Sabtu, April 20, 2024

“Pilkada Pandemi” dan Pertanyaan Soal Substansi Demokrasi

Dessy Mahadhe
Dessy Mahadhe
Ibu rumah tangga yang alumnus Ilmu Politik Universitas Andalas, Sumatera Barat

Pilkada sebagai sebuah proses politik di negara demokrasi adalah salah satu wujud terpenuhinya hak politik warga negara, selain terjadinya sirkulasi elite penguasa. Namun di sisi lain, pilkada dalam situasi pandemi Covid-19 yang belum mereda adalah pertaruhan bagi kesehatan warga negara.

Pilkada, menghendaki agar warga negara bergerak aktif untuk turut mengikuti semua tahapan Pilkada. Sedangkan situasi pandemi, menghendaki agar warga negara untuk pasif dan lebih banyak berdiam diri di rumah. Hal ini tentu menjadi dua hal yang bertolak belakang.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menyatakan kesiapannya untuk menyelenggarakan Pilkada. Sejumlah persiapan telah dilakukan mulai dari regulasi, sumber daya manusia, hingga anggaran. Begitu pun dengan kesiapan pelaksanaan proses Pilkada di bawah protokol kesehatan. Kesiapan itu bisa kita pantau setidaknya selama tahapan pemutakhiran data pemilih. KPU bisa melakukan kontrol terhadap petugas dalam melakukan pendataan pemilih, sehingga relatif bisa terhindar dari resiko terpapar virus.

Akan tetapi pada tahapan selanjutnya, masa pendaftaran bakal calon kepala daerah, sepertinya KPU dan Bawaslu mulai kehilangan kemampuannya dalam melakukan kontrol dan pengendalian terhadap pelaksanaan protokol kesehatan. Ini terlihat dengan banyaknya bakal calon kepala daerah, komisioner, beserta staf KPU yang dilaporkan terkonfirmasi positif Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia selama masa pendaftaran ini.

Hingga pertengahan bulan September 2020 ini, setidaknya tercatat ada 60 orang bakal calon kepala daerah yang terkonfirmasi positif Covid-19 dan ini tersebar di 21 provinsi di Indonesia. Selanjutnya juga tercatat sebanyak 92 orang penyelenggara Pilkada yang terkonfirmasi positif covid-19, termasuk Ketua KPU RI, Arief Budiman.

Angka itu dikhawatirkan dapat terus bertambah. PKPU No 6 tahun 2020 yang seyogyanya menjadi pedoman pelaksanaan Pilkada dalam protokol kesehatan sepertinya tidak cukup mempan mensiasati situasi. Wajar kemudian banyak desakan agar Pilkada kembali ditunda, meskipun hingga hari ini desakan tersebut sepertinya tidak akan digubris.

Lepas dari kemungkinan-kemungkinan ancaman biologis tersebut, tulisan ini ingin mendiskusikan apa ancaman demokrasi yang akan dihadapi pada masa-masa sebentar lagi.

Partisipasi dan Legitimasi Politik

Pilkada di masa pandemi ini tidak hanya mengancam keselamatan jiwa warga negara, akan tetapi juga bisa menjadi hambatan bagi substansi Pilkada itu sendiri. Misalnya, bagaimana penyelenggara pemilu mengambil keputusan jika kelak dua hingga tiga orang atau bahkan seluruh komisionernya terkonfirmasi positif Covid-19. Bukankah untuk mengambil suatu keputusan dalam sebuah rapat KPU, rapat harus disetujui atau dihadiri oleh tiga atau empat orang komisioner.

Pada Pemilu yang sudah-sudah, metode kampanye tatap muka dianggap menjadi metode yang paling efektif untuk mensosialisasikan visi misi, program kerja, dan yang meyakinkan pemilih. Pada tahapan kampanye, peserta pemilu akan berinteraksi dengan pemilih dan tentu saja kumpulan banyak orang tidak dapat dielakkan.

