Sabtu, April 27, 2024

Pilpres 2019 dan Relasi Habaib 212 – Nahdliyin

Ben Sohib
Ben Sohib
Penulis novel dan cerita pendek.

Pilpres 2019 akan menjadi kontestasi yang secara kental melibatkan unsur habaib dan nahdliyin. Hal itu berkaitan dengan dukungan Habib Rizieq Shihab (HRS) kepada Prabowo – Sandi dan posisi KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres mendampingi Jokowi.

Dukungan HRS kepada pasangan Prabowo – Sandi yang diumumkan secara resmi melalui Ijtma Ulama II di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, pada 16 September 2018 itu, meski tidak mengejutkan, merupakan satu fase penting dalam perjalanan politik sang Imam Besar yang akan cukup memengaruhi masa depan relasi sosio-kultural antara habaib, khususnya habaib 212, dan sebagian nahdliyin.

Dalam konteks ini, habaib 212 adalah sebutan bagi para habib pendukung HRS dan untuk membedakan dari habaib yang kontra, atau minimal tidak terafiliasi, dengan gerakan politik praktis HRS. Identifikasi seperti itu perlu dilakukan agar kita tidak menggeneralisasi komunitas habaib yang pada dasarnya beragam.

Upaya pemetaan semacam itu dibutuhkan bukan hanya untuk menangkal klaim politik pihak-pihak tertentu, tetapi juga menghindarkan habaib dari risiko polarisasi dengan nahdliyin, mengingat ada nama KH.Ma’ruf Amin, yang notabene seorang tokoh berpengaruh NU, di kubu lawan pasangan capres-cawapres yang didukung HRS.

Meski tentu saja HRS tidak mewakili seluruh habib, sulit dipungkiri bahwa pendiri FPI itu merupakan figur sangat menonjol dan berpengaruh di komunitas habaib. Akibatnya, publik kerap memandang ulama poitisi yang mamakai gelar Imam Besar itu, sebagai satu-satunya representasi habaib Indonesia.

Dengan demikian, perjuangan, keberhasilan, dan kegagalan politik praktis pada Pilpres 2019 yang sedang dan akan dijalankan HRS melawan Jokowi – KH. Ma’ruf Amin, sedikit banyak bakal memengaruhi relasi antara habaib dan nahdliyin pada masa-masa yang akan datang.

Meski pada masa lalu HRS memang sudah memiliki catatan permusuhan dengan tokoh NU (perang mulut antara dirinya dan Gus Dur serta ketegangan antara habaib pengurus FPI di daerah dan Banser/Ansor berkaitan dengan persoalan Ahmadiyah), dukungan HRS kepada pasangan Prabowo – Sandi melawan pasangan Jokowi – KH. Ma’ruf Amin, bisa menjadi titik berangkat kedua belah pihak menuju medan perseteruan yang lebih massif.

Kontestansi kekuasaan itu mau tidak mau akan menciptakan polarisasi antara habaib 212 di satu sisi, dengan sebagian nahdliyin di sisi lain. Meski secara resmi Rabithah Alawiyah sebagai ormas yang mewakili habaib, dan PBNU yang mewakili nahdlyinin, bersikap netral sesuai khitahnya, kuatnya tingkat representasi masing-masing tokoh, bisa jadi akan menyulitkan upaya kedua ormas Islam itu untuk menghindar dari terpaan bayangan posisi politik mereka.

Dan pagi-pagi, melalui pidato jarak jauhnya, HRS menyerukan kepada segenap umat Islam, semua habaib, dan ulama yang istikamah agar berjuang memenangkan pasangan Prabowo – Sandi. Dalam komunikasi politik, frasa ulama yang “istikamah” dalam seruan itu bisa terbaca sebagai antitesis dari ulama yang “tidak istikamah” yang berada di kubu lawan.

Maka tak heran jika kemudian dengan sigap KH. Ma’ruf Amin merespons dengan cara mempertanyakan kapasitas keulamaan orang-orang yang berkumpul dalam Ijtima Ulama II. Ketua Umum MUI yang baru saja mengundurkan diri dari Rais Aam PBNU itu, justru mengklaim bahwa kubunya didukung oleh 400 ulama “betulan”.

“Perang” antara HRS dan KH. Ma’ruf Amin sudah dimulai bahkan sebelum waktu kampanye tiba. Maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi kelak ketika masa kampanye mencapai puncaknya, apalagi ketika masing- masing mubalig mulai ikut memobilisasi umat.

