Kabar soal Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengajukan gugatan cerai kepada istrinya, Veronica Tan, benar-benar membuat publik terkaget-kaget. Ada yang tidak percaya, ada pula yang sampai termehek-mehek mendengarnya. Akun twitter @AlbuqhariP nyetatus penuh pilu, “Serius kah pak Ahok gugat cerai Bu Vero. Sediiihh klo smpe benar”. @adiilucu juga senada, “Sedih bener liat berita pak ahok”. Kalau si @yopieyanuar berharap kabar itu hoax, “Satu-satunya kabar soal Ahok yang berharap ini cuma hoax ya ini”.
Soal pengajuan cerai ini memang telah dibenarkan pihak Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Surat tersebut tertulis dengan nomor perkara 10/Pdt.G/2018 tanggal 5 Januari 2018. Tidak hanya menggugat cerai istrinya, Ahok juga meminta hak asuh penuh atas ketiga anak mereka. Terkait alasan perceraiannya, sampai saat ini memang belum jelas. Kakak angkat Ahok, Nana Riwayatie, pun tidak memberi keterangan. Ia bilang hal itu adalah urusan keluarga.
Memang, cukup mengejutkan soal perceraian ini, mengingat selama ini Ahok terlihat mesra membina biduk rumah tangga dengan istrinya. Tapi begitulah hidup, kadang tak terprediksi apa yang akan terjadi. Makanya orang Jawa bilang: Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman. Maksudnya, jangan mudah terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut-kejut, jangan manja. Sebab, hidup kadang memang penuh kejutan.
Setali tiga uang dengan biduk rumah tangga mantan gubernur DKI ini, bahtera politik pun penuh teka-teki. Tak hanya Ahok yang diramaikan dengan isu gugat cerai, partai politik juga demikian adanya. Apalagi menghadapi pilkada serentak di 2018 ini, fenomena politik gugat cerai banyak dijumpai.
Lihat saja bagaimana nasib Ridwan Kamil yang begitu misterius di Pemilihan Gubernur Jawa Barat. Ia yang sejak semula didukung Golkar tiba-tiba saja dicerai oleh partai beringin tersebut. Perceraian ini ditandai dengan ditariknya rekomendasi pencalonannya sebagai calon gubernur di pilgub Jabar. Penarikan rekomendasi tersebut tertulis dalam surat yang diterbitkan Dewan Pimpinan Pusat Golkar pada 17 Desember 2017 silam.
Alasan Golkar menceraikan Kang Emil ini sepele, sebab Kang Emil tidak menjalankan isi surat Nomor: B-108/GOLKAR/XI/2017. Surat tersebut mewajibkan Emil segera menetapkan calon wakil gubernur di Pilkada 2018 dengan nama Daniel Mutaqien Syafiuddin. Namun sampai batas waktunya, Emil belum memutuskan calon Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Barat. Maka, Golkar akhirnya merekomendasikan duo Dedi, yakni Deddy Mizwar ditetapkan sebagai calon gubernur dan Dedi Mulyadi selaku calon wakil gubernur.
Tak hanya sampai di sini nasib Kang Emil. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga menceraikannya di injury time. Satu hari sebelum masa pendaftaran tanggal 8 Januari 2017, Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri memberi keputusan mengejutkan. Partai yang dipimpinnya menetapkan kader sendiri, yakni TB Hasanudin-Anton Charliyan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur yang akan bertarung di Pilgub Jabar. Otomatis Ridwan Kamil yang sebelumnya diusung pun diceraikan. Kang Emil akhirnya hanya mendapat sokongan dari empat partai, yakni PPP, PKB, Nasdem, dan Hanura.
Soal cerai-mencerai dalam perpolitikan ini memang sebuah dinamika. Tapi persoalannya menjadi lain ketika ada pihak yang merasa dirugikan. Hal ini yang dirasakan oleh Partai Demokrat. Sekjennya, Hinca Panjaitan, pada konferensi pers 3 Januari 2018 lalu bilang bahwa partainya mengalami kriminalisasi dalam sejumlah kasus. Di antara kasus tersebut juga soal perceraian pasangan calon.
Ia menunjuk kasus pilkada Kalimantan Timur di mana Demokrat sudah menyiapkan Wali Kota Balikpapan Syahrie Jaang berpasangan dengan Rizal Effendi untuk menjadi calon kepala daerah. Tetapi di tengah jalan, sebut Demokrat, salah satu parpol memaksa Syahrie bercerai dengan Rizal dan meminta berpasangan dengan Kapolda Kalimantan Timur Irjen Safaruddin. Meski akhirnya pasangan tersebut tetap berduet, tapi mereka diperiksa kepolisian daerah sebagai saksi dalam kasus dugaan pemerasan dan korupsi pengadaan lahan.
Demokrat juga menyebut perihal pilkada Papua. Pasangan calon yang didukung Demokrat dalam pilkada, Lucas Enembe dan Klemen Tinal, gubernur dan wakil gubernur petahana yang akan maju, kembali dipaksa bercerai. Lucas, kata pengurus Demokrat, dipaksa menerima wakil lain yang bukan atas kehendaknya pada kisaran Oktober 2017 lalu. Hal-hal inilah yang menurut Demokrat adalah upaya kriminalisasi terhadap partai. Soal benar atau tidaknya hal tersebut, masih debatable. Sebab, ada pula pihak yang menganggap bahwa semua itu hanya manuver politik.
Tapi apa pun itu, satu hal yang perlu menjadi catatan, bahwa ihwal cerai-mencerai ini memang merupakan dinamika kehidupan. Ahok berniat mencerai istrinya, sejumlah parpol mencerai calon yang semula akan diusungnya, semua harus dimaknai sebagai lahan pendewasaan. Yang tidak boleh terjadi adalah adanya upaya tidak fair dalam proses cerai-mencerai tersebut sehingga menimbulkan kegaduhan.
Kasus Bupati Banyuwangi Azwar Anas yang memilih bercerai dari partai pendukungnya, PKB dan PDIP, adalah contoh dari permainan yang tidak fair. Bukan Azwar-nya yang picik, tapi ia yang menjadi korban sehingga akhirnya memilih mundur dari pencalonanya sebagai wakil gubernur Jawa Timur.
Beredarnya foto-foto mirip Azwar bersama seorang perempuan di media sosial dinilai merupakan upaya kampanye hitam untuk meruntuhkan popularitas Azwar. Hal inilah yang disinyalir membuat Azwar Anas mengajukan surat pengunduran diri.
Apa yang dialami Azwar Anas, entah itu benar atau abu-abu, tentu tidak fair di tengah kontes demokrasi yang mengedepankan sportivitas. Kita khawatir kasus-kasus serupa, yakni kampanye hitam, juga bermunculan di pilkada-pilkada lain. Dampaknya tentu bukan sekadar cerai-mencerai parpol, tapi iklim demokrasi akan menjadi kotor. Kalau demokrasi tidak lagi bersih, bagaimana nantinya produk dari demokrasi tersebut?
Kolom terkait:
Perceraian Brangelina dan Dunia Simulakra