada yang memberi ruang karena menyadari manfaat ekonominya, ada yang cemas dengan potensi politiknya, dan ada yang menghadapi dilema antara ingin menikmati manfaat ekonomi dari internet tetapi masih mengontrol kontennya untuk mengantisipasi dampak politisinya. Internet mempengaruhi jalannya demokrasi dan pertumbuhan ekonomi secara simultan. Tapi sebagian negara mencoba mengambil satu manfaatnya, dan mengeleminasi manfaat lainnya (Simon: 2003).
Wajah ganda internet ini terasa hingga era media sosial, salah satu “bayi” yang dilahirkannya sekarang ini. Jika bukan karena media sosial, Arab Spring tak akan pernah jadi kenyataan. Tapi, “berkat” media sosial pula kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) bisa menyebarkan ideologi dan produk terornya ke seantero dunia (Abdel Bari Atwan, ISIS, The Digital Caliphate: 2015).
Dalam The New Digital Age (2013), Eric Schmidt dan Jared Cohen, dua punggawa Google, mengkhawatirkan terjadinya kebangkitan teroris peretas. Kelompok ini sangat tertolong dengan adanya platform digital untuk merencanakan, mengerahkan, mengeksekusi, dan yang terpenting merekrut anggota kelompoknya. Di sisi lain, Schmidt dan Cohen melihat cerahnya masa depan dunia dengan kehadiran teknologi digital.
Pada wilayah politik, faktanya semakin anomalis: Barack Obama yang moderat dan proglobalisasi lahir dari rahim media sosial, tapi Donald Trump yang konservatif dan proteksionis juga lahir dari “ibu” yang sama. Bahkan, dalam batas tertentu, Trump dimenangkan oleh “hoax” (berita bohong), sisi gelap dari media sosial itu sendiri. Lihat, betapa ambivalesinya media sosial.
Fenomena “hoax” ada dalam konteks ambivalen ini. Karenanya, membedah hoax dengan fokus pada instrumen atau alatnya rasanya kurang tepat. Ini sesuatu yang integral dalam teknologi komunikasi-informasi, dan tidak bisa dipecah-pecah ketika demokrasi mengakomodasinya sebagai instrumennya.
Yang perlu kita lakukan adalah mengantisipasi sisi gelap media sosial (hoax), sekaligus memaksimalkan sisi terangnya (demokrasi). Karena media sosial hanyalah satu instrumen di antara sekian banyak instrumen yang mewarnai sejarah panjang perjalanan demokrasi. Sebelumnya telah lahir instrumen teknokratis lain, dan ke depan juga akan digantikan oleh yang lebih inovatif. Black campaign marak terjadi di era awal munculnya media cetak dan televisi. Namun, dengan kedua media itu demokrasi mencapai kematangannya dan memperluas area partisipasi publiknya.
Media sosial juga demikian: dimanfaatkan secara kreatif oleh pemilih sebagai alat partisipasi politik yang baru. Hoax merupakan implikasi tak terpisahkan dari alat partisipasi politik baru yang bernama media sosial ini. Potensi terjadinya konflik sosial-politik semakin mudah karena difasilitasi secara maya. Media sosial alat yang sangat potensial untuk memperkuat sekaligus memperluas demokrasi yang mengalami krisis partisipasi.
Media sosial juga telah menjadi energi baru yang membuat kekuatan sipil tumbuh menjadi “Daud” sosial-politik yang mampu menandingi supremasi “Goliath” kekuasaan. Media sosial membuat masyarakat sipil lebih mudah menjalankan perannya sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan dan penyangga negara.
Namun, di sisi lain, potensi positifnya ini paralel dengan potensi negatfinya untuk mencederai dan melemahkan demokrasi. Lihat saja bagaimana Amerika Serikat marah bukan kepalang menuduh Rusia telah mengintervensi pemilihan presiden dan mendorong kemenangan Trump. Negeri punggawa demokrasi dengan sistem pemilihan umum paling aman dan canggih teryata bisa dibobol dengan kecanggihan tekhnologi. Tekhnologi yang oleh Gedung Putih digunakan sebagai pagar mengamankan penyelengagran pilpres, teryata menjadi kuda Troya yang merusaknya dari dalam.
Ini sisi gelap media sosial yang bukan hanya mengancam Indonesia, tapi juga negara-negara besar. Gerakan antihoax harus dijalankan sebagai bagian dari tanggung jawab gerakan sipil.
Sejak era klasik demokrasi selalu memiliki cara beradaptasi dengan perubahan zaman, termasuk revolusi teknologi komunikasi-informasi. Demokrasi terbukti memiliki cara, pola pendekatan, dan energi khas untuk memaksimalkan sisi positif sebuah instrumen baru, sekaligus meminimalisasi sisi negatifnya. Dan pada setiap era baru teknologi komunikasi-informasi, demokrasi selalu membuka dirinya untuk dikoreksi kelemahan-kelemahannya, direvisi kesalahannya, dan “disulam” bagian-bagiannya yang “bolong”. Ini energi subtil demokrasi yang membuatnya bisa bertahan melewati bermacam era peradaban.
Gerakan-gerakan sipil antihoax yang kini digalakkan adalah bagian dari cara demokrasi beradaptasi dengan instrumen baru yang bernama media sosial. Pada akhirnya akan terbentuk sebuah fatsun berdemokrasi di dunia digital (media sosial hanya salah satunya), sebagaimana dahulu sudah dialami era media cetak dan elektronik. Demokrasi akan dapat menciptakan keseimbangan baru dalam korelasinya dengan instrumen baru yang digunakannya, baik dengan cara melihat ke dalam dirinya maupun mempengaruhi ke luar dirinya.