Selasa, April 23, 2024

Aksi Bela Islam dan Kegagalan Partai Islam

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta

KH M Arifin Ilham memimpi doa dan dzikir dalam Aksi Bela Islam III di Monas Jakarta pada Jum'at (2/12/16) (Bela Qur'an-fb
KH M Arifin Ilham memimpin doa dan dzikir dalam Aksi Bela Islam III di Monas, Jakarta, pada Jum’at (2/12/16) [Foto: Bela Qur’an-fb]
Kontroversi penistaan agama dengan tersangka bakal calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah membuka mata kita tentang kegagalan partai Islam dan munculnya kelompok pengajian hasil revolusi media sosial yang mengangkat pamor tokoh-tokoh Islam generasi baru di Indonesia. Ini menunjukkan, alih-alih memimpin, partai-partai Islam justru ikut dalam pusaran. Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera justru terlibat dalam arus jalanan ketimbang mengalirkan aspirasi kalangan Muslim Indonesia ke saluran demokrasi formal.

Rangkaian aksi sejak Oktober hingga Desember juga memperlihatkan dominasi pengaruh tokoh-tokoh Islam generasi baru yang tidak hanya mampu menggerakkan kelas bawah, tetapi juga mampu merebut hati kelas menengah Muslim. Fenomena ini terjadi karena partai Islam tidak dipandang sebagai tempat saluran inspirasi Muslim Indonesia.

Manuver yang Mengecewekan

PKB, PKS, PPP, dan PAN dipandang tidak ada bedanya dengan partai nasionalis lainnya, yang senang dengan politik transaksional ketimbang mengusung ideologi Islam. Dalam Pilkada Jakarta, misalnya, mereka tidak satu suara menyodorkan calon, malah “mengekor” partai nasionalis. Ketika PKB dan PAN dianggap sebagai “normal” jika tidak mengusung ideologi Islam, sorotan tajam tertuju pada PPP dan PKS.

PPP yang merapat ke kubu Ahok dipandang sebagai “pengkhianatan”, karena partai itu yang berbasis kalangan Islam tradisional. Djan Faridz dipandang melakukan politik transaksional untuk mengimbangi manuver kubu Muhammad Romahurmuzy yang berpihak ke Agus Harimurti Yudhoyono.

Ada juga sinyalemen bahwa keputusan PPP merapat ke kubu Ahok-Jarot adalah untuk memperbaiki “benang-benang silaturahmi” yang sempat tegang akibat partai Kabah itu memihak Prabowo ketika Pemilu 2014 dan merapat ke pemerintahan. Citra ini yang dipandang makin menjauhkan PPP dari pendukung tradisionalnya.

Krisis kepercayaan juga terjadi di tubuh PKS. Partai ini tadinya ketika lahir sangat diharapkan menjadi sarana aspirasi Muslim Indonesia dalam menciptakan masyarakat madaniah yang bersih dan mengusung sistem demokrasi yang bernuansa Islam. Namun, citra itu jatuh hancur lebur setelah pemimpinnya korupsi. Partai itu juga makin menjauh dari citranya “membela Islam” ketika ia justru mendukung calon non-Muslim menjadi pemimpin di daerah yang mayoritas Muslim.

Manuver PPP dan PKS mengecewakan pendukungnya yang memandang semua itu sebagai sebuah kemunafikan. Akibatnya, kalangan menengah Muslim yang dahulunya mendukung PKS, atau paling tidak menggunakan partai ini sebagai “simbol keislaman”, perlahan meninggalkan partai itu.

Hal yang sama juga dilakukan oleh pendukung PPP. Setidaknya ini terlihat dari aksi “long march” Ciamis anti-Ahok yang digerakkan oleh sejumlah ulama kondang di sana. Padahal selama ini Ciamis dan Tasikmalaya menjadi kantong pendukung tradisional PPP.

Tokoh Islam Generasi Baru
Dalam mencari “identitas Muslim yang baru”, perjalanan kalangan menengah atas Muslim sampai pada kehadiran para tokoh Islam generasi baru. Para tokoh ini mengajarkan ber-Islam secara kaffah, menawarkan pemuliaan diri lewat dzikir dan tausiyah yang intinya mengajak “kembali ke Islam yang sebenarnya”, yang cenderung konservatif ketimbang inklusif .

Di antara banyak cirinya, salah satu yang paling khas adalah pendirian teguh yang tidak bisa diganggu gugat bahwa tidak ada peluang sedikit pun bagi non-Muslim untuk menjadi pemimpin Muslim. Yang berpendirian lain adalah kalangan liberal, penista Islam atau kaum munafik. Dalam konteks Pilkada Jakarta, bahkan muncul slogan “belum Islam kalau tidak anti-Ahok.

