Ajaran agama menekankan keimanan, ritual peribadatan, dan moralitas. Sedangkan politik menekankan aturan main dalam perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara. Kedua aspek ini pada praktiknya menyatu. Terlebih dalam ajaran dan sejarah Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang tak terpisahkan.
Ini berbeda dari ajaran Kristen yang memisahkan antara hak gereja dan negara. Maka, dalam masyarakat Kristiani di Barat terjadi pemisahan jelas antara agama dan negara. Agama itu urusan pribadi. Negara tidak boleh intervensi. Negara melindungi dan mengatur seseorang sebagai warga negara, bukan penggembala umat yang beriman.
Jika ditarik pada sosok pembawanya, riwayat hidup Yesus dan Muhammad memang berbeda. Yesus diyakini kalah dan mati di tiang salib, sekalipun dalam tafsir iman Kristiani justru sebuah kemenangan bagi Yesus untuk mengalahkan dosa-dosa manusia sehingga Yesus disebut Juru Selamat dan Sang Penebus.
Sedangkan Muhammad justru mewariskan komunitas politik di Madinah. Jadi, ingatan kolektif umat Islam dan Kristen mengenai agama dan politik memang berbeda. Peran sosial politik yang dicontohkan oleh Yesus dan Muhammad tidaklah sama. Maka, ketika berbicara tentang hubungan agama dan politik, umat Kristiani akan memilih teori sekularisme.
Agama jangan dibawa-bawa pada ranah politik. Agama cukup sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral, baik dalam ranah individu maupun sosial. Namun, ini tidak berarti agama tidak memiliki pengaruh dalam proses politik. Misalnya saja Amerika Serikat, meskipun pemerintahannya selalu membela demokrasi dan hak asasi manusia, masih tidak terbayangkan seorang Muslim bisa terpilih sebagai presiden di sana hari ini. Jangankan Islam, dari kalangan Katolik pun berat.
Jadi, kalau di Indonesia isu agama masih muncul, itu wajar-wajar saja. Pertama, penduduk mayoritas warganya adalah Muslim. Kedua, dalam sejarah Islam, hubungan agama dan politik itu senantiasa menyatu, sekalipun hal ini juga menimbulkan problem politik sangat serius yang belum selesai.
Konflik dan perseteruan antar sesama dinasti Islam pun tak pernah surut, masih berkecamuk sampai hari ini. Terjadi perebutan politik dan kekuasaan yang dibumbui dan dicarikan legitimasinya dari agama. Contoh paling kasat mata adalah perseteruan antara sekutu Saudi Arabia dan sekutu Iran yang memiliki andil besar bagi munculnya konflik di Timur Tengah.
Keduanya mengaku sama-sama pembela Islam, namun berbeda agenda politiknya. Lebih parah lagi konflik Israel dan Palestina yang berbeda agama dan berbeda agenda politiknya.
Jadi, dalam dunia politik sesungguhnya tak ada yang terbebaskan dari pengaruh agama. Hanya saja formula peran dan keterlibatan agama dalam politik yang berbeda. Di AS, misalnya, berdasarkan penelitian sosial, masyarakatnya jauh lebih religius ketimbang Eropa. Pengaruh kekristenannya diekspresikan dalam penguatan etika publik dan pada pribadi-pribadi pejabat publik, bukan pada sistem maupun undang-undang kenegaraan. Maka, tidak dikenal istilah “Negara Kristen”.
Dalam masyarakat Islam, masih ada obsesi untuk mendirikan “negara Islam” dan kekhalifahan. Lalu ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits dijadikan rujukan untuk mendukung agendanya. Pendeknya, agama harus masuk pada ruang dan sistem politik dan kenegaraan. Karena masih kuatnya pengaruh simbol-simbol keagamaan terhadap politik, maka di dunia Islam, termasuk Indonesia, peran para ulama sangat signifikan dalam setiap pemilu.
Partai politik pun perlu menempelkan identitas keagamaan pada Anggaran Dasar atau logo partai politiknya, seperti gambar Ka’bah pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Menjadi problem ketika partai-partai keagamaan itu tidak berprestasi lalu kalah dalam pilkada atau pemilu serta tidak melahirkan politisi-negarawan yang andal.
Problem lainnya juga muncul ketika kader dari partai politik keagamaan itu gagal ketika mengemban jabatan publik. Jadi, sentimen agama sangat efektif untuk membangun solidaritas massa sesaat yang bersifat reaktif, bahkan radikal, namun seringkali gagal ketika para tokoh agama mengambil peran eksekutif melakukan pembangunan untuk memberikan pelayanan publik yang diharapkan konstituen.
Pendek kata, ambisi besar, kompetensi kecil. Celakanya, citra dan martabat agama lalu jadi ternoda karena hanya dijadikan alat atau batu loncatan untuk meraih kekuasaan semata.
Baca juga: