Enron, Short-Termism, dan Kepentingan Diri Sendiri
Di dunia manajemen, ada cerita sangat terkenal soal bagaimana sebuah perusahaan energi runtuh utamanya lantaran para komisaris tak menjalankan tugasnya dengan benar. Enron. Para komisaris di situ, atau dalam sistem satu kamar yang dianut AS disebut sebagai non-executive director, bukanlah orang-orang yang tak kapabel. Banyak di antara mereka adalah akademisi terkenal, namun mereka dilumpuhkan oleh ketidaktahuan atas apa yang terjadi di perusahaan.
Mereka percaya saja pada Kenneth Lay dan Jeffrey Skilling yang memimpin eksekutif. Lewat gaji dan fasilitas yang wah, dan terus meningkat, para komisarisnya dibuat menjadi nyaman dan percaya bahwa perusahaan terus mengalami kemajuan. Hingga akhirnya Enron, raksasa energi itu, bangkrut di tahun 2001.
Ketika persidangan digelar, barulah publik tahu bahwa hampir tak ada kerja pengawasan yang dilakukan para komisaris. Nasihat-nasihatnya juga normatif dan menunjukkan mereka sangat sedikit paham atas apa yang dilakukan eksekutifnya.
Cerita itu kembali nongol di benak saya ketika Basuki Tjahaja Purnama—dulu dikenal sebagai Ahok, dan di sini saya gunakan singkatan namanya, BTP—dinyatakan diangkat menjadi komisaris utama Pertamina. Bukan lantaran saya berpikir BTP akan menjadikan Pertamina seperti Enron, melainkan lantaran harapan agar Pertamina bisa menjadi benar-benar kokoh sebagai perusahaan energi Indonesia.
BTP mungkin punya banyak hal yang bisa dia tawarkan, dan lewat tulisan ini saya mau memberikan perspektif atas apa saja yang penting dia perhatikan.
Saya kerap diminta untuk bicara masalah tata kelola perusahaan, dan terutama kaitannya dengan keberlanjutan perusahaan. Jadi, saya sangat mendalami bagaimana peran dewan komisaris di dalam perusahaan. Kalau dewan komisaris melempem dalam melakukan pengawasan, maka tindakan direksi bisa jadi membahayakan perusahaan. Mereka bisa mengambil keputusan yang tampak menguntungkan perusahaan dalam jangka pendek, namun sesungguhnya tidak kompatibel dengan tujuan jangka panjangnya.
Mereka juga bisa mengambil keputusan yang menguntungkan mereka secara pribadi atau kelompok sekaligus merugikan perusahaan. Mencegah jangan sampai perusahaan dirugikan oleh keputusan miopik (hanya melihat dalam jarak dekat) atau bahkan yang menguntungkan pribadi-pribadi tertentu adalah bagian tanggung jawab pengawasan itu.
Keputusan miopik kerap diambil oleh para direksi, dan kerap juga didukung oleh para komisaris BUMN negeri ini. Terutama karena pertimbangan keuntungan buat diri sendiri. Bayangkan ketika perusahaan harus mengambil keputusan apakah akan berinvestasi besar untuk sebuah teknologi baru, yang akan membuat perusahaan itu tingkat keuntungannya menurun dalam jangka pendek, namun akan menguat mulai, katakanlah, 4 tahun kemudian.
Para pengambil keputusan kerap berpikir bahwa keputusan itu akan mereduksi peluang mereka untuk mendapatkan tantiem yang besar, lantaran sepanjang 3 tahun kinerja keuangan perusahaan tidak akan tampil kinclong.
Di sisi lain, para direksi dan komisaris tahu bahwa peluang mereka duduk di kursi jabatannya hanya 5 tahun atau bahkan kurang. Bagaimana kalau belum sempat memanen hasil yang ditanamnya kemudian dia tak lagi dipercaya? Akibatnya, para direksi, dengan dukungan komisaris, kerap mengambil keputusan yang lebih menguntungkan dirinya. Lebih baik perusahaan tampak baik dalam jangka pendek, mereka tampak berprestasi dan layak diganjar tantiem, daripada perusahaan tampak melambat gegara investasi besar yang dilakukan.
