Pada pembukaan pidatonya di Paris, Presiden Joko Widodo menyatakan “Pemerintah yang saya pimpin, akan membangun Indonesia dengan memperhatikan lingkungan.” Pernyataan ini sangat normatif dan juga tidak begitu jelas. Frasa ‘memperhatikan lingkungan’ itu beragam tingkatannya, mulai dari apa yang dikenal sebagai greenwashing, light green/weak sustainability, hingga deep ecology/strong sustainability. Tingkatan mana yang sesungguhnya dirujuk oleh Presiden? Tak jelas benar.
Tetapi bila kemudian kita lihat kalimat terkait sifat perjanjian di Paris di bagian akhir pidato, yaitu “… ambisius, namun tidak menghambat pembangunan negara berkembang,” maka kita dapat menduga masih ada pemikiran bahwa bentuk upaya memerhatikan lingkungan sesungguhnya bisa bertentangan dengan pembangunan. Ini ditunjukkan dengan kata hubung ‘namun’. Oleh karena itu, sikap Pemerintah RI kemungkinan berada pada weak sustainability.
Bagian berikutnya dari pidato Presiden menyatakan, “Baru-baru ini, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan gambut. El Nino yang panas dan kering telah menyebabkan upaya penanggulangan menjadi sangat sulit, namun telah dapat diselesaikan. Penegakan hukum secara tegas dilakukan. Langkah prevensi telah disiapkan dan sebagian mulai implementasikan. Salah satunya dengan restorasi gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut.”
Dua kalimat pertama bersifat defensif. Walau tak menyalahkan siapa pun kecuali alam—yang diwakili oleh El Nino—Presiden juga tak meminta maaf dan mengakui kesalahan bangsa Indonesia. Narasi yang hendak dibangun dari awal memang hendak menyatakan bahwa Indonesia merupakan bagian dari solusi. “Sebagai salah satu negara pemilik hutan terbesar yang menjadi paru-paru dunia, Indonesia telah memilih untuk menjadi bagian dari solusi,” demikian yang dinyatakan pada bagian paling awal pidato.
Sikap ini, bagaimanapun, kuraang menunjukkan sensitivitas, karena kebakaran hutan dan lahan di Indonesia punya pengaruh sangat besar terhadap semakin tingginya emisi di dunia. Akan sangat elok kalau Presiden Jokowi berani meminta maaf. Presiden Barack Obama, sebagai perbandingan, menyatakan bahwa sebagai negara penghasil emisi terbesar kedua di dunia, Amerika Serikat bertanggung jawab untuk melakukan tindakan yang lebih dibandingkan dengan negara-negara lain. Sementara itu, Indonesia yang tahun ini emisinya diperkirakan melebihi negara mana pun tidak mengambil sikap yang jantan.
Tetapi, kalimat-kalimat berikutnya, tentang penegakan hukum serta langkah preventif dan restoratif, patut mendapatkan apresiasi. Tak ada jalan lain memang untuk memerbaiki kondisi lahan gambut, kecuali melalui jalan-jalan itu. Pengumuman tentang akan diresmikannya Badan Restorasi Gambut jelas akan disambut gembira oleh seluruh pihak, dan hal ini bisa mendatangkan bantuan luar negeri untuk mewujudkannya.
Selain itu, apresiasi juga pantas disematkan terhadap komitmen untuk melibatkan masyarakat, termasuk masyarakat adat, dalam langkah-langkah preventif dan restoratif itu.
Komitmen untuk Meningkatkan Emisi
Kalimat paling penting dari pidato itu tampaknya adalah “Untuk itu, Indonesia berkomitmen: menurunkan emisi sebesar 29% di bawah business as usual (BAU) pada tahun 2030, atau 41% dengan bantuan internasional.” Seperti telah dinyatakan oleh Greenpeace dan banyak pakar yang mengomentari Intended Nationally Determined Contributions (INDC) Indonesia itu, sesungguhnya komitmen itu mengecewakan.
Karena Indonesia telah menyatakan di berbagai forum pada tahun 2020 emisi Indonesia adalah 26% dari skenario BAU, dengan sumber daya sendiri. Ini berarti bahwa emisi Indonesia pada tahun itu diperkirakan akan mencapai 1.400an Gigaton setara karbondioksida. Sementara itu, Indonesia bukannya tidak mendapatkan bantuan luar negeri, sehingga seharusnya emisinya di tahun 2020 menjadi lebih rendah lagi, yaitu sekitar 1.100 Gigaton.