Meski suara NU tidak tunggal, berkat wasilah pengaruh keulamaan KH. Ma’ruf Amin, dan beroperasinya mesin organisasi melalui jaringan patronase kiai dan pondok pesantren (plus mesin politik PKB), mayoritas kiai dan massa NU diperkirakan akan mendukung pasangan Jokowi – KH. Ma’ruf Amin.

Di sisi lain, habaib akan mudah diidentifikasi berada di kubu seberang; tempat berkumpulnya “musuh-musuh politik” nahdliyin seperti PKS, eks anggota HTI, dll, serta ustadz-ustadz berbasis massa perkotaan yang dianggap berseberangan serta memiliki jejak konflik dengan Ansor/Banser.

Dengan demikian, beriringan dengan memanasnya masa kampanye, perang ayat dan klaim keulamaan diperkirakan akan mengalami intensifikasi. Apalagi HRS juga menyerukan kepada para ulama dan dai agar menjadikan semua mimbar dakwah sebagai tempat berkampanye untuk memenangkan pasangan Prabowo – Sandi.

HRS meminta umat menjadikan rumah-rumah mereka sebagai posko pemenangan. Artinya, dengan motivasi agama, arus bawah didorong untuk menjadikan wilayah domestik mereka (dalam hal ini rumah tempat tinggal) sebagai basis – basis kampanye pemenangan Prabowo – Sandi. Gerakan-gerakan seperti itu boleh jadi kelak akan memancing reaksi serupa dari para kiai pendukung KH. Ma’ruf Amin.

Maka sangat mungkin, pada gilirannya, semua itu bakal berdampak pada kohesi sosial antara habaib 212 dan sebagian nahdliyin (yang pada dasarnya memiliki hubungan religi-kultural yang sangat kuat), baik di tingkat elite maupun akar rumput.

Tipologi Habaib

Sebelum kemunculan HRS, tidak ada catatan mengenai “konflik” antara habaib dan nahdliyin kecuali kasus individual Habib Husein al-Habsyi yang menyerukan penggulingan Gus Dur dari kursi kepresidenan, pada 2001.

Saat itu, seruan habib yang pernah mendekam di penjara selama 10 tahun dengan dakwaan terlibat peledakan candi Borobudur itu, ditentang oleh banyak habib lainnya. Di antaranya oleh sekumpulan habib yang tergabung dalam Forum Habib Jawa Timur.

Selain dinilai menyeret kehabiban ke dalam konflik kepentingan politik, Habib Husein al-Habsyi dianggap sebagai provokator yang ingin memisahkan habaib dari para kiai. Pernyataaan itu disampaikan oleh Habib Ali al-Haddad. Sementara, seorang anggota forum lainnya, Habib Achmad bin Zein al-Kaf, menegaskan bahwa sampai kapan pun habaib tidak akan terlibat dalam masalah politik.

Namun, reaksi penentangan yang sama tidak terjadi pada kasus HRS dan FPI-nya. Dengan kata lain, “gesekan” antara habaib dan nahdliyin itu, baru benar-benar terjadi sejak kemunculan HRS dengan FPI-nya. Sementara pada masa sebelumnya, secara harmonis mereka berbagi ruang sosial dan kultural yang sama, yaitu sebagai sesama penganut Aswaja dan tarekat tasawuf.

Penghormatan kepada keturunan Nabi yang mengakar dalam kultur NU dan persamaan akidah dan tradisi ritual, merupakan faktor-faktor yang merawat kedekatan habaib dengan nahdliyin sepanjang sejarah. Keserasian itu juga terjadi lantaran para habib sebelum HRS tidak menjalankan aktivisme politik yang mengemban agenda formalisasi Islam, melainkan dakwah akhlak semata.

Absennya habaib secara umum dari wilayah aktivisme politik itu, membuat mereka terhindar dari persilangan ideologis dengan NU sebagai sebuah organisasi besar yang memiliki sejarah panjang keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa politik di Indonesia.

Namun keadaan menjadi tidak lagi sama ketika sebagian habaib, di bawah komando HRS, tiba-tiba muncul menjadi kekuatan politik yang—celakanya—berdiri di kubu lawan.

