Saya sudah membaca Persuasion (1817) berulang kali. Saat pertama kali membacanya, saya masih kuliah dengan wawasan yang terbatas. Beberapa waktu lalu saat merampungkannya untuk kesekian kalinya, usia saya lebih tua dari karakter mana pun di dalam novel, dan juga lebih tua dari pengarangnya, yang meninggal pada usia 42 tahun.
Saya telah membaca Pride and Prejudice dan juga Emma beberapa kali juga. Gaya sastra Jane Austen yang terang pun kehalusan dan kepekaannya patut untuk ditinjau ulang. Saya memilih Persuasion karena Austen bukan saja memberikan sentuhan Cinderella yang mengharukan pada protagonis terpilih dari semua gadis yang sama-sama cantik dan menarik. Hal yang tak kalah krusial karena dalam novel terakhirnya ini, Jane Austen memperlihatkan wawasannya yang luas terhadap lingkungan sosialnya.
Anne Elliot berumur 27 tahun. Dia telah kehilangan pesonanya dan hampir menjadi perawan tua. Ayah dan saudara perempuannya—yang dikenal angkuh serta kelewat memperhatikan penampilan dan kedudukan sosial mereka—kerap berlaku boros. Akibatnya keluarga Anne harus berhemat. Alih-alih berhemat, mereka memutuskan untuk menyewakan tanah milik keluarga dan pindah ke Bath.
Pasangan suami istri yang hendak menyewa properti itu ternyata adalah kakak perempuan dan ipar dari mantan kekasih Anne, seorang perwira angkatan laut bernama Kapten Wentworth. Anne sudah delapan tahun tidak berjumpa dengannya sejak lamarannya ditolak oleh ayah Anne karena dianggap tidak bergengsi. Kapten Wentworth, yang kini kaya raya dan terhormat, tengah mencari seorang istri.
Jane Austen adalah seorang novelis revolusioner dilihat dari gaya penulisannya yang cerdas dan menawan, meskipun dalam beberapa hal agak tersembunyi. Jane Austen memusatkan perhatian pada kehidupan emosional perempuan pada saat perempuan yang berbudi luhur tidak diperbolehkan memiliki kehidupan emosional.
Dalam Tom Jones, misalnya, Fielding mengizinkan Sophia menolak untuk menikahi Blifil, yang dia benci, namun dia tidak diizinkan untuk mengungkapkan atau bahkan merasakan pilihannya terhadap Tom. Keagungan perempuan pada abad ke-18 (dan pada periode Victoria, seperti dalam novel-novel Anthony Trollope) mengharuskan gadis muda untuk sepenuhnya mengabaikan cinta dan pilihan mereka kecuali diminta.
Namun semua novel Jane Austen sangat memperhatikan keinginan karakter perempuan. Dalam Pride and Prejudice, fakta bahwa Jane Bennet peduli pada Tuan Bingley dan menginginkan lamaran darinya tanpa mengetahui apakah dia peduli atau tidak padanya dieksplorasi sepenuhnya. Dengan sikap natural yang luar biasa, Jane Austen memberikan tokoh-tokoh perempuan ambisi dan kecerdasan dan mewujudkannya tanpa meragukan kelebihan yang mereka miliki.
Jane Austen juga hidup dalam posisi perempuan yang tidak punya alternatif selain menikah atau mesti tunduk kepada keinginan orang tua. Anne Elliot, yang terus-menerus berada di bawah pengawasan saudara perempuannya yang sudah menikah namun berulang kali direndahkan oleh kerabatnya, tidak dapat memenuhi hasrat dirinya sendiri untuk mendapatkan hak, kemandirian, atau uang.
Pada saat menulis Persuasion, Jane Austen sudah menjadi sosok egaliter. Anne yang tidak berdaya dikelilingi oleh orang-orang yang penuh kesombongan, keegoisan, dan haus akan pendakian sosial (social climbing). Mereka yang mengikuti norma-norma sosial standar, seperti ayah dan saudara perempuan Anne, digambarkan sebagai orang-orang yang konyol dan korup. Perwira angkatan laut—sosok mantan yang ditemui Anne yang kini sudah menjadi ‘orang’ dengan segudang prestasi— digambarkan sebagai orang yang layak dihormati sebab dia telah melakukan perjalanan panjang dan mempelajari hal-hal menarik.
Jantung dari novel ini adalah catatan Jane Austen menyangkut pemikiran pribadi Anne tentang Frederick Wentworth. Setelah banyak membaca, keinginannya memang terpuaskan dan menyenangkan tapi tidak cukup menegangkan. Yang tetap menarik dan baru tentang mereka adalah kedekatan hubungan Jane Austen dengan sang protagonis. Anne memperhatikan setiap nuansa pergaulan di sekitarnya; dia nyaris menjadi mata-mata di antara keluarganya, menghitung makna dari tindakan dan suasana hati orang-orang yang dikenalnya serta mengukur bagaimana mereka semua berpengaruh terhadap dirinya.
Kebiasaan Anne yang suka mengamati secara diam-diam adalah penggambaran Jane Austen tentang kode sosial bangsawan Inggris di awal abad ke-19. Tentu saja mustahil bagi pembaca modern untuk memahami semua isyarat dan implikasi yang dikatalogkan oleh Jane Austen.
Intinya bahwa hampir setiap penanda sosial dikodifikasi. Mengetahui kode etik adalah tanda dari pengasuhan dan pendidikan yang tepat dan menjadi kunci penerimaan sosial. Tapi perlu dicatat bahwa mengikuti kode etik tanpa perasaan yang jujur merupakan tanda kekosongan moral. Anne (dan Jane Austen) menyadari bahwa kode etik adalah alat penindasan dan juga seperangkat tata krama. Karakter baik dalam novel ini adalah mereka yang memiliki kehidupan batin – yang dikembangkan melalui sistem kepercayaan pribadi yang mengungkapkan diri mereka tidak hanya dalam perilaku yang pantas tetapi juga dengan motif yang pantas.
Dalam semua novelnya, Jane Austen menyindir individu-individu egois dan tidak bertanggung jawab. Dalam Persuasion dia memperluas kritiknya dan menunjukkan bahwa kegagalan pribadi muncul dari distorsi sosial. Anne bukanlah sosok periang semisal protagonis dalam Pride and Prejudice atau pemaaf seperti di Emma. Namun gairah dan cinta Anne yang tidak berubah terhadap Kapten Went menjadikan novel tersebut tampak ‘lunak.’
Persuasion adalah contoh yang menarik sekaligus menggelisahkan tentang karakter, gaya, dan kecepatan Jane Austen yang hampir sempurna. Karya ini adalah sebuah contoh bagaimana seorang novelis ulung dan sejati memanfaatkan semua perangkat yang ada guna menghasilkan karya terbaik.