Sesaat setelah Khalifah al-Muntashir dibunuh akibat diracun atas rekayasa para Jenderal Turki, timbul pertanyaan siapa yang akan berkuasa berikutnya? Kalau memilh putra al-Muntashir, nanti putranya akan menuntut balas atas kematian ayahnya. Kalau memilih saudaranya al-Muntashir, yaitu al-Mu’tazz atau al-Mu’ayyad, keduanya telah dicopot dari jalur suksesi, dan boleh jadi mereka pun akan menuntut balas atas pembunuhan ayah mereka sebelumnya, yaitu al-Mutawakkil. Lantas, siapa yang akan dipilih oleh para Jenderal Turki? Simak yuk lanjutan ngaji sejarah politik Islam.
Sebelum diurai lebih lanjut, perlu saya petakan dulu konflik etnik di masa khilafah zaman old ini. Semula pemerintahan dikuasai bangsa Arab, tapi kemudian semenjak Mu’awiyah menjadikan Damaskus sebagai ibu kota negara dan kekuasaan Islam sudah melintasi jazirah Arab, maka di masa Dinasti Umayyah timbul ketidakpuasaan Muslim non-Arab, seperti penduduk di wilayah Kufah yang keturunan Persia, seolah non-Arab menjadi warga negara kelas kedua. Mereka tidak mendapat posisi yang layak di pemeirntahan dan militer. Yang berkuasa adalah kelompok Arab, Yaman, dan Suriah.
Tumbangnya Dinasti Umayyah diikuti dengan perubahan peta politik. Abbasiyah yang didukung penduduk Kufah mulai meminggirkan bangsa Arab. Ibu kota negara pindah ke Anbar, lalu Baghdad didirikan dan menjadi ibu kota negara. Tapi konflik etnik tidak menyusut. Konflik antara Muslim keturunan Arab dan keturunan Persia meletus di mana-mana.
Untuk menguatkan posisi pemerintahan di masa al-Mu’tashim, kekuatan baru dibangun, yaitu pasukan keturunan budak dari Turki (ghilman). Al-Mu’tashim kemudian mencari dan memobilisasi mereka dari berbagai penjuru kota. Lantas ibu kota negara dipindahkan dari Baghdad ke kota Samarra. Di kota inilah pasukan al-Mu’tashim dari orang-orang Turki berkuasa. Maka, muncul poros kekuatan baru (baca: Al-Mu’tashim Billah: Khalifah yang Mengangkat Kristen sebagai Menteri)
Sejak para Jenderal Turki berkuasa, sesungguhnya Dinasti Abbasiyah sudah habis. Para khalifah berikutnya dikontrol oleh para Jenderal Turki. Siapa yang berkuasa dan siapa yang harus diturunkan (termasuk lewat pembunuhan) ditentukan oleh para Jenderal Turki. Terbunuhnya al-Mutawakkil dan al-Muntashir semuanya karena konspirasi para Jenderal Turki.
Konflik etnik dan daerah pada masa silam itu sayangnya memicu kabar hoaks yang dinisbatkan kepada Rasulullah mengenai keutamaan bangsa ABC dan kota ini-itu, serta kejelekan atau kehancuran bangsa XYZ dan kota-kota lainnya. Sebagian ulama ada yang percaya dan mensahihkannya, dan sebagian lagi, seperti Ibn Qayyim dan Yusuf Qardhawi, menganggap sejumlah riwayat itu lemah atau palsu. Saran saya, riwayat hadits semacam ini harus dibaca dengan kritis serta “melek” sejarah dan politik masa silam.
Cukuplah bagi kita memegang pesan Rasulullah dalam khutbah perpisahannya:
Dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku orang yang pernah mendengar khutbah Rasulullah SAW di tengah-tengah hari tasyriq, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (maksudnya Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada kelebihan bagi orang arab atas orang ajam (non-Arab) dan bagi orang ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?” Mereka menjawab: Iya, benar Rasulullah SAW telah menyampaikan.” (Musnad Ahmad, Hadits nomor 2231, yang perawinya dinyatakan sahih dalam Kitab Majma’ Zawaid, 3/266).
Jadi, sebenarnya konflik antaretnik di masa khilafah zaman old itu bertentangan dengan pesan Rasulullah. Kebanggaan etnik dan kedaerahan adalah sisa-sisa jahiliyah. Tegas Rasul bersabda menyatakan tidak ada kelebihan bangsa Arab dari bangsa lain, begitu juga sebaliknya. Ketakwaan di sisi Allah yang menjadi ukuran.
Kembali ke kisah pemilihan pengganti Khalifah al-Muntashir. Pilihan yang tersisa bagi para Jenderal Turki adalah mengangkat anak al-Mu’tashim, yaitu al-Musta’in, sebagai Khalifah keduabelas dari Dinasti Abbasiyah. Demikian Imam Thabari mengisahkan proses pemilhan ini.
Berarti al-Mu’tashim ini adalah paman dari al-Muntashir, khalifah kesebelas, yang digantikannya, dan saudara kandung dari al-Mutawakkil, khalifah kesepuluh. Itu artinya, para Jenderal Turki tetap mengambil dari keluarga Abbasiyah, hanya saja mereka yang berkuasa memilih siapa yang akan naik jadi khalifah. Rakyat sama sekali tidak terlibat.
Abul Abbas Ahmad Al-Musta’in Billah, berusia sekitar 27 tahun, saat diangkat sebagai khalifah. Diapit dua Jenderal Turki yang sangat berkuasa, yaitu Bugha dan Washif, al-Musta’in seolah menjadi boneka saja. Imam Suyuthi menuliskan syair di bawah ini yang menggambarkan bagaimana kekuasaan al-Musta’in saat itu:
خليفة في قفص … بين وصيف وبغا
يقول ما قالا له … كما تقول الببغا
“Seorang Khalifah dalam sangkar
Di antara Washif dan Bugha
Dia hanya mengulang apa yang mereka katakan
Sebagaimana kata-kata burung beo”
Struktur militer Turki mengikuti struktur pemerintahan khalifah, dan dikuasai turun temurun, sehingga tampak mereka seperti pemilik kekuasaan yang real (nyata). Sementara kekuasaan khalifah merupakan kekuasaan yang sah tapi tidak nyata. Alias cuma di atas kertas.
Al-Musta’in menerima bai’at pada 9 Juni 862 Masehi. Tapi ada insiden luar biasa saat proses ba’iat di depan publik itu dilangsungkan. Sekitar seribu orang pendukung al-Mu’tazz protes. Mereka meneriakkan nama al-Mu’tazz dan tidak menerima pengangkatan al-Musta’in. Maka, semenjak hari pertama kekuasaannya, al-Musta’in sudah digoyang oleh pendukung al-Mu’tazz.
Imam Thabari mengisahkan pendukung al-Mu’tazz meneriakkan takbir dalam keributan ini. Sejumlah tawanan di penjara berhasil kabur. Para pedagang pendukung al-Mu’tazz berhasil merampas sejumlah senjata milik pasukan pemerintah. Korban berjatuhan dalam kerusuhan ini.
Jenderal Bugha kemudian memburu al-Mu’tazz dan saudaranya, al-Mu’ayyad. Hampir saja keduanya dibunuh Bugha, tetapi Ahmad bin al-Khasib (sekretaris khalifah) melakukan intervensi dan membujuk Bugha untuk cukup memenjarakan al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad, dengan alasan keduanya tidak terlibat langsung dalam kerusuhan di atas. Keputusan hanya memenjarakan ini berimplikasi panjang di kemudian hari.
Yang menjadi Wazir adalah Utamisy. Al-Musta’in mempercayakan keuangan negara kepada tiga orang, yaitu Utamisy, kemudian Syahak al-Khadim (kepala rumah tangga istana). Kedua orang ini diberi wewenang untuk melakukan apa saja mengenai keuangan negara. Orang ketiga yang berpengaruh masalah finansial ini adalah ibu dari Khalifah al-Musta’in sendiri, yang lewat sekretarisnya, Salamah bin Sa’id (orang Nasrani), meminta apa saja dari Baitul Mal, dan Khalifah selalu menyetujui keinginan ibunya dengan menggunakan uang negara.
Satu-satunya pengawas keuangan negara adalah anak Khalifah bernama al-Abbas. Celakanya, al-Abbas ini juga seenaknya menggunakan sisa uang negara yang sudah dipakai ketiga orang di atas. Korupsi begitu nyata. Jadi, kalau zaman now ada yang teriak-teriak “jualan” bahwa satu-satunya solusi terhadap persoalan korupsi adalah ditegakkannya kembali khilafah, ya cukup kita kasih senyum manis dan kita tinggal masuk kamar untuk bobo cantik.
Para Jenderal Turki menjadi marah ketika keuangan negara berkurang drastis dikorupsi Utamisy, sang Perdana Menteri. Padahal militer membutuhkan uang untuk menggaji pasukan dan membiayai ekspedisi mereka. Akhirnya mereka mengepung Utamisy yang bersembunyi sampai dua hari di dalam istana. Khalifah al-Musta’in melihat kemarahan militer, dan beliau tidak bisa melindungi Utamisy. Akhirnya pada hari ketiga, tepatnya pada 6 Juni 863 Masehi, Utamisy dan sekretarisnya dibunuh militer.
Pada tahun berikutnya (864 M) Khalifah al-Musta’in menghadapi pemberontakan dari Hasan Bin Zayd, yang merupakan keturunan Sayidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan berlangsung di daerah Tabaristan. Belakangan Hasan diangkat sebagai Emir dari Dinasti Zaydiyah. Imam Thabari menceritakan dengan detail pemberontakan ini. Pemberontakan ini gagal dipadamkan dengan tuntas oleh pasukan al-Musta’in.
Terdapat pula konflik sesama Jenderal Turki. Salah seorang yang terlibat membunuh Khalifah al-Mutawakkil adalah Jenderal Baghar. Dia mendapat gaji dan fasilitas mewah atas jasanya itu. Suatu saat dia kesal dengan Dulayl bin Ya’qub, seorang Kristen yang menjadi sekretaris Jenderal Bugha. Baghar yang dalam keadaan mabuk meminta Bugha untuk membunuh Dulayl. Bugha menjawab, “kalau kamu datang untuk membunuh anakku, aku tidak akan halangi. Tapi tidak bisa kamu membunuh Dulayl, karena urusan pasukanku ada di tangannya.” Jawaban ini membuat ketegangan semakin meningkat di antara kedua jenderal.
Pada saat yang sama, al-Musta’in yang tidak mengerti konflik internal militer malah hendak mempromosikan Baghar dan menggeser Bugha. Dulayl segera melapor ke Bugha, yang kemudian murka kepada Jenderal Washif. Nama belakangan ini menyangkal bahwa dia berada di belakang rencana mutasi Bugha. Akhirnya Bugha dan Washif menyusun rencana. Mereka mengaabarkan ke pasukannya bahwa Baghar hendak melawan Bugha dan Washif.
Baghar yang temperamen lantas mengumpulkan komandan pasukannya yang dulu telah bersumpah setia kepadanya saat mereka bersama-sama membunuh Khalifah al-Mutawakkil. Kali ini Baghar dan anak buahnya sepakat mau membunuh al-Musta’in.
Al-Musta’in mendengar plot tersebut dan memanggil Bugha dan Washif. Kata al-Musta’in, “kalian menjadikan aku sebagai Khalifah tanpa aku minta, dan kini kalian militer Turki hendak membunuhku?” Washif dan Bugha mengatakan mereka tidak terlibat dan tidak tahu menahu. Rencana Baghar bocor akibar mantan istrinya melapor kepada ibunda al-Musta’in. Maka, Al-Musta’in, Washif, dan Bugha mulai menyusun rencana menyingkirkan Baghar.
Baghar berhasil ditangkap. Tapi pasukannya marah, dan kemudian mengepung istana. Baghar kemudian dieksekusi, sementara al-Musta’in, Bugha, dan Washif bergerak ke Baghdad meninggalkan ibu kota Samarra dengan perahu. Pasukan Baghar masih mengepung istana. Komandan pasukan meminta mereka kembali ke barak, namun ditolak. Malah pasukan bergerak ke kediaman Dulayl dan menghancurkan rumahnya hingga rata dengan tanah. Harta dan koleksinya turut dihancurkan.
Walhasil, peta politik dengan cepat berubah. Penduduk Baghdad menyambut datangnya Khalifah al-Musta’in dan dua Jenderal Turkinya. Sementara pasukan militer Turki yang marah atas terbunuhnya Baghar membebaskan al-Mu’tazz dari tahanan dan memba’iatnya sebagai Khalifah. Militer telah terbelah dan kini umat Islam punya dua khalifah.
