Siang itu, kami satu meja di salah satu restoran Muslim di kampus Heilongjiang University, China. Seorang teman berkebangsaan Rusia menunjukkan pemberitaan di media sosial tentang kejadian terkini di Indonesia. Berita itu tentang lautan manusia dan pengadilan bagi para (mantan) pemimpin.
Seperti baru disadarkan, saya ingat bahwa di mana pun berada kita ini diperhatikan orang lain. Hari ini kita tidak bisa mengelak dari sorotan dunia. Baik dan buruk, jujur atau curang, kokoh atau ambruk, maka saat itu juga ada jutaan mata yang menonton.
Apakah kita juga menikmati tontonan berita di media sosial seorang (mantan) pemimpin seperti Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok duduk tertunduk lesu di meja persidangan? Atau lebih dari itu, kita sudah lama menantikan dia dipenjarakan, sebagaimana dulu publik juga pernah menantikan berita seorang mantan presiden bisa dihadirkan di meja sidang.
Sebenarnya apa yang membuat kita berambisi ingin memenjarakan mereka, para pemimpin kita. Apakah kita ingin memberi pelajaran kepada mereka, atau ingin membalas dendam karena dengki. Apakah di mata kita, mereka keliru, atau karena kita merasa lebih bisa. Apa pun motifnya, apa kita lupa bahwa para pemimpin kita itu adalah pilihan kita sendiri, atau setidaknya para wakil kita yang memilihkan.
Apakah seterusnya kita akan mengulangi permainan seperti ini. Tadinya secara ramai-ramai kita mengangkat pemimpin, kemudian kita kritik mereka kapan saja, dan setelah itu kita dengan ramai-ramai pula menghukum mereka. Kepada siapa tontonan yang seperti ini kita suguhkan. Apa tidak malu mencampakkan para mantan idola yang dulu kita puja ke meja pengadilan.
Memang benar bahwa hukum harus ditegakkan, agar kelak perilaku keliru tidak diulangi lagi oleh pemimpin berikutnya. Tetapi bila hal itu ditumpangi rasa benci dan ambisi untuk menggilas lawan, lalu kita ini bangsa apa. Tidak adakah cara untuk mengingatkan para pemimpin yang lebih humanis. Misalnya, dengan cara memberi label hitam kepada sang tokoh untuk tidak memilihnya kembali, selamanya. Atau menolak mendukung partai gagal yang mengusungnya. Selamanya.
Saya kemudian teringat dengan nasihat bijak dari para filsuf. Biasanya, muda-mudi pemabuk cinta yang kemudian patah hati adalah mereka yang memiliki ekspektasi terlalu tingggi (tidak masuk akal) terhadap pujaan hati. Berbeda dengan para dewasa yang mencintai belahan jiwanya dengan segenap kesadaran, termasuk kesiapan mengetahui sisi gagal-kurang.
Apakah kita semua, masyarakat bangsa Indonesia ini, masih dalam masa-masa labil sebagaimana muda-mudi. Manusia yang emosional dan irasional. Memilih sendiri para calon pemimpin, percaya dengan iming-iming mereka yang tidak masuk akal. Tetapi ketika yang tidak masuk akal tadi sulit terwujud, kita kaget setengah mati, patah hati dan kemudian memaki. Padahal, bagi orang waras, sejak awal janji-janji yang ditawarkan para juru kampanye itu memang tidak mungkin bisa dilaksanakan.
Kita juga tidak mau belajar untuk melihat kegagalan dan keberhasilan seseorang secara proporsional. Menyadari bahwa setiap dari kita memiliki dua sisi sekaligus, prestasi dan kegagalan. Kebencian kepada orang lain telah membuat sedikit noda yang menempel pada baju menutupi seluruh warna-warni indahnya.
Bila memang demikian, maka mengertilah bahwa kita ini masih dalam kondisi labil. Kita belum pantas menentukan pilihan, apalagi menghukum atas kesalahan orang lain.
Dalam konteks ini, ada bahan renungan menarik dari salah satu adegan dalam film berjudul Perempuan Berkalung Sorban (2009) yang diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Abidah El Khalieqy. Dalam film itu diceritakan, Annisa (Reva S. Temat), putri Kiai Hanan, hampir saja mati karena dihukum rajam oleh kerumunan massa.
Annisa didakwa telah berbuat dosa oleh suaminya yang cemburu, yang kemudian memanggil orang-orang. Dalam kondisi genting itu ibundanya datang menghadang. Dengan suara bergetar khas seorang ibu, perempuan tua itu berteriak kepada massa yang telah bernafsu untuk menghabisi putrinya, Annisa. “Hanya mereka yang tidak pernah berbuat dosa, boleh melempar batu kepada Annisa…,” tegas wanita tua itu.
Mengadili orang lain harus berangkat dari motivasi mulia. Namanya saja “mengadili”, dari akar kata “adil”. Secara sederhana, target yang hendak dicapai adalah memperlakukan pihak-pihak terkait dengan adil, bijaksana. Karena itu, sebelum memutuskan untuk mengadili orang lain, kita terlebih dulu harus memiliki kompetensi khusus. Atau, setidaknya kita telah melakukan beberapa tindakan, sebelum memutuskan mengadili orang lain.
Pertama, kita terlebih dulu harus berempati kepada pihak terdakwa. Maksudnya, bagaimana kejadian sebenarnya, dan apa yang terjadi seandainya kita yang berada pada pihak terdakwa. Dengan menimbang-nimbang hal ini, maka kita tidak akan mudah menjatuhkan vonis hukuman kepada pihak yang kita anggap keliru.
Kedua, pastikan bahwa kita adalah orang yang lebih baik, katimbang mereka yang akan kita adili. Bagaimana mungkin kita menuding orang lain bersalah, sementara itu kita sendiri tidak lebih benar. Bagaimana bisa pembohong ingin mengadili pembohong, sebelum dirinya sendiri diperlakukan dengan “adil”.
Ketiga, kita harus memiliki solusi atas kesalahan yang dibebankan kepada terdakwa. Tanpa menawarkan solusi yang lebih baik dan teruji, kita tidak lebih pantas menggantikan mereka yang “keliru”.
Tanpa ketiga hal di atas, kita hanya akan menjadi bagian dari kerumunan massa beringas, yang puas ketika melihat orang lain tersungkur dalam jurang kehancuran. Lantang meneriakkan orang lain bersalah, tetapi tidak pernah melihat kepada diri sendiri yang tidak juga lebih baik.
Lazim terjadi di tengah masyarakat, kita berani menyalahkan para pemimpin. Padahal, kita juga tahu bahwa diri ini tidak lebih bisa mengatasi persoalan yang ada. Bukankah kita percaya bahwa menjadi pemimpin itu ada campur tangan kehendak Tuhan. Artinya, mereka yang telah “terpilih” itu tidak lepas dari campur tangan semesta. Mereka itu orang-orang yang setingkat lebih baik, meskipun akhirnya ada yang gagal. Sementara kita belum mencapai kilometer, sebagaimana yang sudah dilalui para pemimpin itu.
Belajarlah dari kejadian demi kejadian di masa lalu. Berhentilah memaki para petinggi di negeri ini. Kalaupun merasa harus memberikan kritik, sampaikan dengan elegan. Saatnya merajut solidaritas yang terkoyak.