Gagasan “kembali ke Islam yang sebenarnya” yang kerap dituduh sebagai “aliran Wahabi” —padahal tuduhan itu harus dibuktikan—ditangkap dengan antusias oleh mereka yang kecewa dengan partai-partai Islam. Sementara itu, sejauh pengamatan, kalangan menengah Muslim yang berduit ini sangat risau dengan pengaruh Barat, masalah moral serta pendidikan agama anak-anak mereka. Untuk itu, mereka mencari referensi baru untuk menemukan kembali identitas keislaman mereka.

Melalui tokoh-tokoh Islam generasi baru inilah, mereka mendapat pencerahan dan sandaran baru “simbol ketakwaan dan keislaman”. Inilah juga yang mungkin bisa menjelaskan mengapa kalangan Muslim menengah ke atas tumpah ruah ikut aksi 411 dan 212. Aliran dana dan sumbangan mengalir deras.

Pertemuan antara keduanya berlangsung berkat media elektronik dan media sosial. Tokoh-tokoh ini populer berkat media televisi yang mengangkat mereka ke permukaan. Tayangan rohani Islam selalu berada di rating tertinggi hingga mendatangkan iklan. Mereka yang tampil di televisi antara lain Arifin Ilham, Bachtiar Nasir, dan penceramah televisi lainnya, termasuk Abdullah Gymnastiar yang muncul belakangan.

Popularitas mereka di televisi juga ditangkap dengan baik oleh sejumlah pengelola radio, seperti jaringan Radio Islam Dakta dan Radio Roja yang memiliki ratusan ribu pendengar.

Kelas Islam Menengah dan Media Sosial Islam

Keberhasilan tokoh Islam generasi baru ini meraih simpati Muslim kelas atas tidak terlepas dari tim manajemen mereka yang sangat paham bahwa media sosial adalah sarana dakwah yang dampaknya mahadahsyat. Mereka rajin membuat video streaming para tokoh ini, menyebarkan kultum lewat twitter, instagram serta membuat fanpage dan website yang menarik banyak pengikut, termasuk dari kelas menengah yang memang sangat melek informasi dan teknologi (IT) dan media sosial.

Kesamaan platform ini yang mengantar sejumlah tokoh Islam sebagai “guru pembimbing Islam” kalangan menengah atas. Hal yang tidak boleh dilupakan bahwa usia para tokoh Islam generasi baru ini sama dengan mereka yang menduduki jabatan manajerial. Hubungan tokoh Islam generasi baru dengan para pengikutnya lebih bernuansakan hubungan kakak-adik ketimbang ulama dan pengikut. Jadi, semuanya klop, mengisi satu sama lain.

Bachtiar Nasir, misalnya, dikenal sebagai penceramah kelas menengah atas yang jemaahnya adalah para eksekutif dan mereka yang duduk di jajaran direksi. Tausiyah sering diadakan di hotel dan klub-klub mewah. Kursus pre wedding-nya seharga Rp 5,5 juta yang berlangsung di hotel bintang lima selalu fully booked.

Sementara itu, Abdullah Gymnastiar yang kembali tampil juga berhasil merangkul kaum kaya untuk mendirikan sekolah di Suriah. Bahkan tersiar kabar ada di antara tokoh ini yang sedang menggalang dana mendirikan televisi khusus Islam dan sudah punya modal awal Rp 2 miliar.

Gerakan Politik

Keberadaan tokoh-tokoh Islam yang masih berada di “usia matang dan sukses” perlahan “menggusur” popularitas ulama sepuh seperti KH Mustafa Bisri, KH Muhammad Quraish Shihab atau Buya Syafii Maarif.

Arifin Ilham, Bachtiar Nasir, Abdullah Gymnastiar, Khalid Basalamah, Yahya Zainul Maarif, dan tokoh Islam lainnya rajin tampil di sosial media dipastikan akan mewarnai perjalanan bangsa ini di masa mendatang. Mereka terbukti mampu meraih opini publik dengan bendera Islam kemudian menggerakkan pengikutnya yang besar dari berbagai kalangan baik, di dunia nyata maupun dunia maya. Mereka semuanya memanfaatkan media sosial semaksimal mungkin. Satu hal yang tidak dilakukan partai politik Islam, termasuk juga organisasi Islam lainnya, hingga mereka tertinggal.

Aksi 411 dan 212 bisa dipandang awal lembaran baru yang bersejarah bagi kelompok pengajian para tokoh Islam generasi baru tersebut. Mereka kini tidak lagi sekadar kumpulan halaqah, majelis dzikir atau kelompok pengajian rutin. Mereka sudah bersentuhan dengan politik dan itu akan sangat menarik untuk diamati ke mana mereka akan mengarahkan langkahnya. Apakah mereka akan menjadi kelompok penekan baru ataukah momentum 411 dan 212 justru menjadi awal sebuah gerakan sosial dalam mengentaskan kemiskinan umat.

Kita tidak tahu apakah partai-partai Islam yang kehilangan pamor itu nantinya terpaksa “harus menghamba” kepada mereka. Ataukah partai-partai itu punya cara lain mempertahankan eksistensi mereka di tengah jutaan massa Muslim generasi baru yang sangat cair ini.

Baca

Jum’atan Politik!

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.