Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman pekan lalu melontarkan pernyataan yang sangat menarik publik. Dalam sambutannya di acara Halal Bihalal Fraksi PKS bersama tokoh dan ormas Islam di aula perumahan DPR, Kalibata, Jakarta Selatan (25/7), ia berpesan dan menaruh harapan yang besar kepada Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
“Kami katakan kepada keduanya, kami ingin jadikan Jakarta ini ibaratnya Istanbul dari timur. Bahwa di sana ada kepemimpinan Erdoğan, yang memulainya dari Istanbul. Sukses di sana dan kemudian bisa memimpin negara Turki yang hari ini menjadi negara Muslim yang dibanggakan”.
Perhelatan pesta elektoral Jakarta menyisakan begitu banyak cerita. Hampir seluruh daerah di Indonesia terhipnotis dan menjadi pemerhati. Seolah-olah Jakarta adalah segala-galanya. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa “daya tarik” Jakarta masih sangat kuat dalam perjalanan pemerintahan di Indonesia. Sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta selalu menyajikan cerita-cerita kemanusiaan yang sangat cepat menjadi perbincangan publik.
Geliat selebritas dan publik figur tentu saja menjadi cerita yang tidak boleh dilupakan. Dan para elite politik yang terlibat aktif dalam skema dan pemetaan politik nasional menjadi hal yang melengkapi kehidupan sosial kota metropolitan.
Istanbul dan Jakarta adalah dua kota yang terletak berjauhan satu sama lain. Jika dikomparasikan, dua kota besar ini tentu memiliki potensi yang variatif baik dari segi sosial, ekonomi, budaya, dan dinamika politiknya. Data populasi penduduk Istanbul pada 2016 menunjukkan angka 14.804.116 jiwa dengan komposisi 7.424.390 laki-laki dan 7.379.726 perempuan. http://www.nufusu.com/il/istanbul-nufusu.
Sedangkan populasi penduduk Jakarta per 2016 tercatat mencapai 10,3 juta jiwa. http://megapolitan.kompas.com/read/2017/06/07/12514301/hingga.2016.tren.pertambahan.jumlah.penduduk.terus.terjadi.di.jakarta. Luas wilayah Jakarta diperkirakan mencapai 661.5 km persegi. Sedangan luas wilayah Istanbul, yang terbentang dari sisi Eropa sampai ke bagian Asia, mencapai 1.539 km persegi.
Dengan populasi tersebut, Istanbul menjadi kota yang terbesar dan terpadat di Turki. Ini sekaligus melampaui populasi kota Ankara—Ibu Kota Turki—yang hanya berjumlah 5.346.518 jiwa.
Dinamika sosial, ekonomi, dan politik di Turki hampir selalu menjadi perbincangan masyarakat internasional. Khusus bagi publik yang berada di kawasan geopolitik Eropa, Afrika, dan Asia (negara Muslim), Istanbul adalah kota yang sangat indah. Berlatar sejarah kejayaan Usmani pada periode 1453-1924 menjadikan kota dua benua ini adalah destinasi wisata utama bagi para pelancong dari Eropa, Asia, Afrika.
Bangunan Hagia Sophia, Masjid Sultanahmet (blue mosque), dan Istana Topkapi merupakan simbol pariwisata kota yang dijuluki oleh Pierre Loti sebagai kota yang memiliki keindahan universal bagi orang-orang Utara dan Barat. “Istanbul, a universal beauty where poet and archeologist, diplomat and merchant, princess and sailor northerner and westerner screams with same admiration. The whole world thinks that this city is the most beautiful place on earth”.
Masyarakat Turki dikenal memiliki jiwa kedermawanan (cömertlik) yang tinggi. Sejak zaman Usmani, mereka telah menerapkan sikap toleransi dan saling membantu satu sama lain. Tentang simbol-simbol kedermawanan mereka bisa dibaca di sini http://www.turkishspirits.org/2017/01/simbol-simbol-kedermawanan-dalam.html.
Hingga hari ini, masyarakat Turki selalu terbuka dengan para pendatang baik wisatawan maupun para pelajar. Diplomasi budaya dan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah Turki sangat berdampak positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi negara berpenduduk 79.51 juta jiwa ini (per 2016).
Cerita-cerita tentang Istanbul yang ditulis oleh orang-orang yang pernah mengunjungi kota bersejarah sekaligus saksi peradaban Islam ini sangat banyak dijumpai, baik dalam bentuk narasi buku, novel, riset ilmiah maupun informasi bertutur antar satu orang kepada yang lain.
Orhan Pamuk, novelis Turki yang memperoleh Nobel Sastra pada 2006 lewat karyanya, My Name Is Red, adalah salah satu yang melukiskan keindahan kota, kemurungan (hüzün), dan kemelankolisan Istanbul. Juga lewat novel lain miliknya, Istanbul: Memories and the City.
Kolumnis Zen RS juga sempat menulis tentang Istanbul https://tirto.id/turki-yang-jauh-tapi-terasa-akrab-btxS. Dalam catatannya yang cukup panjang tersebut, Zen RS menguraikan tentang Istanbul dengan detail perihal kondisi sosial yang ia lihat sendiri. Tiga paragraf pembuka tulisannya adalah representasi dari fenomena sekaligus fakta sosial yang ada di Istanbul.
“Saat menginjakkan kaki di Istanbul, saya tak menemukan imaji Turki yang Islami sebagaimana dibayangkan pengagum Recep Tayyip Erdoğan dan Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) di Indonesia. Saya juga tak banyak menemukan kemurungan (hüzün) yang berulang kali dibicarakan Orhan Pamuk sebagai jiwa Istanbul.”
“Mungkin saya salah memilih tempat, namun di seputar hotel tempat saya menginap di Jalan Istiqlal–hedonisme mudah terlihat. Di tepian jalan yang memanjang sejak Alun-alun Taqsim itu, berjejer toko-toko mewah, dipadati pengunjung berpakaian dandy, yang kecermelangannya tak kalah dari orang-orang Eropa yang beberapa hari sebelumnya saya lihat di Frankfurt, Wina, dan Praha.”
“Tentu gampang menemukan perempuan berhijab, namun jumlahnya tidak mencolok untuk ukuran negara dengan partai penguasa berbasiskan agama—yang di Indonesia banyak dianggap sebagai representasi pemerintahan Islam yang pantas diteladani. Beberapa orang terlihat mengenakan peci Turki, fez, namun rasa-rasanya kebanyakan orang-orang tua yang mengenakan. Jarang anak muda yang mengenakan fez di kepalanya.”
Jika diumpamakan, catatan Zens RS adalah prolog yang tepat untuk perjalanan sebelum berkunjung ke Istanbul. Dalam paragraf lainnya, ada satu petuah besar dari pendiri presiden pertama Indonesia, Soekarno, “orang yang tidak datang menyelidiki sendiri keadaan di Turki itu, atau tidak membuat studi sendiri yang luas, dan dalam dari kitab-kitab mengenai Turki itu, […] ia tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan vonis atas negeri Turki itu di muka umum,” (Panji Islam, 1940, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”).
Istanbul adalah kota metropolitan yang menyimpan cerita bagi mereka yang sudah datang langsung dan merenungi nilai-nilai sejarah yang kini semakin dijejali oleh gedung pencakar langit dan AVM (Alışveris Merkezi—pusat berbelanja, mall). Juga melihat bagaimana para bocah dengan sengaja tidur dengan kaki telanjang di jembatan penyeberangan. Ataupun teriakan bocah lainnya yang berlomba menjajakan tisu di tengah sesaknya penumpang kereta dan bus kota.
Synagoge—tempat ibadah kaum Yahudi—yang terletak di Ortaköy dan Beyoğlu adalah gambaran dari sedikit representasi toleransi yang bisa dijumpai di Istanbul. Paham sekuler yang dianut oleh Turki adalah kesepakatan sejak Turki republik dideklarasikan oleh Mustafa Kemal Attaturk.
Pada awalnya Turki menganut jenis sekularisme asertif yang dengan tegas menempatkan agama pada ruang privat, di mana semua aktivitas dan simbol agama dilarang untuk ditampakan dalam semua jenis aktivitas sosial dalam ranah publik. Namun, pasca kemenangan AKP yang dipimpin Erdogan, pelan tapi pasti Turki bergeser dan mulai mengimplementasisan jenis sekularisme pasif yang berkiblat pada Amerika, ketika agama mulai diberi ruang publik yang lebih luas namun masih tetap dikontrol oleh negara (Ahmet T. Kuru, Assertive Secularism and The Islamic Challenge)
Gaung Turki dalam beberapa tahun terakhir semakin mendapatkan perhatian. Publik Indonesia adalah satu dari beberapa negara di Asia yang merespons perkembangan Turki terutama dari segi diplomasi budaya dan pendidikannya. Gempuran sinetron Turki menjadi pemicu dan perantaranya. Ditambah lagi dengan kekaguman para simpatisan partai islam di Indonesia kepada Presiden Turki Erdoğan.
“Pada siang 29 Oktober, ketika melintasi Alun-alun Taqsim yang tengah ramai dengan perayaan Cumhuriyet Bayramı, semua orang nyaris tanpa kecuali berdiri dan dengan penuh takzim menyanyikan İstıklal Marşı, lagu kebangsaan Turki. Saya melihat anak seorang anak muda, dengan pakaian yang “kebarat-baratan” (celana jeans, jaket kulit, sepatu Asics, dan kacamata hitam), ikut bernyanyi dengan khidmat sembari menggenggam bendera AKP berukuran kecil. Imaji tentang—misalnya—simpatisan PKS di Indonesia tak tampak pada anak muda itu.”
Mengutip Alfan Alfian, “AKP mengidentifikasi diri sebagai partai tengah yang berhaluan demokrat-konservatif yang pilihan isu dan kebijakannya banyak yang bertolak belakang dengan partai-partai Islamis” (Alfan Alfian, 192).
Masih menurut Alfan Alfian, catatan perihal perkembangan AKP lainnya adalah, pertama, AKP mampu memanfaatkan Uni Eropa sebagai “kekuatan besar”. Kedua, keberhasilannya dalam pembangunan ekonomi. Dan ketiga, stabilitas politik dan keamanan yang ada, untuk melipatgandakan kekuatan negosiatifnya dalam proses perubahan. Karenanya, AKP tak merepresentasikan pemerintahan sipil yang lemah.
Harapan Presiden PKS Sohibul Iman, yang menginginkan Jakarta seperti Istanbul, tentu saja harus lebih detail dijabarkan. Semua daerah memiliki potensi masing-masing. Istanbul, dengan Selat Bosphorus-nya telah menjadi saksi tiga peradaban besar, Bizantium, Romawi Timur, dan Usmani.
Pada sisi lainnya Jakarta yang merupakan sentral informasi di Indonesia bisa menjadi kota maju sesuai dengan latar historisnya. Keragaman suku, agama, dan kultur yang membaur di kehidupan sosial harus mampu menjadi pemicu agar pembangunan berjalan dengan maksimal dan kesejahteraan sosial dapat tercapai.
Istanbul bisa saja menjadi model untuk pembangunan di Jakarta. Misalnya infrastruktur kereta bawah tanah (metro), membangun perpustakaan publik, distribusi pajak lewat peningkatan transportasi publik, pemugaran museum-museum dan pemberlakuan pendidikan gratis bagi warga Istanbul ataupun Turki. Jika saja kondisi riil Istanbul telah diketahui, maka sekiranya Jakarta bisa mulai meniru dan berbenah dari hal-hal yang menjadi kebutuhan warganya.
Perlu diicatat juga, pada 16 April 2017 lalu, referendum Turki terkait dengan perubahan konstıtusi pemerintahan dari sistem parlementer menjadi presidensial di Istanbul dimenangkan oleh publik yang memilih “tidak” (Hayır) dengan presentase 51.35%, sedangkan pemilih “iya” (Evet) sebesar 48.65%. Namun, secara umum, pemerintah memenangkan referendum tersebut dengan perbandingan presentasi 51,40% suara publik yang mendukung perubahan konstitusi tersebut berbanding dengan 48,60% suara yang menolak perubahan konstitusi.
Baca juga:
Setahun Kudeta Berdarah di Turki