Sudah menjadi isu menahun pro dan kontra eksploitasi perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia, terhadap sumber daya alam di Papua. Menelisik ke belakang, pada 1936 seorang penjelajah Belanda, Jean Jacque Dozy, bergabung dengan Nederlandsch Nieuw Guinee Petroleum Maatschappij (NNGPM), sebuah perusahaan asal Belanda untuk melakukan eksplorasi minyak dengan melakukan pendakian di gunung Papua.
Pendakian tersebut dilakukan setelah New York Times menerbitkan artikel mengenai gunung tembaga (Etsberg) di sepanjang pantai selatan pegunungan Papua. Setelah melakukan pendakian, ia kemudian melaporkan hasil eksplorasi tersebut ke NNGPM, yang saat itu merupakan cikal bakal Exxon Mobil dan Chevron yang kita kenal saat ini.
Memasuki era Perang Dunia II, laporan penemuan tersebut diabaikan dan hanya menumpuk sia-sia di perpusatakaan Belanda. Selang beberapa tahun, terjadi revolusi oleh rakyat Kuba yang dipimpin oleh Fidel Castro melawan rezim diktator Batista yang pada saat itu berkuasa dan dikenal memiliki hubungan erat dengan pemerintah Amerika, termasuk dalam bidang pertambangan. Pasca revolusi tersebut, Batista hengkang. Fidel Castro kemudian menasionalisasi seluruh perusahaan asing yang beroperasi di Kuba, termasuk Freeport Sulphur.
Singkat cerita, pasca “pengusiran” dari Kuba, para petinggi perusahaan melakukan pertemuan untuk membahas nasib perusahaan tambang tersebut ke depan. Jan Van Fruisen, seorang ahli pertambangan, memaparkan laporan berdebu tadi yang berisi informasi mengenai “ladang mineral tak lazim” kepada jajaran pimpinan Freeport kala itu.
Forbes Wilzon, direktur Freeport, tertarik dan kemudian melakukan peninjauan secara langsung. Ia sangat kagum dengan penemuan tersebut dan memperkirakan bahwa terdapat “mineral tak lazim” yang mengandung logam 40-50% biji besi, 3% tembaga, dan masih terdapat emas dan perak di dalamnya.
Melihat penemuan besar tersebut, ia melaporkannya kepada Presiden Freeport saat itu, Bob Hills. Hal ini menandai ketertarikan Freeport pada area mineral yang terletak di Papua tersebut. Freeport pada saat itu memperkirakan dibutuhkan modal sekitar US$60 juta untuk mengeksplorasi kawasan tersebut dan dalam 3 tahun modal investasi akan kembali. Laporan eksplorasi Papua tersebut sampai hari ini masih tersimpan rapi di National Archieve, sebuah lembaga independen yang menyimpan dokumen catatan sejarah di Amerika Serikat.
Sayangnya, Freeport tidak bisa langsung melanjutkan niatnya untuk menggarap proyek pertambangan tersebut. Hal ini diakibatkan oleh hubungan Indonesia dan Belanda yang sedang memanas akibat perebutan wilayah Irian Barat. Belum lagi keberpihakan John Fitzgerald Kennedy (JFK), Presiden Amerika saat itu, yang dianggap lebih memihak Indonesia.
Peristiwa penandatangan kontrak karya (KK) pun sebetulnya tidak lepas dari nuansa politis masa itu, ketika pemerintahan transisi di Irian Barat yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memegang kendali. Hal ini berlangsung dua tahun sebelum diadakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 untuk memutuskan apakah Papua akan bergabung dengan Indonesia atau Belanda.
Tepatnya 50 April 1967, kontrak bisnis untuk Freeport diberlakukan. Kontrak yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto tersebut memiliki masa berlaku 30 tahun dan bisa diperpanjang. Bisa dikatakan bahwa Pemerintah RI saat itu tidak memiliki kuasa untuk menolak terjadinya perjanjian yang merugikan dan menyesatkan sampai hari ini.
Renegosiasi Berjalan Alot
Memasuki tahun 2017, PTFI mulai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawannya. Hal ini menyikapi kebijakan renegosiasi yang dilakukan pemerintah mengenai bisnis pertambangan perusahaan, yakni tidak menerbitkan izin ekspor konsetrat yang dilanjutkan dengan penggantian status kontrak karya (KK) mejadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Status tersebut akan berdampak pada besaran pajak prevailing yang dapat berubah-ubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku pada umumnya dan kewajiban membuat smelter di wilayah Indonesia, menggunakan bahan baku dari Indonesia dan mengoptimalkan penyerapan pekerja dari Indonesia. Tuntutan lainnya termasuk divestasi saham sebesar 51% kepada pemerintah Indonesia. Hal ini jelas memberikan keuntungan yang lebih besar bagi rakyat Indonesia, khususnya rakyat Papua.
Namun, upaya pemerintah Indonesia melaksanakan Undang-Undang Mineral dan Batubara serta berdikari di atas kakinya sendiri menemukan jalan yang tidak mudah. Hal ini dikarenakan Freeport merasa keberatan dengan kebijakan tersebut, dengan dalih tidak memiliki kepastian financial dan keberlangsungan usaha.
Penolakan Freeport atas kebijakan tersebut ditandai dengan ancaman berupa PHK kepada karyawannya yang berjumlah puluhan ribu orang serta mengajukan tuntutan ke Arbitrase Internasional.
Rakyat Harus Turut Berperan
PT FI setidaknya memiliki 32.000 karyawan, baik karyawan tetap maupun karyawan lepas dari perusahaan kontraktor yang bekerja di area pertambangan di Tembagapura, Mimika, Papua. PT FI secara resmi menyatakan telah mengubah status 12 ribu dari total 32 ribu pekerjanya, dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak mulai pekan ini.
Freeport juga mengancam akan melakukan PHK sekitar 10 persen pekerjanya. Hal ini merupakan respons Freeport terhadap kebijakan renegosiasi kontrak yang sedang berlangsung, terhitung dari tahun 2014 lalu sampai tahun ini. Dampak ancaman PT FI tersebut tidak bisa dianggap main-main.
Pada poin pertama menyoal PHK massal saja, yang dibuktikan pada tahun 2017 ini, diperkirakan akan menimbulkan instabilitas ekonomi di Timika dan Papua. Hal ini tentu perlu dipahami sebagai permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini dan membutuhkan dukungan dari berbagai elemen, termasuk rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Dalam konteks wilayah Timika dan Papua sendiri, tokoh masyarakat dan kepala suku setempat diharapkan turut andil dalam menghadapi kondisi instabilitas tersebut. Yang harus dipahami bersama, kebijakan yang sedang diperjuangkan pemerintah adalah perjuangan kita semua sebagai satu bangsa Indonesia, tanpa pandang suku, agama, ras, dan preferensi politik.
Sementara pada poin kedua menyoal gugatan yang kabarnya akan dilayangkan PT FI kepada Arbitrase Internasional, mengutip Muhammad Said Didu dalam 100 tweet menyoal #SimalakamaFreeport, diperkirakan tuntutan yang diajukan mencapai Rp 500 triliun. Melihat kenyataan tersebut, kita tidak perlu berkecil hati. Peluang menang masih ada apabila kita berkaca pada kasus Venezuela, yang pada tahun 2012 dapat memenangkan gugatan yang dilayangkan oleh Exxon Mobil. Meskipun kasus dan permasalahan yang dialami berbeda, ada misi yang sama untuk berdikari sebagai sebuah bangsa. Semangat Venezuela dalam hal ini patut kita teladani.
Melihat keadaan tersebut, masihkah kita berdiam diri dan sibuk dalam hiruk pikuk kehidupan nyaman kita dan nostalgia pasca pesta pilkada serentak? Mari sama-sama kita bela Pemerintah RI melawan Freeport untuk melanjutkan kebijakan renegosiasi yang sedang berlangsung hingga saat ini.
Mari para elemen bangsa, buruh, mahasiswa, ulama, dan lainnya bersatu! Bila perlu kita adakan aksi massa untuk menunjukkan dukungan kita di titik-titik seperti Monas dan Kedutaan Besar Amerika. Sepakat?
Baca juga: