Jumat, Maret 29, 2024

Persamaan Hak Politik Itu Bukan Soal “Non-Muslim”

Mohamad Guntur Romli
Mohamad Guntur Romli
Penulis dan aktivis. Sehari-hari sebagai Kurator di Komunitas Salihara.

bhinneka2

Dalam demokrasi persamaan hak antar warga negara diakui. Dalam konstitusi kita: UUD 45 Pasal 27 ayat (1) disebutkan: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Inilah prinsip kesetaraan dan persamaan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan, tidak pandang agama, etnis, status sosial dan ekonomi, jabatan dan lain-lainnya.

Demikian pula dalam Pasal 28D, yang mengakui hak-hak warna negara: pengakuan, perlindungan, kepastian hukum, perlakuan yang sama, dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dalam Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ayat (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Artinya, persamaan hak warga negara ini tidak pandang agama, suku, etnis, status sosial, dan lainnya. Siapa pun berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, yang berjalan dengan mekanisme, prosedur, dan aturan. Tidak boleh ada seseorang yang dipangkas hak dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan hanya karena masalah agama atau etnisnya.

Inilah konstitusi negara kita, yang jelas-jelas menegaskan persamaan dan kesetaraan warga di hadapan hukum dan memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Namun, bagi umat Islam, bagaimana dengan perbedaan agama yang berujung pada perbedaan status sosial dan politik, dalam istilah fiqih disebut sebagai ahlu dzimmah?

Ada kekeliruan membaca soal ahlu dzimmah ini dari kalangan Hizbut Tahrir dan mereka yang berteriak dan menuntut berdirinya Negara Islam atau Khilafah Islam dengan menjadikan konsep ahlu dzimmah sebagai “warga negara kelas kedua”— sementara yang Muslim sebagai “warga negara kelas satu”. Padahal ahlu dzimmah mengakui prinsip perlindungan, jaminan, dan kesetaraan kalau dibaca dengan progresif, bukan secara harfiah seperti yang dimaui oleh mereka.

Dalam sejarah Islam, kelompok yang disebut ahl al-dzimmah bisa disamakan dengan kelompok minoritas yang dilindungi yang memiliki hak yang sama dengan yang mayoritas. Dzimmah artinya termuat beberapa makna: perjanjian, jaminan, tanggungan, dan perlindungan.

Ahl Dzimmah dalam sejarah Islam klasik berasal dari golongan-golongan yang bukan Muslim dan suku-suku non-Arab lain. Mereka memiliki perjanjian dengan penguasa Muslim, yang dijamin hak hidup, milik, beragama, dan hak-hak lainnya. Kesetaraan ahl dzimmah dengan orang-orang Muslim diakui dalam kesetaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban sosial dan politik.

Dalam kaidah fiqih dikenal prinsip kesetaraan dan persamaan ahl dzimmah dalam kaidah yang berbunyi seperti di bawah ini:

lahum ma lana wa alaihim ma alaina

لهم ما لنا وعليهم ما علينا

Bagi mereka hak yang sama seperti hak kita (Muslim), dan atas mereka kewajiban yang sama seperti kewajiban kita.

Hak dan Jaminan terhadap “Ahlu Dzimmah” Zaman Nabi Muhammad

Jaminan terhadap ahl dzimmah berasal dari ketetapan Allah dan Rasul-Nya seperti yang termaktub dalam Perjanjian Nabi Muhammad SAW dengan Kristen Najran. Mereka dijamin hak-haknya dari ancaman dan serbuah dari luar atau pihak lawan, dan juga dilindungi dari diskriminasi dan kesewenang-wenangan yang bisa saja timbul dari pihak Islam.

  1. Jaminan terhadap hak hidup, sesuai sabda Nabi Muhammad:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

Barang siapa yang membunuh orang yang terikat perjanjian, maka dia tidak akan mencium bau surga, sungguh bau surga itu tercium dari jarak perjalanan 40 tahun (HR al-Bukhari)

  1. Pelindungan terhadap hak milik, larangan melakukan tindakan sewenang-wenang, merampas, merendahkan, dan segala laku kekerasan dan diskriminatif lainnya.

Untuk perlindungan ini Nabi Muhammad bersabda:

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا، أَوِ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيْبِ نَفْسٍ، فَأَنَا حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ingatlah, siapa yang sewenang-wenang terhadap orang yang terikat perjanjian, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan darinya (merampas), maka aku adalah lawan bertikainya pada Hari Kiamat. (HR Abu Dawud)

  1. Kebebasan beragama dan menjalankan perintah agamanya. Prinsip ini diakui dalam ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan “tidak ada paksaan dalam agama” (QS al-Baqarah [2]: 256), sampai-sampai ada riwayat yang mengabarkan: rombongan Kristen yang beribadah/kebaktian di dalam masjid Nabawi zaman Nabi Muhammad Saw. Diriwayatkan oleh Ibn Ishaq dalam Tafsir Ibn Katsir (1999: 50), ketika datang delegasi dari Komunitas Najran ke Madinah sebanyak 60 orang yang dipimpin oleh Abdul Masih (Hamba Sang Mesias). Saat mereka ingin melakukan kebaktian, Nabi Muhammad membiarkan mereka melaksanakannya di masjid Nabi dengan menghadap ke arah Timur.

قَدِمُوا عَلَى رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَة فَدَخَلُوا عَلَيْهِ مَسْجِده حِين صَلَّى الْعَصْر عَلَيْهِمْ ثِيَاب الْحِبَرَات جُبَب وَأَرْدِيَة مِنْ جَمَال رِجَال بَنِي الْحَارِث بْن كَعْب يَقُول مَنْ رَآهُمْ مِنْ أَصْحَاب النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْنَا بَعْدهمْ وَفْدًا مِثْلهمْ وَقَدْ حَانَتْ صَلَاتهمْ فَقَامُوا فِي مَسْجِد رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” دَعُوهُمْ ” فَصَلَّوْا إلَى الْمَشْرِق

Mereka datang pada Rasulullah di Madinah dan masuk masjid saat salat Ashar, mereka memakai pakaian kependetaan: jubah yang sangat indah, mereka adalah orang-orang dari Bani al-Harits bin Ka’ab, di antara sahabat Nabi ada yang berkata, kami tidak pernah melihat ada delegasi seperti mereka setelahnya, dan saat tiba salat mereka, mereka melaksanakannya di masjid Nabi, Rasulullah bersabda, “Biarkan mereka.” Dan mereka pun salat menghadap ke Timur.

Jaminan Nabi Muhammad terhadap komunitas Kristen Najran yang telah disebutkan teksnya sebelum ini, serta yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab terhadap penduduk Illiya’ (Yerussalem) yang tertulis sebagai berikut:

بسم الله الرحمن الرحيم هذا ما أعطى عبد الله، عمر، أمير المؤمنين، أهل إيلياء من الأمان.. أعطاهم أماناً لأنفسهم وأموالهم ولكنائسهم وصلبانهم وسقمها وبريئها وسائر ملتها… أنه لا تسكن كنائسهم ولا تهدم، ولا ينقص منها ولا من حيِّزها ولا من صليبهم ولا من شيء من أموالهم، ولا يُكرهون على دينهم، ولا يضارّ أحد منهم، ولا يسكن بإيلياء معهم أحد من اليهود.

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini adalah isi yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, pemimpin orang-orang mukmin kepada penduduk Iliyâ dari perlindungan. Aku memberikan keamanan atas jiwa, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang sakit, orang yang tidak bersalah dan seluruh kepercayaan mereka. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan dihancurkan, tidak boleh diambil sebagian ataupun isinya, demikian pula dengan salib-salib dan harta mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agama mereka. Dan seorang pun dari mereka tidak boleh segala hal yang berbahaya. Dan tidak seorang pun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ. (Tafsir at-Thabari, Vol. III, h. 609)

Perjanjian tertulis ini merupakan perjanjian antara orang Islam dengan Kristen. Maka, disebutkan di sana orang Yahudi tidak boleh tinggal di Yerussalem, karena ada persoalan politik antara umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad, di mana kelompok-kelompok Yahudi di Madinah mengkhianati Perjanjian Madinah sehingga mereka diusir dari Madinah.

Dan tampaknya ketegangan itu masih terasa hingga era Umar. Umar tidak membenci Yahudi sebagai agama dan orangnya, namun lebih ke soal pengkhianatan politik yang dilakukan mereka. Salah satu bukti bahwa Umar bisa berbuat adil terhadap orang Yahudi dalam sebuah riwayat oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ اخْتَصَمَ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ وَيَهُودِيٌّ فَرَأَى عُمَرُ أَنَّ الْحَقَّ لِلْيَهُودِيِّ فَقَضَى لَهُ فَقَالَ لَهُ الْيَهُودِيُّ وَاللَّهِ لَقَدْ قَضَيْتَ بِالْحَقِّ فَضَرَبَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بِالدِّرَّةِ ثُمَّ قَالَ وَمَا يُدْرِيكَ فَقَالَ لَهُ الْيَهُودِيُّ إِنَّا نَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ قَاضٍ يَقْضِي بِالْحَقِّ إِلَّا كَانَ عَنْ يَمِينِهِ مَلَكٌ وَعَنْ شِمَالِهِ مَلَكٌ يُسَدِّدَانِهِ وَيُوَفِّقَانِهِ لِلْحَقِّ مَا دَامَ مَعَ الْحَقِّ فَإِذَا تَرَكَ الْحَقَّ عَرَجَا وَتَرَكَاهُ

Ada seorang Muslim yang bertikai dengan orang Yahudi yang kemudian menghadap Umar bin Khattab, Umar melihat bahwa kebenaran ada pada pihak Yahudi, sehingga ia memenangkan orang Yahudi tersebut. Orang Yahudi berkata kepadanya: “Demi Allah, kamu telah memutuskan perkara dengan benar.” Umar memukulnya dengan tongkat, lalu berkata: “Apa yang kamu ketahui?” Orang Yahudi itu menjawab: “Sungguh kami mendapati bahwa tak ada seorang hakim yang memutuskan suatu perkara dengan benar, kecuali di sebelah kanan dan kirinya ada malaikat yang akan selalu membenarkannya dan membimbingnya pada kebenaran, selama dia bersama dengan kebenaran. Manakala dia meninggalkannya, maka mereka juga meninggalkannya.”

Saat Umar mengunjungi Yerussalem, Romo Sophronius yang menjadi pemimpin komunitas Kristen di sana mempersilakan Umar melaksanakan salat Ashar di dalam Gereja Kebangkitan (Kanîsah al-Qiyâmah), namun Umar menolaknya karena khawatir umat Islam nantinya akan menuntut gereja itu diubah menjadi masjid.

  1. Perlakuan yang sama di hadapan hukum dan tidak boleh dikurangi hak-haknya, meskipun berbeda agama. Ada riwayat yang menarik tentang seorang Yahudi yang dituduh mencuri oleh seorang Muslim, Nabi Muhammad hampir menyalahkan orang Yahudi itu hingga turun ayat al-Qur’an yang membebaskan orang Yahudi dari tuduhan. Diceritakan ada orang Muslim Madinah bernama Thu’mah bin Ubairiq dari Bani Dhafar, ia mencuri baju perang dari pamannya. Baju perang itu titipan. Setelah ketahuan ia malah menuduh seorang Yahudi bernama Zaid bin al-Samin yang mencuri baju perang itu. Orang Yahudi itu pun melaporkan kepada Nabi Muhammad. Orang-orang dari Bani Dhafar pun mendatangi Nabi. Hampir saja Nabi Muhammad condong kepada Thu’mah kalau tidak turun ayat al-Qur’an surat al-Nisâ’ (4) ayat 107-112 yang membebaskan orang Yahudi dari tuduhan dan mengecam tindakan Thu’mah bin Ubairiq.

وَلا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا (١٠٧) … وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا )١١٢(

Dan janganlah berbantah (membela) orang yang khianat pada dirinya, sungguh Allah tiada mencintai orang yang khianat dan bergelimang dosa…barang siapa yang melakukan kesalahan atau berbuat dosa kemudian melontarkannya kepada orang tiada bersalah, maka sungguh ia memikul kebohongan dan dosa yang nyata.

Melihat persamaan antara Muslim dan non-Muslim, tokoh Islam Politik dan Ikhwanul Muslimin Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, dalam kitab Ghayr al-Muslimîn fi al-Mujtama’ al-Islâmî memandang baik yang Muslim dan non-Muslim bisa dipahami dalam konsep kebangsaan (nationality) seperti sekarang ini, yang menegaskan tak adanya perbedaan hak-hak antar mereka. Dengan perjanjian, komunitas non-Muslim zaman dulu sebenarnya sudah memperoleh “kebangsaan Islam” (al-jinziyah al-islâmiyah).

Maka,  Fahmi Huwaidi pun mengusulkan agar istilah ahl dzimmah tidak lagi dipakai sebagai pembeda antara Muslim dan non-Muslim. Karena, di samping dasarnya adalah kebangsaan bukan lagi agama, maka mereka satu dalam prinsip kewarganegaraan (al-muwâthanah). Orang non-Muslim tidak patut lagi disebut dzimmî, tapi mereka adalah warga negara (muwâthin). Ini dasar Fahmi Huwaidi menulis buku Muwâthinûn Lâ Dzimmiyûn (Mereka Adalah Warga Negara, Bukan Ahl Dzimmah).

Kesimpulannya, kembali ke Konstitusi kita: warga negara memiliki hak yang sama di depan hukum dan memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, serta berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Dan prinsip ini sesuai dengan semangat “dzimmi” dalam Islam yang berarti menegaskan perlindungan, pengakuan, dan kepastian hukum. Dan istilah “non-Muslim” dan “non-Islam” jangan lagi dipakai dalam konteks politik dan sosial, karena sudah ada prinsip kebangsaan dan warga negara.

Baca:

Ketika Al-Qur’an Lebih Membela Non-Muslim

Mohamad Guntur Romli
Mohamad Guntur Romli
Penulis dan aktivis. Sehari-hari sebagai Kurator di Komunitas Salihara.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.