Ketika mendengar berita wafatnya Arief Budiman, ingatan saya tentangnya di masa silam berjumpalitan.
Ingatan pertama yang datang adalah suasana sepi sore hari. Perpustakaan STF Driyarkara. Saya duduk merenung mendalam sambil membaca tulisan Arief Budiman di Prisma.
Saya lupa detai judulnya. Namun masih ingat, di jurnal itu Arief Budiman mengupas tuntas dan mengeritik Kapitalisme. Tema itu kemudian menjadi salah satu agenda intelektualnya yang utama.
Tak saya lupa ia mengutip pemikir yang acap disebut Bapak Kapitalisme: Adam Smith.
“Bukan dari kebaikan tukang daging, tukang minuman dan tukang roti kita mendapatkan makan malam kita. Tapi itu semata karena kecintaan mereka atas dagangan mereka sendiri. Karena itu, jangan datang pada mereka dengan menyatakan kepentingan pribadi. Datanglah pada mereka dengan mengangkat cinta mereka pada diri sendiri.”
Tulis Arief, dengan mengutip Adam Smith, self-interest itu filsafat manusia kapitalisme. Bagi Adam Smith, kepentingan diri itu bagus. Karena kepentingan diri satu individu akan dikoreksi oleh kepentingan diri individu lain. Hasil akhirnya justru kepentingan publik lebih terlindungi.
Awal saya agak rancu membaca kesimpulan itu. Bagaimana mungkin justru kepentingan individu pada akhirnya lebih memajukan kemaslahatan publik?
Arief memberikan contoh dalam tulisan itu. Saya lupa detailnya. Ini saya ambil pokoknya saja dari memori.
Karena kepentingan diri, si A menjual barang dengan untung 100. Tapi karena kepentingan dirinya pula, B ingin barangnya lebih laku. Ia cukup ambil untung 10 saja. Persaingan antara kepentingan diri itu akhirnya memberikan kepada publik produk dan jasa yang lebih murah, lebih bagus dan lebih unggul.
Mengapa hukum sosial bisa terbentuk seperti itu? Arief kembali mengutip Adam Smith. Itu karena berlakunya hukum “The Invisible Hand.” Ada tangan tak terlihat yang mengatur. Kompetisi bebas akibatnya justru menciptakan kepentingan publik.
Filsafat manusia Adam Smith ini menurut Arief yang menjadi fondasi kapitalisme. Yaitu memberikan kebebasan individu mengejar kepentingan pribadi masing- masing. Lalu menciptakan persaingan bebas. Nanti mekanisme pasar yang memilih pemenang. Dan pemenang itu adalah yang lebih sesuai dengan pilihan bebas masyarakat.
Arief pun mulai dengan kritiknya. Tangan yang tak terlihat versi Adam Smith ini benar benar tak terlihat. Akibatnya Kapitalisme menciptakan jurang antara kaya dan miskin yang paling lebar. Tak pernah terjadi melebarnya jurang kaya dan miskin dalam sejarah separah era Kapitalisme.
Ariefpun secara nyata dan tersirat menunjukkan pilihan nilai pribadinya pada Sosialisme.
-000-
Itulah perjumpaan intelektual saya yang pertama dengan Arief Budiman. Itu masa pertumbuhan diri saya di era awal. Saya masih mahasiswa saat itu, usia dua puluhan. Arief budiman lebih tua 22 tahun dibandingkan saya.
Arief kala itu sedang naik bintang. Ia baru selesai Ph.D sosiologi dari Harvard University. Ia tinggal di Salatiga. Saya selalu mencari cara untuk mengenalnya, berjumpa tatap muka.
Momen itu datang ketika saya sudah menjadi kolumnis di Kompas. Dua kolom saya di Kompas ia baca dan ia berikan komen ketika kami bertemu.
Di tahun 1986, ketika usia saya 23 tahun, saya menulis kolom di Kompas berjudul “Mahasiswa, Masyarakat dan Negara.” Tulisan itu mencoba memberikan analisa teoritis atas menjamurnya kelompok studi mahasiswa. Saat itu saya sudah disebut mempelopori lahirnya kembali aktivis yang mengambil jalur intelektual.
Beberapa saat kemudian, Kompas mengangkat kisah kelompok studi mahasiswa di halaman satu. Ada foto saya pula terpampang di sana. Saya ingat betapa berbunga hati saya saat itu.
Kolom kedua di tahun itu juga, jika tak salah. Kompas mengangkat polemik mengenai 50 Tahun Polemik kebudayaan. Para senior dan pakar menulis di Kompas. Termasuk tokoh utamanya Sutan Takdir Alisyahbana.
Saya tak tahu apa alasan Kompas saat itu. Di antara semua senior yang berpolemik, saya pun ikut menulis dan berpolemik di sana. Saya anak piyik sendirian. Mahasiswa sendirian.
Dua tulisan itu yang sempat dibaca Arief Budiman. Melalui Agus Edi Santoso almarhum, Arief mengajak saya berjumpa. Saya dan Agus menemuinya dulu ketika Ia menjadi pembicara di Unas.
Lalu dengan mobil jadul teman, kami bertiga ngobrol sambil makan malam di restoran sekitar jalan Pramuka.
Arief membahas tulisan saya soal gerakan kelompok studi dan polemik kebudayaan. Ia memberi pujian dan juga kritik keras. Terasa oleh saya semangat seorang mentor yang ingin ikut membina adik satu generasi di bawahnya.
Sejak saat itu, kapanpun Arief ke Jakarta, saya upayakan menjumpainya. Tapi kami tak selalu bertemu.
Tiga hal yang saya sangat suka dari Arief Budiman. Ia pemikir pejuang dan pejuang pemikir. Ia aktivis. Ia intelektual. Dan Ia suka sastra. Ketiga hal itu pula yang tumbuh pada saya.
Pada Arief juga terasa hidup yang sederhana. Ia terkesan memang intelektual yang asketis. Ia tak memberi perhatian pada kekayaan materi. Baginya yang utama adalah keadilan bagi masyakat, dunia gagasan, seni, dan pentingnya warga negara yang aktif.
Arief bagi saya lebih hidup sebagai intelektual publik. Ia bersemangat bicara dengan bahasa populer tentang isu yang sedang nge-trend.
Arief kurang pas tumbuh sebagai akademikus murni. Karena itu ketika Arief pindah mengajar di Australia, menjadi dosen yang serius di sana, saya mendengar ia kurang bahagia.
Sejak pindah ke Australia, pelan- pelan nama Arief pun di tanah air meredup. Apalagi sejak ia terkena penyakit yang mengganggu memorinya. Jauh hari sebelum Arief wafat, Arief sudah terlebih dahulu absen di dunia publik dan intelektual.
Sungguhpun ada masa saya mengidolakan Arief Budiman. Namun akhirnya saya memilih jalan yang berbeda.
Arief mendedikasikan diri hingga masa tua di kampus. Saya memilih tetap sebagai intelektual publik. Sungguhpun saya juga memiliki background akademik Ph.D dari universitas Amerika Serikat, dunia intelektual publik dibanding akademisi kampus lebih menggetarkan saya.
Awalnya saya juga sempat memimpin sebuah universitas swasta. Namun saya akhirnya memilih ruang kelas yang lebih besar yaitu opini publik di masyarakat luas.
Kedua, bertentangan dengan Arief Budiman, saya justru menjadi penganjur Demokrasi- Kapitalisme. Berbeda dengan sistem lain, dalam Demoktasi-Kapitalisme terjadi self correcting system.
Kebebasan individu, kompetisi, hak asasi manusia akan mengoreksi apapun yang salah. Kapitalisme berevolusi.
Terbukti hari ini. Semua negara yang paling tinggi indeks kebahagiaan warga negara adalah negara demokrasi- kapitalisme.
Ketiga, yang juga berbeda dengan Arief, ia memilih hidup sederhana. Itu saya kagumi. Tapi saya sendiri lebih terpikat pada financial freedom. Itu kondisi dimana kita punya bisnis sehingga tak perlu bekerja lagi.
Waktu yang tersedia bagi siapapun yang sudah di level financial freedom sangatlah banyak. Waktu luang itu bisa ia gunakan untuk berkarya. Dana yang ia miliki juga bisa ia gunakan untuk derma.
Tapi tiga hal itu hanyalah pilihan jalan hidup. Tak ada benar dan salah di sana. Itu semata selera pribadi belaka.
Kepada adik-adik yang lebih muda, saya sering menyampaikan selera aktivisme itu. Jika dulu dikenal pemikir pejuang dan pejuang pemikir, kini ada pilihan lain. Yaitu pejuang pemikir entrepreuner.
Selamat jalan senior. Selamat jalan pejuang!