Bagaimana dengan peluang yang hilang gegara perusahaan tak berinvestasi di teknologi itu? “Itu urusan mereka yang menjabat setelah saya. Bukan urusan saya lagi.” Begitu jawaban “terkenal” dari seorang bekas menteri ketika menjabat komisaris sebuah BUMN besar. Sebuah sikap yang sangat tidak bertanggung jawab.
Short-termism adalah masalah besar di perusahaan-perusahaan. Dan jadi masalah yang lebih besar lagi di perusahaan yang komposisi direksi dan dewan komisarisnya cenderung diganti lebih cepat, seperti BUMN. Dibutuhkan komisaris yang berpandangan jauh ke depan dan tak takut diganti, kalau ingin memerangi penyakit ini.
Kalau komisarisnya cenderung sayang pada pekerjaan “mudah” dengan gaji besar dan potensi tantiem, tentu akan jadi mustahil dikikis. Komisaris yang demikian akan segendang sepenarian dengan direksi, dan pada akhirnya menjerumuskan perusahaan ke dalam situasi yang tidak menguntungkan. Dalam hal ini, agaknya BTP adalah pilihan yang tepat.
Urusan menguntungkan diri sendiri dan kelompok juga jadi godaan besar yang kerap tidak disadari para komisaris yang “polos”. Di BUMN yang jabatannya kerap diisi oleh mereka yang mendapat dukungan politis, hal ini sangat kerap terjadi. Apa sih yang diharapkan oleh partai yang menempatkan kadernya di BUMN? Kita sudah kerap mendengarnya: sebagian dari gaji dan tantiem masuk ke kas partai. Para komisaris juga kerap menjadi saluran proposal kegiatan ini dan itu, dengan harapan dibiayai oleh BUMN di mana kadernya ditempatkan. Tapi, bukan cuma itu.
Sebagai komisaris, rencana kerja dan anggaran biaya setahunan perusahaan pasti akan lewat depan matanya, jauh hari sebelum orang-orang lain tahu. Para komisaris tahu persis apa saja proyek yang bakal perusahaannya jalankan, berapa anggarannya, dan kontraktor seperti apa yang bakal menjalankannya.
Yang mereka “perlu” lakukan untuk “menolong” kelompoknya hanyalah membocorkan berapa owner’s estimate dari proyek-proyek itu kepada kelompoknya. Maka, kelompoknya itu akan menyusun anggaran (dan persyaratan lainnya) yang sangat dekat dengan owner’s estimate untuk kemudian berjaya mendapatkan proyek itu. Itulah “bantuan” besar yang paling diharapkan: informasi orang dalam.
Tata Kelola Perusahaan yang Baik
Lalu, apa yang kemudian bisa membuat seorang komisaris bisa menjalankan tugasnya dengan benar, atau bahkan hebat? Tentu, pertama-tama adalah belajar soal tugas-tugasnya dengan benar. Bukan “belajar” dari direksi yang ingin lolos dari pengawasan atau tak ingin mendapatkan nasihat yang membuat mereka bekerja di luar zona nyamannya. Dan ini artinya tugas pertama seorang komisaris adalah belajar soal tata kelola perusahaan yang baik, atau good corporate governance (GCG).
GCG ini punya banyak standar. BUMN punya standarnya sendiri, Indonesia juga punya standar yang dibuat oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang sudah berumur 13 tahun. Tapi, belajar keduanya itu tidak memadai.
Sejak tahun 2015 Indonesia sudah menjadi bagian dari ASEAN Economic Community dan salah satu konsekuensinya adalah keberlakuan ASEAN Corporate Governance Scorecard. Ini jarang disadari oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, sehingga dalam peringkat tata kelola perusahaan di antara anggota ASEAN, kita tertinggal jauh. Saya sangat menyarankan siapa pun yang menjadi komisaris, juga direktur, untuk belajar soal standar ini dengan sungguh-sungguh.
ASEAN Corporate Governance Scorecard ini diturunkan dari standar tata kelola perusahaan yang dibuat oleh OECD. OECD juga punya beragam dokumen tentang tata kelola perusahaan yang bermanfaat. Kalau kebetulan jadi komisaris di perusahaan yang melantai di bursa, tentu aturan tata kelola dari bursa itu juga wajib dipelajari. Termasuk bila melantai di lebih dari satu bursa, aturan-aturannya perlu dipahami. Detail pekerjaan komisaris ada di situ.