Kalau kemudian Indonesia menyatakan bahwa BAU 2030 adalah hampir mencapai 2.900 Gigaton dan memotongnya dengan 29% dengan sumber daya sendiri, maka hasilnya adalah 2050 Gigaton. Ini berarti Indonesia menjanjikan kenaikan emisi yang signifikan antara 2020 hingga 2030. Bukan penurunan!
Sangat penting juga untuk diingat bahwa ada berbagai data yang berseliweran tentang berapa sesungguhnya emisi Indonesia. Perhitungan resmi Pemerintah RI berbeda dengan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau World Resources Institute (WRI), misalnya. Hal ini, kalau Pemerintah RI ingin menunjukkan keseriusan, seharusnya diklarifikasi terlebih dahulu.
Pernyataan penurunan emisi 29% berarti Pemerintah RI lebih menekankan kontribusi Indonesia pada periode antara 2020-2030. Padahal, yang juga sangat penting dalam konteks membatasi kenaikan suhu agar menjadi tidak lebih dari 2 derajat Celsius di tahun 2100—dan menjadi salah satu perdebatan terpenting di COP21—ini adalah apa yang disebut sebagai enhanced action pre-2020. Aspek inilah yang tidak disebutkan dalam pidato Presiden. Padahal, tindakan mitigasi pra-2020 juga sangat penting dielaborasi, termasuk dalam kaitannya dengan dukungan pendanaan dari pihak asing.
Selain itu, sebagai salah satu negara penghasil emisi yang besar, bahkan mungkin yang terbesar di tahun 2015 ini, Indonesia sangat perlu menempatkan diri di negara-negara dengan target penurunan yang ambisius. Kepantasan ini yang sesungguhnya diharapkan oleh banyak negara lain, sehingga komentar-komentar minor banyak terlontar ketika dokumen INDC menyatakan hanya akan menurunkan emisi sebesar 29% dibandingkan BAU 2030. Setelah pernyataan komitmen itu dibuat, lalu Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan yang semakin membesar, sudah seharusnya komitmen tersebut diperbaiki.
Energi, Hutan, dan Maritim
Di bidang energi, Presiden menyatakan, “Pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif. Peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23% dari konsumsi energi nasional tahun 2025. Selain itu, pengolahan sampah menjadi sumber energi.” Tidak jelas benar apa yang disebut sebagai “sektor produktif” itu, dan ini bisa saja berarti sektor yang menggunakan tetap membuat atau menggunakan bentuk-bentuk energi yang tidak terbarukan. Pernyataan tentang bauran energi terbarukan sebesar 23% tetap berarti 77% energi yang kita pergunakan akan berasal dari fosil.
Lagi pula, pernyataan sumber energi terbarukan hingga 23%’ itu juga sumir. Pertama, karena dalam regulasi disebutkan EBT, energi baru dan terbarukan, yang bisa berarti tidak seluruhnya merupakan energi terbarukan. Fracking, sebagai misal, bisa dikatakan sebagai sumber energi baru, namun jelas tidak terbarukan.
Kedua, hingga sekarang hampir seluruh pakar energi menyatakan bahwa Pemerintah RI tidaklah menunjukkan keseriusan sama sekali terkait dengan pengembangan EBT. Dari 35 ribu megawatt (MW) pembangkit listrik yang hendak dibuat, jauh lebih banyak yang menggunakan batubara sebagai sumber energinya.
Hutan dan lahan adalah strategi penurunan emisi berikutnya. Presiden menyatakan, “Penerapan one map policy dan menetapkan moratorium serta review izin pemanfaatan lahan gambut, pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari.” Seluruhnya adalah komitmen yang baik dan diperlukan untuk penurunan emisi di sektor kehutanan. Namun, rehabilitasi hutan dan lahan gambut yang terbakar sebaiknya disebutkan lagi di bagian ini.
Moratorium dan review izin saja tidak akan mengembalikan kondisi ekosistem gambut. Akan jauh lebih ciamik bila dalam bagian ini Presiden mengungkapkan target-target rehabilitasi yang ambisius, namun tampak masuk akal untuk dicapai. Di bagian ini pula Presiden bisa mengundang negara-negara lain untuk berpartisipasi membantu Indonesia (dan dunia) untuk mengupayakan tidak terbakarnya lagi ekosistem gambut.
Dari dua bagian komitmen tersebut, pidato ini tampak kurang berani menjual kebijakan-kebijakan yang radikal. Strategi kokoh yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam pengurangan subsidi BBM yang selama ini telah disorot oleh komunitas internasional, dan mendapatkan dukungan yang luas, justru hanya dipaparkan seadanya. One map policy yang sangat penting dalam konteks pengelolaan lahan dan kawasan hutan dan ekosistem gambut tidak dielaborasi secara maksimal.
Komitmen yang terakhir, di bidang maritim, dinyatakan dengan kalimat yang irit, “Mengatasi perikanan ilegal dan perlindungan dan keanekaragaman hayati laut.” Kebanyakan orang akan menilai tak jelas benar apa yang hendak dilakukan itu dan hubungannya dengan mitigasi emisi. Perikanan ilegal memang bersifat destruktif, dan melindungi keanekaragaman hayati laut itu dilakukan dengan juga memastikan fungsi ekologis laut yang lain—termasuk sebagai carbon sink—terjaga. Tetapi akan lebih baik lagi bila tindakan-tindakan konkret dan langsung untuk mengelola sumber-sumber emisi yang terkait dengan kamaritiman bisa dinyatakan.
Bagian maritim ini juga belum berhasil mengkomunikasikan kerentanan Indonesia akibat perubahan iklim. Dengan 14 ribu pulau dan jutaan penduduk yang tinggal di pesisir, beserta wilayah yang beragam, Indonesia sangatlah rentan. Karenanya, adaptasi dan perhitungan loss and damage sesungguhnya menjadi sangat relevan untuk dikemukakan. Karena adaptasi hanya disebutkan sekali dalam naskah pidato, Indonesia kehilangan peluang untuk bisa menjadi pemimpin dalam menyuarakan pentingnya adaptasi, baik bagi Indonesia sendiri, maupun dalam konteks negara-negara kepulauan.
Kesimpulan
Presiden Jokowi seharusnya lebih berani menyatakan bahwa kejadian super-El Nino adalah bukti bahwa perubahan iklim sangat mengancam, karena menyebabkan kekeringan dan salah satu faktor penyebab meluasnya kebakaran hutan dan lahan yang sulit penanganannya. Karena itu, bagian pidato yang menyatakan “El Nino yang panas dan kering telah menyebabkan upaya penanggulangan menjadi sangat sulit, namun telah dapat diselesaikan” tampak terlampau naif. Pertama, karena ancamannya seharusnya bisa dielaborasi lebih baik.
Kedua, karena penanggulangan dampaknya—seluruh pihak di level global maupun nasional tahu—masih jauh dari selesai. Kalau saja bagian ini dielaborasi, maka ajakan kerja sama internasional dalam rehabilitasi akan lebih mudah disampaikan.
Walau ada banyak butir yang tegas dan bisa diapresiasi, sifat keseluruhan pidato masih normatif. Pidato Presiden Jokowi belum bisa memberi inspirasi untuk berbuat yang lebih dari apa yang sudah dijanjikan dalam INDC. Padahal, penting untuk diingat bahwa INDC kita dinilai oleh seluruh dunia sebagai tidak memadai. Tanggal 21 Oktober lalu, Climate Action Tracker menyatakan bahwa INDC kita statusnya “inadequate”. Pidato Presiden Jokowi bisa dikatakan hanya menguatkan posisi tersebut.
Mengomentari pidato Presiden Jokowi, Sonny Mumbunan dari Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (UI) menyimpulkan, “Walaupun mengandung pokok-pokok penting dan relevan, kita tentu berharap bahwa dalam sebuah forum sepenting COP21 ini pidato singkat tersebut seyogianya dapat membangun sebuah narasi yang khas tentang sumbangan Indonesia bagi dunia dalam menangani perubahan iklim.”
Sayangnya, narasi tersebut masih absen. Agaknya kita belum bisa berbangga diri dalam urusan yang satu ini.
* Kolom ini ditulis bersama Fabby Tumiwa (Paris), Reader on Energy Issues Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta