Sabtu, April 27, 2024

Polemik Injil dan Egoisnya Cara Beragama Kita

Dewi Praswida
Dewi Praswida
Persaudaraan Lintas Agama dan Jaringan GUSDURian Semarang

Injil berbahasa Minangkabau memang sudah tidak ada lagi di google playstore tetapi pembahasannya tak kunjung usai. Hal tersebut salah satunya karena turut dilaporkannya Dosen Universitas Indonesia, Ade Armando yang juga bersuara atas adanya penolakan injil berbahasa minang tersebut.

Ade, dilaporkan dengan dasar UU ITE dan dianggap telah melecehkan adat serta budaya Minangkabau akibat komentar atas ketidaksetujuannya terhadap apa yang dilakukan oleh gubernur Sumatera Barat (kompas.com, 11/06/2020).

Penerjemahan kitab suci kedalam berbagai bahasa bukanlah hal baru. Al-Qur’an, menurut Heri Ruslan (2012) dalam artikelnya yang berjudul Melacak Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an mengatakan bahwa pertama kali Al-Qur’an diterjemahkan kedalam bahasa Persia dan baru pada tahun 1936 terdapat terjemahan Al-Qur’an dalam 102 bahasa-bahasa di dunia dan untuk penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, menurut laman lajnah.kemenag.go.id (01/08/2012) pertama kali diedarkan pada 17 agustus 1965.

Lalu untuk Injil sendiri, mengutip dari laman sabda.org, pada tahun 1800 baru terdapat terjemahan kedalam 68 bahasa-bahasa di dunia kemudian tahun 1992 sudah terdapat 2018 bahasa yang memiliki terjemahan alkitab.

Dalam gereja Katolik, penerjemahan alkitab kedalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia mulai banyak dilakukan setelah adanya Konsili Vatikan II (1962-1965). Menurut salah satu Pastor Keuskupan Bandung, Pastor Sunu, Pr, penerjemahan alkitab tersebut tidak lain tujuannya agar semua orang Kristen lebih bisa mengerti dan memahami tentang kitab yang mereka yakini pun menurut saya tujuan penerjemahan Al-Qur’an juga tidak lain agar umat Islam lebih mudah dalam mengerti serta memahami firman-firman Tuhan yang disampaikan melalui kitab suci.

Penerjemahan kitab suci kedalam berbagai bahasa harusnya kita lihat sebagai sebuah bentuk adanya kemajuan peradaban dalam lingkup umat beragama. Kita tentunya tidak mengelakkan bahwa agama Kristen dan Islam bukanlah agama yang lahir di Indonesia sehingga penggunaan bahasa dalam kitab sucinya pun wajar kalau tidak berbahasa Indonesia tetapi, tentu juga kita tahu bahwa tidak semua pemeluk agama menguasai bahasa-bahasa asli kitab suci yang diimaninya sehingga penerjemahan kitab suci sesuai kaidah yang berlaku sangatlah diperlukan.

Sebenarnya penerjemahan pun belum cukup karena kita masih memerlukan lagi apa yang disebut tafsir untuk dapat menyelami lebih dalam dan komprehensif akan pesan-pesan didalam kitab suci.

Polemik injil berbahasa minangkabau yang salah satu alasannya didasarkan pada falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”boleh saja disebut sebagai masalah internal apabila memang terbukti melanggar adat istiadat minang yang apabila didasarkan pada falsafah tersebut tentu adat istiadat yang dimaksud adalah yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran islam. Tetapi, menerapkan syariat islam bukan berarti boleh meninggikan ego untuk tidak memberi ruang pada ajaran agama yang lain.

Bagaimanapun, diterapkannya syariat Islam di tanah minang tidak bisa kita lepaskan dari sejarah adanya perang padri dimana kelompok padri kala itu ingin mengajak masyarakat setempat yang belum beragama Islam untuk memeluk agama islam meskipun tidak dengan mudah masyarakat adat menerimanya.

Kajian sejarah ini sangat penting sehingga kita semua khususnya umat Islam dapat memahami bahwa agama islam yang hari ini tidak hanya dipeluk oleh masyarakat minang tapi juga oleh sebagian penduduk Indonesia prosesnya tidak ujug-ujug tetapi melalui penyebaran yang terserah bagaimana kita menamainya entah itu dakwah, pengajaran atau yang lain.

Baik Kristen maupun Islam, untuk diterima masyarakat Indonesia semuanya melalui proses pengajaran meskipun istilahnya berbeda-beda sehingga tidak elok untuk saling melemparkan tuduhan adanya kristenisasi maupun islamisasi karena pada kenyataannya kedua agama tersebut juga saling mensyiarkan ajaran agamanya.

Tidak ada yang salah dalam mensyiarkan ajaran agama karena semua agama mengajarkan kebaikan selama dilakukannya sesuai tata peraturan yang berlaku misalnya, adalah tidak mensyiarkan agama didepan orang yang sudah memeluk agama.

Penerjemahan kitab suci bisa saja menjadi sebuah media untuk mempermudah syiar agama tetapi tidak berarti kita boleh menuduh adanya upaya pemurtadan sebatas karena adanya kitab suci yang diterjemahkan tanpa bukti-bukti yang lebih konkrit. Mengkaitkan adanya aplikasi Injil berbahasa minang dengan Kristenisasi adalah suatu hal yang cukup berlebihan apalagi disisi lain juga terdapat banyak penerjemahan Al-Qur’an kedalam berbagai bahasa daerah tetapi masyarakat di daerah tersebut tidak merisaukan adanya Islamisasi.

Masyarakat khususnya yang memeluk agama islam seharusnya menjadi masyarakat yang lebih percaya diri karena dari segi jumlah saja mereka lebih banyak apalagi di beberapa daerah nilai-nilai islam ditetapkan sebagai falsafah yang selaras dengan adat istiadat setempat padahal biasanya nilai-nilai budaya dipertentangkan dengan agama.

Kita (umat islam) seharusnya belajar dari umat non-islam di Indonesia yang meskipun setiap hari mendengarkan adzan lima kali belum lagi kalau ada pengajian yang suaranya terdengar sampai rumah tetangga juga menyaksikan semaraknya berbagai perayaan hari besar agama islam tetapi hal-hal tersebut tidak menggoyahkan iman mereka tetapi justeru nampak mereka sering bersolidaritas untuk semakin menyemarakkan berbagai peringatan hari besar agama islam.

Kita (seluruh umat beragama) juga perlu belajar dari masyarakat minangkabau yang adat istiadatnya dapat selaras dengan nilai-nilai agama tanpa pertentangan. Tetapi, ada hal yang lebih penting untuk kita pelajari terkait polemik injil berbahasa minangkabau yakni kita harus belajar untuk tidak menjadi umat beragama yang egonya tinggi dimana agama kita boleh disyiarkan seluas-luasnya tanpa boleh diprasangkai buruk sedangkan agama orang lain dilarang untuk disyiarkan dengan selalu didakwa melakukan pemurtadan.

Meminjam istilah teman-teman Muhammadiyah, umat beragama hari ini harusnya menjadi umat beragama yang ‘berkemajuan’ tidak hanya dalam hal ibadah ritual namun juga sosial serta semakin mumpuni dalam penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan tersebut tidak akan tercapai kalau kita masih meributkan penerjemahan kitab suci yang sebenarnya tidak perlu diributkan.

Dewi Praswida
Dewi Praswida
Persaudaraan Lintas Agama dan Jaringan GUSDURian Semarang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.