Pernyataan calon gubernur DKI Anies Baswedan dalam pidato kebangsaan di Jakarta pada Senin (3/4) lalu sangat menarik. Pernyataannya yang mengatakan “tak usah perjuangkan kebhinekaan tapi persatuan” terdengar logis. Namun, bila dilihat dari sisi lain, pernyataan tersebut kurang tepat dan bahkan dapat berdampak berbahaya.
Kebhinekaan memang fakta. Namun, dapat hilang atau dihilangkan. Ketika kebhinekaan dikatakan tidak perlu diperjuangkan, hanya persatuan yang diperjuangkan, implikasinya adalah demi persatuan (baca: stabilitas, harmoni sosial), maka kebhinekaan dapat dikorbankan.
Status eksistensinya sebagai realita tidak serta merta membuat kebhinekaan tidak dapat berubah atau diubah. Dalam suatu diskusi, Azyumardi Azra menyatakan bahwa Indonesia berangkat dari keragaman dulu, baru kemudian berkembang menjadi kesatuan. Alur prioritas ini merupakan prinsip yang vital.
Pernyataan Azyumardi tersebut juga dapat kita telaah secara empiris dalam sejarah sosial-politik berbagai bangsa. Contoh kontemporer sekarang adalah kondisi Myanmar sebagai demokrasi baru. Banyak kesamaan antara Myanmar dan Indonesia, khususnya dalam keragaman yang ada dalam masyarakatnya.
Di Myanmar, selain etnis mayoritas Burma yang umumnya beragama Buddha, ada etnis minoritas Kachin yang Kristen, etnis Rohingya Muslim, dan berbagai etnis lainnya. Dan keragaman ini tidak semata-mata merupakan fakta yang lestari dengan sendirinya.
Bahkan, keragaman ini kerap dianggap sebagai sumber masalah bagi sebagian kalangan di Myanmar, utamanya dengan alasan politik dan ekonomi. Akibatnya, diskriminasi etnis minoritas sangat kuat merajalela dan etnis Rohingya sebagai yang paling subordinat mengalami perlakuan brutal dari banyak pihak.
Semua ini dilakukan dengan alasan utama menjaga kekuasaan dan “persatuan”. Bagi kalangan militer dan kelompok radikal Buddhist di bawah pimpinan Wirathu (gerakan 969), keberadaan kelompok minoritas tersebut mengganggu dan membahayakan “persatuan” Myanmar.
Karena itu, mereka terus mengipas ethnic hatred yang ingin menghabisi keragaman yang ada. Bahkan sudah ada sangat banyak laporan penelitian yang menyebutnya sebagai ethnic genocide.
Ethnic genocide, baik dengan kekerasan maupun dalam bentuk kebijakan yang kelihatan halus (contoh: menghilangkan kategori etnis dan larangan praktik kultur tertentu), bukan hal yang baru. Dalam sejarah, kita dapat melihat jelas bagaimana satu kelompok dapat hilang dari bumi ini karena praktik-praktik tersebut.
Keragaman dan kebhinekaan memang bisa dikatakan menjadi kekuatan bangsa, tapi secara riil juga bisa menjadi tantangan suatu bangsa. Mempertahankan kebhinekaan dalam persatuan merupakan suatu kerja keras bersama yang tidak dapat dipisahkan.
Kembali kepada Pilkada Jakarta dalam kurun waktu enam bulan terakhir, permasalahan kebhinekaan merupakan isu krusial yang perlu dihadapi secara serius. Ia bukan hanya dipandang sebagai “fakta”, tetapi juga “masalah” (bagi kalangan tertentu). Kita dapat melihat kalangan tertentu secara gamblang memojokkan kelompok atau etnis lain.
Mengutamakan persatuan dan mengesampingkan kebhinekaan sebagai fakta saja bisa dikatakan cukup berbahaya. Khususnya dalam tensi politik seperti sekarang ini. Ketika marak bermunculan kelompok yang cenderung mencoba mendominasi satu interpretasi dengan cara memaksa, termasuk pengerahan massa dengan mengusung berbagai ancaman.
Pandangan politik yang berbeda, interpretasi yang lain, serta pernyataan apa pun yang dianggap menyinggung akan jadi dasar mobilisasi untuk mesin politik. Ketika ada kecenderungan “pemaksaan” oleh beberapa kelompok kecil untuk “membungkam” interpretasi berbeda, serta pilihan politik yang lain, kita perlu bersama-sama melawannya.
Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu yang memantik isu penistaan agama memang hal yang sangat disayangkan. Namun, hal ini justru menjadi “latihan” dalam menyikapi kebhinekaan yang ada. Dalam masyarakat yang beragam, satu perkataan yang menyinggung tidak dapat dihindari, tapi bagaimana masyarakat yang berbeda-beda makin saling mengerti dan memaafkan adalah wujud pendewasaan bangsa.
Persatuan yang digarisbawahi sebagai suatu yang diperjuangkan, lepas dari kebhinekaan sebagai status quo semata, akhirnya menjadi sebuah tesis yang berbahaya ketika persatuan dapat berujung pada homogenisasi keragaman tersebut. Karena ketika persatuan menjadi nilai utama tanpa kebhinekaan, solusi paling mudah adalah menghilangkan keragaman tersebut demi persatuan.
Sebagai seorang warga DKI, saya bertambah khawatir ketika persatuan semata menjadi nilai yang diperjuangkan mati-matian. Khususnya ketika sebelum pernyataan ini, Anies Baswedan telah mempunyai alur narasi yang membuat saya sebagai warga minoritas kehilangan tempat saya di bumi nusantara ini.
Pertemuan pertama Anies dengan sebuah kelompok di Petamburan dan menyatakan bahwa etnis Arab merupakan kelompok yang paling nasionalis membuat saya merasa seperti warga kelas dua (di luar fakta bahwa pernyataan tersebut bisa diperdebatkan akurasi historisnya).
Konfirmasi Anies dalam berbagai kesempatan bahwa “yang berpeci harus memilih yang berpeci” dan sebagai Muslim ia harus mengikuti interpretasi al-Maidah 51 sesuai narasi sebagian kelompok, bahwa yang Muslim harus memilih yang Muslim, mempunyai implikasi bahwa pemimpin non-Muslim tidak sah di daerah yang mayoritas penduduknya Muslim.
Berbagai video kampanye pasangan calon nomor urut 3 seragam berbaju putih lengkap dengan atribut satu agama saja memberi kesan tidak banyak tempat bagi keragaman dan warna yang berbeda dari kelompok-kelompok lainnya.
Ahok sebagai gubernur memang telah terlampau sering melakukan “blunder” perkataan yang jauh dari political correctness. Hal tersebut merupakan area yang perlu menjadi pembelajaran baginya sebagai seorang pejabat publik.
Namun, semata-mata menggarisbawahi persatuan sebagai isu tunggal dapat mengakibatkan unintended consequences, yaitu penghilangan keberagaman yang indah ini. Tidak perlu jauh-jauh kita melihat sejarah. Rezim Orde Baru, dalam usahanya menjaga persatuan, pernah secara sengaja menghilangkan identitas etnis Tionghoa. Nyatanya identitas tersebut tidak mudah hilang dan berujung kekerasan pada tahun 1998.
Akan selalu ada friksi akibat perkataan dan tindakan yang dilakukan oleh satu terhadap yang lain. Hal tersebut tidak dapat dihindari dalam kebhinekaan satu masyarakat. Di situlah keindahan Indonesia terletak, yakni dalam perbedaan yang mengandung pembelajaran untuk saling memaafkan.
Hal lainnya yang juga menjadi catatan penting bagi masyarakat adalah untuk tidak membuat generalisasi bahwa satu kesilapan individu merupakan representasi kelompok etnis maupun agamanya. Yang lebih penting lagi adalah menjaga persatuan tersebut dengan memperjuangkan keragaman secara bersama-sama.