NU, yang memosisikan dirinya sebagai ormas penjaga Islam tradisional warisan Walisongo (yang sebagian juga dipercaya sebagai keturunan habib) dari ancaman ideologi Islam modernis, sekarang melihat habaib 212 justru berada dalam barisan yang sama dengan para pengancam.

Dalam kesadaran kolektif nahdliyin mutakhir, Islam tradisional (dan tasawuf) yang mengandaikan persenyawaan dengan kebudayaan Nusantara sebagaimana yang diajarkan Walisongo, sedang digempur oleh arus ideologi Islam puritan yang datang dari Arab (baca: Saudi) dengan berbagai atributnya semacam celana di atas mata kaki, cadar, dll.

Tentu saja persoalannya bukan pada gaya busana dan penguatan simbol-simbol identitas semacam itu, melainkan pada tendensi intoleransi dan radikalisme yang turut menyusup di sela-sela kerangka pandangan dunia mereka.

Fenomena Arabisasi (baca: Saudisasi) dan merembesnya pengaruh Islam puritan, terutama pada kelas menengah perkotaan, dikhawatirkan akan menggerus Islam sufistik yang bercorak inklusif dan toleran.

NU merasa terpanggil dan berkepentingan untuk menjaga dan menguatkan eksistensi apa yang diformulasikan sebagai Islam wasathiyah (Islam moderat), konsep keberislaman yang menjunjung kedamaian sebagai implementasi nilai rahmatan lil alamin.

Upaya itu juga sebagai respons atas fenomena menguatnya arus radikalisme Islam pada beberapa dekade belakangan ini, yang kerap kali memunculkan aksi-aksi kekerasan berlatar belakang perbedaan pandangan keagamaan.

Moderasi Islam yang diperjuangkan, pada ukuran tertentu beririsan dengan ide kebangsaan NU, yaitu konsep keberislaman yang berupaya untuk tidak menegasikan keberadaan kebudayaan lokal dan hubbul wathan (semangat nasioanalisme).

Religiusitas yang lahir dari rahim akulturasi panjang antara kearifan lokal Nusantara dengan ajaran Islam yang dibawa oleh para sayyid dari Arab Hadrhamaut, India, Persia, dan Tiongkok (yang terlacak misalnya pada keberadaan tradisi pemukulan beduk di masjid) itu, terangkum dalam apa yang disebut sebagai “Islam Nusantara”.

Dari kacamata dikotomi tradisionalis – modernis, ancaman terhadap Islam washatiyah itu, terwujud dalam bentuk keberadaan partai dan ormas-ormas yang mengusung ide penegakan khalifah, syariah dan penghapusan praktek syirik serta bidah.

Dan apa yang dianggap praktek bidah dan syirik oleh kaum Islam modernis, seperti ziarah kubur, tahlil, maulid, dan bahkan beduk itu, sesungguhnya merupakan ritual yang dijalankan oleh Islam tradisionalis.

HRS sendiri, sebagaimana habib lainnya, tentu saja berangkat dari akar Islam tradisional, hanya saja tarikan Islam politik dan cita-cita “NKRI Bersyariah”, menyebabkan ia dan pengikutnya menjadi habaib yang berada dalam satu saf dengan kelompok Islam modernis.

Sesungguhnya ini merupakan sebuah fenomena yang tak biasa, bagaimana habaib yang secara natural berada dalam satu lokus dengan nahdliyin, tetapi justru mati-matian membela partai, ormas, dan ustadz-ustadz modernis yang secara teologis dan ideologis berseberangan dengan NU. Dan semua itu mengalami penebalan garis bawah dengan bergabungnya habaib 212 ke kubu Prabowo – Sandi yang dihuni oleh PKS dan kawan-kawan.

Namun, di luar arus utama habaib 212 itu, tentu saja ada beberapa figur habib lain yang layak dikemukakan dalam konstelasi relasi habaib – nahdliyin hari-hari ini.

Para habib yang meski memiliki preferensi politik berbeda-beda ini (dari yang apolitis hingga yang terang-terangan mendukung calon tertentu) disatukan oleh pola dakwah yang sejuk dan tidak memanggul misi politik formalisasi Islam. Titik persamaan berikutnya adalah keterlibatan dan hubungan baik mereka dengan NU. Di antara yang menonjol adalah Habib Jindan bin Novel. Pemimpin Yayasan al-Fachriyah, Tangerang, yang dikenal sebagai murid dekat Habib Umar bin Hafidz, Hadramaut, seorang ulama yang sangat disegani oleh habaib di Indonesia.

Sang ulama merupakan pengasuh pondok pesantren Darul Mustafa di Tarim, Hadramaut, sebuah lembaga pendidikan agama yang dikenal memiliki sanad (mata rantai keilmuan) yang sangat kuat dengan Tarekat Alawiyah (tasawuf yang dianut oleh habaib). Pendiri Majelis Rasullulah (Alm) Habib Munzir al-Musawa dan Habib Jindan bin Novel adalah dua dari ribuan muridnya yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Keduanya dikenal sangat menjauhi politik praktis sebagaimana yang diamanatkan oleh Tarekat Alawiyah dan dicontohkan oleh para salaf (pendahulu). Para habib alumni Darul Mustafa itu diingat dengan ceramah-ceramahnya yang sejuk dan perilakunya yang santun. Mereka berdakwah dengan lembut dan menghindari caci maki.

Para habaib murid Habib Umar bin Hafidz itu selalu berupaya membuka ruang dialog dengan semua pihak. Mereka percaya bahwa keburukan tidak bisa dibenahi dengan cara-cara yang buruk, termasuk dalam mengoreksi kesalahan pemerintah. Jika ulama hendak mengkritik penguasa, hendaknya disampaikan dengan cara-cara yang berakhlak.

“Islam tidak bisa dibela dengan caci-maki”. Kalimat itu antara lain yang sering disampaikan Habib Jindan bin Novel pada berbagai kesempatan, termasuk saat diundang berceramah memperingati Isra Miraj di Istana Bogor.

Lalu ada Habib Luthfi bin Yahya di Pekalongan. Habib yang memiliki basis massa besar ini merupakan Rais Aam sayap tarekat NU Jam’iyah Ahlul Thariqah al- Mu’tabarah an Nahdliyah. Melalui berbagai majelis dan tablig akbar, Habib Luthfi bin Yahya aktif melakukan upaya penangkalan arus Islam radikal.

Baik Habib Novel bin Jindan maupun Habib Luthfi bin Yahya dikenal memiliki kedekatan dengan kiai-kai NU serta Banser/Ansor di wilayahnya masing-masing.

Yang terakhir, dan yang paling unik, Prof. Quraish Shihab. Unik lantaran sebagai habib ahli tafsir tingkat dunia ia tidak pernah terlihat mengenakan sorban dan jubah. Ia juga tidak pernah dengan sengaja memakai gelar habib di depan namanya. Ulama yang sangat dihormati di Universitas al-Azhar ini lebih senang dipanggil ustadz saja, dengan alasan bahwa gelar habib terlampau mulia untuk dirinya. Mantan menteri agama ini juga menjalin hubungan yang sangat baik dengan kiai-kiai NU seperti KH. Maimun Zubair dan Gus Mus.

”Jaring Pengaman”

Meski kemunculan mereka di media massa tidak seheboh HRS, keberadaan ketiga habib di atas paling tidak bisa menjadi “jaring pengaman” bagi habaib dari upaya klaim dan generalisasi.

Selain netralitas Rabitah Alawiyah, kiprah habaib yang beragam itu dapat memberikan gambaran kepada arus bawah, bahwa perbedaan arah suara kedua kelompok (nahdliyin dan habaib) semestinya tidak dilihat sebagai persoalan primordial, melainkan sekadar perbedaan preferensi politik individual belaka.

Bukankah, terlepas dari sedikit atau banyak prosentasenya, tidak semua habaib mendukung Prabowo – Sandi sebagaimana tidak semua nahdliyin memilih Jokowi – KH. Ma’ruf Amin? Apalagi jika, misalnya, Yenny Wahid putri Gus Dur memutuskan bergabung dalam timses Prabowo – Sandi.

Alhasil, ikhtiar membentangkan peta konstelasi habaib yang lebih berwarna kepada publik itu, diharapkan akan menghindarkan habaib dari risiko sosial, baik yang disebabkan oleh sebuah kemenangan maupun kekalahan politik.

Sebab—meski kita belum tahu sejauh mana dukungan HRS kepada Prabowo – Sandi akan memengaruhi arus bawah—dampak dan risiko semacam itu sangat mungkin timbul dalam setiap kontestansi politik, apalagi setingkat pemilihan presiden.

Ben Sohib
Ben Sohib
Penulis novel dan cerita pendek.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.