Catatan penting untuk BTP adalah bahwa Pertamina yang bukan perusahaan terbuka itu masih jauh standar tata kelolanya dibandingkan banyak BUMN lainnya. Kalau Pertamina kerap membanggakan skor tata kelolanya yang hampir menembus langit, itu lantaran standar yang dipergunakannya sesungguhnya bukanlah standar yang memadai.
Berikutnya, komisaris harus belajar soal seluruh regulasi yang berlaku untuk perusahaannya. Dan belajar soal regulasi ini sama sekali tidak mudah. Sepanjang pengetahuan saya, belum ada kompendium regulasi yang berlaku untuk, misalnya, industri tertentu. Sehingga, mereka yang ingin belajar secara sungguh-sungguh soal regulasi yang perlu dipatuhi akan mendapatinya sebagai pekerjaan yang “menarik”.
Sebagai komisaris, yang bertugas mengawasi dan memberi nasihat, mustahil bisa melakukannya dengan optimal bila tak paham batas-batas apa yang wajib, boleh dan tidak boleh dilakukan. Jadi, tugas “menarik” itu memang harus dijalani.
Saya sering mendapati orang-orang yang sudah bertahun-tahun menjadi komisaris punya pertanyaan-pertanyaan yang “aneh” lantaran tak paham standar GCG dan regulasi. Saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin mereka melakukan tugasnya bila hal-hal yang mendasar itu tak juga mereka kuasai. Dan satu hal lagi yang mendasar adalah soal bisnis inti perusahaan.
Terkait dengan itu, juga kerap saya mendengar pernyataan dan pertanyaan dari komisaris yang membuat trenyuh. Saya ingat pernah dipanel dalam sebuah seminar dengan komisaris bank BUMN yang punya banyak sekali pernyataan salah soal apa yang menjadi bisnis inti perbankan. Padahal, dia adalah seorang ekonom (makro) yang dahulu cukup terkenal.
Melongok Bisnis Inti Perusahaan
Belajar soal bisnis inti perusahaan ini bukan hal yang sederhana. Tentu, kalau mau gampangan, minta tolong dijelaskan dalam sebuah presentasi saja bisa membuat seorang komisaris paham. Tetapi, untuk bisa menjalankan pengawasan tentu pengetahuan di permukaan sama sekali tidak memadai. Seorang komisaris itu harus paham rantai nilai dari bisnisnya dengan terperinci dan mendalam. Mulai dari seluruh pasokan untuk perusahaan hingga konsumen akhirnya.
Ada banyak bacaan esensial yang tersedia untuk masing-masing industri, jadi seorang komisaris bisa mendalaminya sendiri lewat bacaan. Tetapi, ada banyak pula pakar industri bersangkutan yang bisa menjadi sumber informasi yang andal. Jadi, BTP perlu banyak berbincang-bincang dengan pakar industri migas dan energi secara keseluruhan.
Sumber informasi penting lainnya adalah perusahaan-perusahaan global yang dianggap terbaik di industrinya. Tentu, yang pertama harus dilakukan adalah mencari tahu perusahaan mana saja yang dianggap terbaik di industri tempat komisaris itu bekerja. Publikasi soal perusahaan-perusahaan seperti itu ada banyak. Baik yang dikeluarkan oleh perusahaan sendiri (website perusahaan yang progresif selalu penuh informasi dan inspirasi), maupun yang ditulis pihak ketiga yang independen dan kredibel.
Para pemimpin perusahaan yang paling progresif juga kerap ditanggap di seminar, dan kadang juga bicara di forum-forum yang direkam. YouTube banyak memberikan akses ke pemikiran para pemimpin industri ini.
Berikutnya, perlu segera membiasakan diri untuk mengetahui berita paling mutakhir dan tren industri di masa mendatang. Nasihat seorang komisaris seharusnya selalu disandarkan pada kepentingan perusahaan, dengan menimbang situasi mutakhir dan masa depan di level global, regional, nasional, dan lokal.
Sebagai bagian manajemen puncak, nasihat harus bersifat strategis, yang berarti tentang kondisi masa depan yang hendak dicapai, dan cara-cara mencapai kondisi itu, yang sesuai dengan kondisi mutakhir. Strategi adalah jembatan situasi sekarang dan masa depan yang diinginkan. BTP yang kosmopolitan agaknya tak akan kesulitan dalam soal ini.
