Reaksi atas Teks Perubahan Tujuan Perusahaan
Seandainya saja yang membuat dan menandatangani pernyataan semacam itu “hanyalah” para akademisi atau aktivis yang mendesak perusahaan untuk mengikuti pendirian Freeman, tentu sambutannya tak bakal seramai yang kita saksikan sekarang.
Sumpah yang kurang lebih sama isinya, diberi nama The MBA Oath, pernah digagas oleh Max Anderson dan Peter Escher, dua mahasiswa Harvard Business School, di tahun 2009. Sambutannya hangat, dan hingga sekarang sudah ada lebih dari 10.000 lulusan program MBA di seluruh dunia yang mengangkat sumpah dengan teks tersebut, layaknya para dokter di seluruh dunia dengan Sumpah Hippocrates.
Tetapi, itu “cuma” janji para lulusan pascasarjana baru, yang masih perlu ditunggu perwujudannya sepanjang karier mereka menjadi manajer, yang entah sebesar apa pengaruh mereka di tempat masing-masing. Sementara yang berjanji pada 19 Agustus lalu adalah para pemimpin puncak perusahaan. Dan, perusahaan-perusahaan yang mereka pimpin adalah di antara perusahaan-perusahaan terbesar di dunia. Facebook dan Microsoft, dua di antara perusahaan terbesar di dunia, bukanlah anggota Business Roundtable, tetapi juga sudah lama keduanya menyatakan dukungan atas tanggung jawab kepada pemangku kepentingan.
Jadi, di antara perusahaan-perusahaan terbesar di dunia sudah tak ada lagi perbedaan sikap. Setidaknya dalam komunikasi ke luar.
Tak mengherankan bila di hari yang sama sambutan sangat meriah langsung ditunjukkan oleh berbagai media massa atas peristiwa hari itu. The New York Times menurunkan berita bertajuk Shareholder Value is No Longer Everything, Top CEOs Say.
Judul yang panjang, Group of Top CEOs Says Maximizing Shareholder Profits No Longer Can be the Primary Goal of Corporations, dipergunakan oleh The Washington Post. Dengan judul yang menggelitik, dan foto Michael Douglas, Forbes menuliskan berita Big Business: Greed Still Good, But So are Other Things.
Dari seberang Samudera Atlantik, The Guardian melaporkan dengan Leading US Bosses Drop Shareholder-First Principle. Berita tentang peristiwa itu sangatlah banyak, walau memang terutama muncul di media-media massa yang berbasis di Amerika Serikat dan Eropa.
Lalu, para pakar pun menuliskan tanggapan mereka, yang masih sangat ramai di berbagai publikasi bisnis hingga tulisan ini dibuat. Hanya berselang sehari dari kejadian, Peter Cohan menuliskan artikel 181 Big Companies Just Ditched Shareholder Value. Don’t Short Their Shares di Forbes.
Pada hari yang sama, Claudine Gartenberg dan George Serafeim mempublikasikan 181 Top CEOs Have Realized Companies Need a Purpose Beyond Profit di Harvard Business Review (HBR). Kemudian, majalah Fast Company memuat artikel Jay Gilbert dkk. pada 22 Agustus dengan judul Don’t Believe the Business Roundtable has Changed Until Its CEOs’ Actions Match Their Words.
Di hari yang sama, Lynn Sharpe Paine menulis CEOs Say Their Aim is Inclusive Prosperity. Do They Mean It? di HBR. Majalah bisnis terkenal lainnya, The Economist, pada hari itu juga menurunkan artikel utama What are Companies for? Big Business is Beginning to Accept Broader Social Responsibilities.
Salah satu ekonom paling terkenal sejagat, Joseph Stiglitz, mengomentari peristiwa itu lewat Is Stakeholder Capitalism Really Back? di Project Syndicate. What is the Purpose of A Company? adalah artikel Mark Nevins di Forbes edisi 28 Agustus. Di HBR tanggal 30 Agustus 2019, Andrew Winston menulis Is the Business Roundtable Statement Just Empty Rhetoric?