Bugha dan Washif mengirim pesan ke sejumlah komandan pasukan yang setia pada mereka di kota-kota lain untuk segera memasuki Baghdad dan bergabung bersama al-Musta’in.
Sementara itu, di Samarra, surat pernyataan ba’iat kepada al-Mu’tazz mulai diedarkan. Inilah politik. Al-Mu’tazz yang dulu dipaksa menulis surat pengunduran diri dari jalur suksesi, sekarang dinobatkan sebagai khalifah baru. Di ibu kota Samarra yang kini dikuasai al-Mu’tazz tersisa 500 ribu dinar. Kemudian mereka menyita kediaman ibunda al-Musta’in dan mendapatkan harta hampir satu juta dinar. Di kediaman Abbas, anak al-Musta’in, didapati 600 ribu dinar. Bayangkan harta yang dikorupsi lebih banyak ketimbang sisa harta negara.
Al-Musta’in kemudian mengirim surat kepada para gubernur dan mengatakan dia masih sebagai khalifah yang sah dan meminta mereka mengirimkan pajak ke Baghdad, bukan lagi ke Samarra. Kondisi semakin kacau balau ketika kedua putra Bugha yang sedang memimpin pasukan di kota lain malah bergabung dengan al-Mu’tazz.
Pada 24 Februari 865 Masehi, al-Mu’tazz mengirim saudaranya, Abu Ahmad bin al-Mutawakkil, memimpin pasukan untuk menyerang Baghdad. Pertempuran tak bisa dielakkan. Imam Thabari menceritakan dengan detail dan panjang lebar suasana pertempuran saat itu. Pada akhirnya, hampir setahun perang saudara, Bugha dan Washif membujuk al-Musta’in untuk mengundurkan diri sebagai khalifah.
Al-Musta’in resmi mundur dari khalifah pada 25 Januari 866 Masehi. Dia kemudian diasingkan di daerah al-Wasith bersama keluarga dan budak perempuannya. Sesuai kesepakatan, dia tidak akan diganggu. Namun demikian, pada Syawwal sekitar sembilan bulan kemudian, al-Musta’in yang sudah menjalani hidup sebagai rakyat biasa dibunuh atas perintah Khalifah al-Mu’tazz. Pembunuhnya bernama Sa’id bin Salih yang menerima hadiah 50 ribu dirham sebagai hadiah atas keberhasilannya membunuh al-Musta’in.
Dikabarkan bahwa al-Musta’in wafat berusia sekitar 31 tahun dan dia meminta izin untuk salat dua rakaat sebelum dibunuh Sa’id. Sa’id mengizinkan, namun saat al-Musta’in sujud di rakaat kedua, Sa’id tidak menungg lagi dang langsung memenggal kepala mantan khalifah ini.
Imam Thabari melaporkan ketika kepala al-Musta’in dibawa ke Khalifah al-Mu’tazz, sang khalifah sedang main catur. Al-Mu’tazz hanya mengatakan, “taruh di sana” dan meneruskan bermain catur. Percaturan politik di masa tiga khalifah Abbasiyah (al-Mutawakkil, al-Muntashir, dan al-Musta’in) sungguh mengiris hati. Ketiganya wafat dibunuh dalam perebutan kekuasaan. Ayah dibunuh Anak. Paman dibunuh keponakan.
Lantas, bagaimana kelangsungan pemerintahan al-Mu’tazz? Bagaimana dengan para Jenderal Militer Turki seperti Bugha dan Washif? Bagaimana pula dengan saudara kandung al-Mu’tazz, yaitu al-Mu’ayyad: apakah dia masih berada dalam jalur suksesi menggantikan al-Mu’tazz? Mohon maaf, kita harus menunggu pekan depan untuk melanjutkan ngaji sejarah politik Islam ini. Insya Allah.
Kolom terkait:
Al-Muntashir: Darah itu Merah, Wahai Khalifah!
Konspirasi Politik Anak yang Membunuh Khalifah Al-Mutawakkil
Surat untuk Khalifah Al-Watsiq: Pembunuh Ulama dan Pencinta Budak Pria
Khalifah Musa: Perselisihan Tragis Anak dan Ibu
Khalifah al-Amin bin Harun ar-Rasyid: Penyuka Sesama Jenis dan Pemicu Perang Saudara