Keberlanjutan Perusahaan, Keberlanjutan Dunia
Yang saya bisa nyatakan soal masa depan yang diinginkan adalah bahwa itu merupakan aspirasi bersama. Kita semua sudah merumuskan apa yang disebut sebagai Sustainable Development Goals atau SDGs yang hendak dicapai di tahun 2030. Dan, untuk mencapai itu, maka segala sumber daya harus dikerahkan, termasuk sumber daya perusahaan.
Saya tidak sedang berbicara masalah donasi perusahaan untuk mencapai SDGs, melainkan soal peluang buat perusahaan yang sungguh-sungguh mau mencapai keberlanjutan bisnisnya dan keberlanjutan secara luas. Kabar pentingnya: keduanya itu koheren, bukan saling bertentangan.
Laporan Better Business, Better World yang dikeluarkan oleh Business and Sustainable Development Commission (BSDC) pada awal 2017 menghitung bahwa upaya mencapai SDGs akan membuka peluang bisnis global sebesar US$12 triliun per tahun. Mengabaikan peluang sebesar itu tentu bukan keputusan bisnis yang cerdas. Apalagi, kalau kita tahu bahwa ada risiko besar bagi yang mengabaikannya.
Keberlanjutan perusahaan adalah konsep yang sudah lama dibincangkan para akademisi manajemen. Tetapi, beberapa tahun belakangan menjadi semakin kuat dan menarik lantaran bukti-bukti kuantitatif sudah tersedia dalam jumlah besar dan tak bisa disangkal lagi. Kalau dahulu para akademisi berselisih soal apakah memperhatikan aspek-aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social and governance) atau ESG itu perlu, lalu bergeser ke pertanyaan apakah itu menguntungkan, kini bukti-bukti semakin konklusif bahwa perusahaan dengan kinerja ESG yang tinggi adalah perusahaan yang tingkat keuntungannya juga tinggi.
Siapa pun bisa mencari artikel-artikel jurnal ilmiah yang menghubungkan kinerja keberlanjutan dan keuntungan perusahaan, dan mendapati bahwa semakin mutakhir penelitiannya, semakin kuat hubungan positif di antara keduanya.
Karenanya, menjadi komisaris artinya kemudian adalah belajar tentang SDGs, kaitannya dengan bisnis inti perusahaan (terutama dengan memperhatikan Tujuan-tujuan SDGs yang paling material untuk bisnis inti perusahaan), dan bagaimana pengelolaan isu-isu material itu bisa menurunkan ancaman serta mendatangkan peluang bagi perusahaan. Ini bukanlah wilayah yang mudah dipahami dengan membaca satu dua dokumen atau hadir dalam satu dua seminar. SDGs adalah fenomena yang relatif baru dan berkembang dengan sangat cepat.
Untungnya, gerakan keberlanjutan bisnis ini bukannya sebaru SDGs yang resmi berlaku pada 1 Januari 2016. Keberlanjutan bisnis sudah punya banyak pelajaran penting, dan SDGs bagaikan gong paling pentingnya. Maka, kalau kebetulan seseorang diangkat menjadi komisaris sebuah bank, maka ia bisa belajar soal perbankan berkelanjutan, atau yang lebih luas lagi, keuangan berkelanjutan.
Kalau ia diangkat menjadi komisaris perusahaan konstruksi, maka ia perlu belajar konstruksi berkelanjutan. Dan, tentu saja, kalau seseorang diangkat menjadi komisaris sebuah perusahaan energi, seperti BTP, maka yang ia perlu pelajari adalah soal energi berkelanjutan, alias terbarukan. Para komisaris akan segera belajar bahwa konvergensi antara keberlanjutan industri apa pun dengan SDGs sedang terjadi dalam kecepatan tinggi.
Urusan ini sangat penting bagi BTP yang kini akan mengawasi dan memberi nasihat kepada Pertamina. Pertamina itu trajektorinya hingga sekarang tidaklah menggambarkan kesadaran tentang pentingnya keberlanjutan. Migas adalah sektor yang seharusnya ditinggalkan lantaran emisi dari energi fosil adalah bahaya terbesar bagi dunia. Tetapi, meninggalkan sektor ini tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Indonesia tetap butuh energi untuk menopang pembangunannya, dan pada saat yang sama harus melakukan transisi menuju energi terbarukan secara adil dan mulus.
Pertamina punya sejumlah produksi gas, yang bisa menjadi energi antara dalam transisi menuju energi terbarukan. Pertamina juga sudah punya Lahendong, yang memasok energi bersih dari panas Bumi. BTP perlu bersiasat agar portofolio energi terbarukan Pertamina bisa naik selama di bawah supervisinya dan terus begitu hingga akhirnya terjadi dekarbonisasi penuh pada portofolio energi Pertamina.
BUMN dan Kepentingan yang Lebih Luas
Soal BUMN ini juga penting diperhatikan, lantaran BUMN adalah “binatang” yang spesial. Kalau ada yang masih memegang pendirian primitif bahwa satu-satunya tujuan perusahaan adalah menghasilkan laba maksimum buat pemilik modal, itu sebetulnya tak berlaku lagi. Sudah banyak buku yang ditulis untuk menjelaskan betapa tidak memadainya “konstitusi” atau lebih tepatnya ideologi itu.
Lynn Stout, profesor hukum bisnis dari Universitas Cornell, AS, menyatakan bahwa shareholder value maximization adalah “the dumbest business idea ever.” Itu dia nyatakan dalam bukunya yang sangat terkenal: The Shareholder Value Myth: How Putting Shareholders First Harms Investors, Corporations, and the Public yang terbit pada 2012.
Saya berpendapat bahwa para petinggi perusahaan seharusnya membaca buku ekstra-penting ini. Tetapi, kalau mau potong kompas, coba cari saja berita seputar tanggal 19 Agustus 2019 tentang mengapa para CEO perusahaan terbesar di dunia yang tergabung dalam Business Roundtable secara formal menyatakan tak sudi lagi menganut ideologi itu.
Kabar baiknya, BUMN sebetulnya tidak pernah menganut ideologi pandir itu. Di dalam regulasi, tujuan BUMN dinyatakan sebagai: (1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. (2) Mengejar keuntungan.
(3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. (4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh swasta dan koperasi. (5) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Regulasi BUMN, dengan demikian, tidaklah sempit dan pandir.
Sayangnya, saya kerap mendengar keluhan dari para petinggi BUMN bahwa hanya tujuan kedua saja yang dianggap serius, dan masuk ke dalam KPI mereka. Keuntungan jualah yang jadi satu-satunya pertimbangan atas bonus kinerja yang bernama tantiem itu. Regulasinya cerdas, praktiknya belum. Mungkin baik juga bila para komisaris BUMN bisa mengubah praktik ini, sehingga BUMN bisa benar-benar menjadi mesin pembangunan nasional.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan salah satu bidang yang sangat penting namun kerap diabaikan oleh para komisaris: keuangan. Dalam soal ini, benar-benar the devil is in the detail. Mereka yang tak paham bagaimana keuangan perusahaan bekerja, di mana kecurangan-kecurangan biasa disembunyikan, bakal kesulitan menjalankan fungsi pengawasan dengan optimal.
Karenanya, kepada siapa pun yang diangkat menjadi komisaris BUMN dan ingin berbuat baik, saya sangat menekankan pentingnya belajar keuangan perusahaan, terutama soal berbagai peluang fraud yang biasa dimanfaatkan para penjahat kerah putih.
Tentu pemanfaatan keuangan perusahaan untuk kemajuan bisnis dan keberlanjutan perusahaan juga mutlak dipahami. Dalam hal ini, saya punya kepercayaan ekstra kepada BTP. Ketajaman matanya dalam memelototi rencana dan laporan keuangan sudah teruji. Dia hanya perlu dibantu oleh para spesialis keuangan industri migas yang punya integritas tinggi untuk bisa memastikan Pertamina tak lagi dicurangi siapa pun.
Yang masih saya tunggu dengan harap-harap cemas adalah apakah dia hanya akan melihat dirinya bertugas menjaga Pertamina sepanjang masa menjadi komisaris, ataukah dia juga melihat tugas yang lebih besar dan lebih penting: mengawal transisi Indonesia menuju energi terbarukan.
Bacaan terkait
Pak Jokowi, Mau Dibawa ke Mana BUMN Kita?
Menghilang ke Mana Kritisisme Jokowi dan Kita atas Pertamina?