Melalui metode itu, komunikasi yang produktif dimungkinkan terjadi antara peserta dan pemilih. Rasanya tidak mungkin jika metode ini akan ditinggalkan begitu saja. Dalam kampanye terbuka ala new normal ini seperangkat aturan protokol kesehatan harus dipenuhi, seperti wajib masker, wajib jaga jarak, wajib mengikuti aturan kapasitas penggunaan ruangan yang bisa saja diawasi oleh penyelenggara Pilkada. Itupun dengan catatan, antusias masyarakat sama tingginya dengan masa-masa pemilu sebelum pandemi.

Kampanye secara virtual tentu saja menjadi pilihan yang lebih bijak untuk saat ini meski tidak mudah. Kalau kita lihat dari pengalaman sekolah daring yang telah dilaksanakan di Indonesia, kita bisa lihat persoalan-persoalan yang muncul. Bahwa tidak semua keluarga memiliki handphone, tidak semua keluarga mampu membeli kuota internet secara terus menerus.

Bahkan, tidak seluruh wilayah di Indonesia memiliki jaringan internet, kalau pun mereka tidak gagap teknologi. Untuk sekolah saja masyarakat susah untuk mengupayakannya. Apalagi hanya untuk mendengarkan orang untuk berkampanye. Ini artinya, akan terdapat banyak lapisan masyarakat, suka maupun tidak, terdiskriminasi dari proses pemilihan.

Lalu bagaimana jika situasi penyebaran virus covid-19 semakin parah. Hal ini tentu membuat pemilih makin enggan untuk datang ke TPS. Dalam situasi normal saja partisipasi politik cenderung menurun, apalagi di tengah pandemi seperti ini. Sekarang saja sudah terdengar letupan-letupan himbauan untuk boikot Pilkada. Jika ini terjadi maka partisipasi pemilih bisa jadi sangat rendah. Dengan partisipasi yang sangat rendah, lantas kemudian bagaimana dengan legitimasi politik calon terpilih?

Ancaman Politik Uang

Krisis kesehatan global yang melanda dunia ini otomatis berdampak terpuruknya ekonomi masyarakat. Aktifitas produksi dan bahkan konsumsi masyarakat melambat. Pengangguran kian bertambah sebagai konsekuensinya. Kondisi ekonomi seperti ini tentu menyumbangkan kondisi yang baik bagi suburnya praktik politik uang. Ketika sebelum pandemi saja politik uang tidak bisa dihindari, apalagi di tengah krisis seperti saat ini.

Uang sekecil apa pun jadi harapan bagi pemilih di tengah terpuruknya ekonomi keluarga mereka. Di duga akan ada banyak “pemilih-pemilih bayaran”. Artinya, makin menguatkan tesis bahwa warga negara tidak memilih untuk memenuhi hak politiknya akan tetapi memilih karena kebutuhan ekonomi sesaat.

Pilkada yang sukses tidak dapat dilihat hanya dari hasil akhir yang memperlihatkan terpilihnya salah satu calon yang berlaga. Akan tetapi Pilkada yang sukses harus dilihat dari semua tahapan yang dilaluinya dari awal hingga akhir.

Kita memiliki pengalaman buruk pada Pemilu 2019 silam, dengan hilangnya ratusan nyawa penyelenggara Pemilu akibat kelelahan. Harusnya pengalaman tersebut bisa menjadi pelajaran untuk kita semua, di tengah tantangan yang jauh lebih berat kali ini.

Jangan sampai Pilkada kembali mengancam keselamatan nyawa bukan hanya penyelenggara Pilkada akan tetapi juga calon kepala daerah, para pemilih, dan juga keluarga dari aktor-aktor Pilkada tersebut.

Lepas dari itu, substansi pilkada yang lahir dari partisipasi yang maksimal guna menghasilkan pimpinan daerah yang legitimate juga sama pentingnya bagi demokrasi. Jangan sampai kita membayar harga yang tidak sedikit hanya untuk Pilkada yang sia-sia.

Dessy Mahadhe
Dessy Mahadhe
Ibu rumah tangga yang alumnus Ilmu Politik Universitas Andalas, Sumatera Barat
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.