Pada hari itu juga, artikel Irving Wladawsky-Berger, The (Updated) Purpose of the U.S. Corporation, muncul di The Wall Street Journal. 6 Ways CEOs Can Prove They Care About More Than Shareholder Value adalah judul artikel yang dituliskan John Elkington dan Richard Roberts di HBR tanggal 2 September.
Di The Washington Post tanggal 2 September juga, mantan Rektor Universitas Harvard, Lawrence Summers menulis If Business Roundtable CEOs are Serious about Reform, Here’s What They Should Do.
Dari Penyangkalan hingga Tantangan
Sejumlah artikel yang ditunjukkan di atas adalah sebagian kecil saja dari reaksi yang benar-benar gegap gempita di seluruh dunia, terutama dituliskan oleh para pakar paling terkenal. Lalu, apa substansi yang dituliskan para komentator—tidak sekadar para pakar yang artikelnya disebutkan di atas—yang mengomentari peristiwa besar tersebut? Tampaknya ada lima nada utama yang bisa dibaca dari seluruh tulisan yang saya baca.
Pertama, penyangkalan. Ada beberapa komentator yang sangat jelas menyatakan bahwa pernyataan baru ini adalah salah atau setidaknya misguided. Tentu, pendirian seperti ini, yang masih mengagungkan pendirian Friedman atau bahkan menyatakan bahwa keserakahan adalah penuntun keberhasilan bisnis. Ideologi Kapitalisme yang paling brutal masih muncul di beberapa tulisan, dan, tentu saja, mereka yang menggunakannya tak percaya bahwa para pemangku kepentingan lainnya memiliki stake yang setara dengan para pemilik modal.
Saya tak melihat secara terang-terangan mereka menganjurkan perusahaan untuk merusak lingkungan atau membayar pekerjanya semurah mungkin, namun konsekuensi dari “logika” mereka jelas akan demikian.
Kedua, ketidakpercayaan. Ada berbagai artikel yang menyatakan bahwa sesungguhnya pernyataan para CEO itu hanyalah bualan belaka yang tak akan ada tindak lanjutnya. Para komentator ini menggunakan istilah public relations (PR) dalam makna pejoratifnya. Mereka mengingatkan bahwa banyak di antara CEO yang telah menguasai penggunaan istilah-istilah yang dianggap lebih sesuai dengan semangat zaman, seperti tanggung jawab sosial dan keberlanjutan, namun praktik perusahaannya tidak menunjukkan hal tersebut. Lantaran banyak kasus seperti itu, maka ketidakpercayaan menjadi “wajar”.
Ketiga, sikap kritis. Berbeda dengan sikap sebelumnya, komentar kritis berusaha menunjukkan bahwa arah perubahan yang dibuat oleh para CEO itu sudah benar. Para komentator kemudian mengingatkan bahwa ada kesenjangan antara pernyataan para CEO dengan kinerja yang ditunjukkan oleh perusahaannya. Namun, alih-alih menyatakan bahwa itu adalah bukti bahwa para CEO tak bisa dipercaya, mereka kemudian menyatakan perlunya memberikan ruang untuk para CEO itu membuktikan pernyataan komitmennya kali ini.
Bagaimanapun, pernyataan kolektif 181 CEO dari sebuah organisasi berpengaruh yang tadinya secara terbuka mendukung shareholder primacy lalu berubah mendukung stakeholder value creation bukanlah hal yang bisa dianggap sepi. Pada titik inilah saya lihat sejumlah besar artikel komentar berada.
Keempat, dukungan positif. Saya juga membaca banyak artikel yang langsung memberikan dukungan atas perubahan tujuan bisnis yang dinyatakan itu, lalu bergerak lebih lanjut memberikan rekomendasi, bahkan resep, bagaimana mewujudkan itu semua.
Ada yang memberikannya dalam bentuk agenda apa saja yang perlu dituntaskan untuk membuat seluruh pemangku kepentingan terpenuhi atau bahkan terlampaui ekspektasinya; ada yang menyampaikan rekomendasi untuk agenda tertentu, seperti pembayaran pajak, pengikisan kesenjangan ekonomi, serta pembayaran remunerasi dan kompensasi yang baik; serta ada pula yang mengajukan metodologi agar seluruh komitmen bisa diwujudkan.
Kelima dan terakhir adalah tantangan. Mereka yang mengajukan hal ini mulai dengan apresiasi atas apa yang para CEO itu nyatakan, namun kemudian segera bilang bahwa sebetulnya tantangan bisnis yang dihadapi sekarang sudah tidak memadai lagi untuk dijawab dengan butir-butir komitmen tersebut.
Apa yang mereka ajukan sebagai komitmen tambahan? Di antaranya adalah dengan memasukkan alam dan generasi mendatang sebagai pemangku kepentingan, dan dengan demikian mereka ingin isu seperti krisis iklim ditangani dengan serius oleh perusahaan-perusahaan. Dunia kini tinggal memiliki waktu sekitar 11 tahun untuk bisa menangani krisis iklim tanpa korbanan yang luar biasa besar. Dan, bisnis adalah sektor yang paling menentukan bagaimana nasib generasi muda dan generasi mendatang.
Ada di mana sikap saya? Sejak membaca teks pernyataan tentang tujuan perusahaan itu saya ada di posisi kelima. Saya berpendirian bahwa Business Roundtable itu sesungguhnya ketinggalan zaman, walau langkah yang diambil itu memang ke arah yang benar. Sebagai orang yang mengagumi dan mengikuti dengan lekat langkah intelektualitas Freeman, saya melihat bahwa komitmen itu masih terbaca seperti pendirian Freeman di tahun 1984. Sementara, pemikirannya tentang apa tujuan bisnis dan bagaimana mencapainya sesungguhnya sudah lebih jauh lagi.
Dalam The New Story of Business: Towards a More Responsible Capitalism, artikel Freeman yang terbit tahun 2017, dia mengingatkan bahwa bisnis itu eksis dalam dunia fisik, sehingga harus berhadap-hadapan dengan realitas keterbatasan alam. Seluruh perusahaan, menurut Freeman, akan dipaksa melihat kenyataan keterbatasan itu, tetapi perusahaan yang progresif akan melihat situasi tersebut sebagai peluang untuk menyelamatkan dunia sekaligus memajukan bisnis. Dalam kata-kata Freeman di penghujung artikel itu, “…integrating respect for the environment into our purpose and values, can be a powerful elixir for creativity.”
Ada banyak pakar yang sependirian dengan Freeman. Otto Scharmer menegaskan bahwa bisnis 4.0 adalah bisnis untuk kebaikan seisi dunia, bukan terbatas untuk kebaikan pemangku kepentingan tertentu saja. John Elkington menegaskan pentingnya bisnis mengadopsi konsep Breakthrough yang terwujud dalam dampak yang sepositif mungkin untuk sebanyak mungkin orang. Tetapi, bagaimanapun, langkah awal para CEO itu patut dan penting diapresiasi.
Sikap tidak mempercayai mereka tak ada manfaatnya, yang penting untuk dilakukan adalah mengawal komitmen itu. Penting juga untuk mengingat bahwa perusahaan-perusahaan lainnya—termasuk dan terutama yang ada di Indonesia—perlu untuk diajak, difasilitasi, dan mungkin dipaksa ke arah yang sama.
Lebih jauh lagi, mengarahkan perusahaan untuk menjawab tantangan dan meraih peluang bisnis yang timbul dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) dan Kesepakatan Paris adalah tugas yang tak bisa ditunda lagi. Ini bukan sekadar membujuk perusahaan memperbesar donasi atau mempersering tindakan seperti penanaman pohon, melainkan mengawal transformasi ekonomi terbesar yang pernah disaksikan sejarah manusia.
Seperti kata Freeman, kita perlu narasi baru untuk bisnis, dan narasi itu harus sesuai dengan tantangan dan peluang abad ke-21. Narasi itulah yang akan menggerakkan seluruh pihak untuk mewujudkannya.
Baca juga
Perubahan Paradigma atau Sekadar Bualan Para CEO? [Bag-1]
2018: Apakah Kita Memilih Keberlanjutan?
Pidato (Imajiner) Presiden Jokowi di COP 21 Paris*