Sabtu, April 27, 2024

Perjuangan Tiada Akhir Sang Kamerad Castro

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
Soekarno (kanan) menghadiahi Castro keris, senjata asli Indonesia.
Soekarno (kanan) menghadiahi Castro keris, senjata asli Indonesia (1960). Dok: Istimewa

Dunia memang masih memiliki opini yang berbeda-beda tentang Kuba “merah” yang Fidel Castro besarkan sejak 1959. Amerika Serikat masih melihat Kuba sebagai sumber bencana di depan pintu rumahnya sendiri. Rusia masih berkawan baik dengan Kuba, walau sentimen komunisnya sudah lenyap.

Sedangkan negara-negara Dunia Ketiga menaruh sekian banyak respek terhadap independensi Kuba, walau banyak pula yang mengecamnya karena alasan-alasan pelanggaran hak asasi manusia.

Itulah Kuba apa adanya. Kuba adalah Castro, dan Castro adalah Kuba. Kini Pak Jenggot, sebagaimana Presiden Sukarno pernah menjulukinya, telah berpulang. Fidel Castro meninggal pada 25 November 2016 di usianya yang ke-90 tahun. Castro adalah pemimpin komunis angkatan lawas terakhir yang berpulang, menyusul Mao Zedong di Cina, Nikita Kruschev di Uni Soviet, dan Kim Il Sung di Korea Utara.

Perjuangan adalah satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan kisah hidup Castro. Ia terlahir sebagai anak haram dari pasangan Angel Castro y Argiz dan Lina Ruz Gonzalez pada 13 Agustus 1926. Di masa kanak-kanak Castro menimba ilmu di sekolah-sekolah Kristen. Ketika menjadi mahasiswa hukum di Universitas Havana, ia mulai aktif berpolitik, memprotes kepemimpinan Presiden Ramon Grau yang korup dan opresif.

Kebenciannya terhadap Amerika Serikat yang kapitalis dan mendikte Kuba membuat Castro merapat ke golongan kiri. Menjadikan dirinya seorang Marxis, Leninis, sosialis, dan ketika berkuasa, nasionalis.

Dan terjadilah kudeta Jenderal Batista terhadap pemerintahan Presiden Carlos Prio pada 1952. Di bawah Batista dan sponsor Amerikanya, Kuba menjadi surga kaum kapitalis. Sindikat kriminal yang terorganisir praktis menguasai perekonomian, gerakan kiri ditekan, dan secara umum rakyat Kuba hidup dalam kesengsaraan.

Castro yang sempat menentang legitimasi Batista secara hukum ini kemudian melawan secara radikal. Pada 1953, ia dan para sejawat revolusionernya ditangkap setelah upaya pencurian senjata di barak tentara yang gagal. Castro sempat dipenjara, bebas pada 1955, kemudian kabur ke Meksiko, bertemu Ernesto ‘Che’ Guevara, dan kembali ke Kuba pada 1956. Castro dan tentara revolusioner yang ia bentuk membuat markas di pegunungan Sierra Mastre, melancarkan gerilya.

Pada 1 Januari 1959, tentara pemerintah hancur dan Batista pun kabur. Castro merebut Havana pada 8 Januari 1959. Wajah Kuba berubah di bawah asuhan Castro. Pemerintahan satu partai komunis diterapkan. Aset-aset negara yang sebelumnya dirampok oleh gembong-gembong kapitalis pun dikembalikan kepada rakyat jelata. Baca: https://geotimes.co.id/adios-companero-fidel/

Semangat anti-blok imperialis-kapitalis, kedekatan dengan blok komunis-sosialis, namun tetap independen dalam politik internasional. Itulah yang mengikat Sukarno dan Castro. Ditambah keduanya sama-sama lihai berpidato.

Sukarno mengunjungi Kuba pada 1960, memberikan Castro keris sebagai tanda hormat dari masyarakat revolusioner Indonesia. Keduanya saling berbagi canda, bahkan Sukarno mengatakan bahwa berewok lebatlah yang membuat Castro kesulitan mencari istri. Untuk pembicaraan politik, Sukarno berpesan yang intinya perjuangan rakyat Kuba belum selesai: Kuba harus berdiri di atas kaki sendiri, Berdikari!

Castro juga bertekad mengimpor api revolusi ke negara-negara lain yang ditindas kapitalisme. Ia memulainya secara meyakinkan dengan memukul balik Invasi Teluk Babi yang disponsori Amerika pada 1961. Pada 1962, ia menunjukkan kesungguhan tekadnya kepada raksasa kapitalisme dunia tersebut dengan mengizinkan Soviet menaruh misil-misilnya di Kuba, memicu Krisis Misil Kuba yang menjadi puncak konfrontasi Amerika dan Soviet selama Perang Dingin.

Agen-agen Kuba juga tersebar di Amerika Selatan, melatih para gerilyawan untuk melawan para diktator kapitalis di negara mereka masing-masing. Namun Che Guevara harus meregang nyawa ketika tertangkap dan dieksekusi tentara Bolivia pada 1967. Meski saat itu hubungan keduanya telah merenggang, sampai akhir hayatnya Castro masih menganggap Che sebagai sosok revolusioner kebanggaannya.

Afrika yang mengalami tren dekolonisasi selama Perang Dingin menjadi arena perjuangan Castro lainnya. Tentara Kuba hadir dalam berbagai perjuangan kemerdekaan Afrika, seperti di Aljazair, Mozambik, Namibia, Kongo, dan Guinea-Bissau.

Pada 1975, tentara Kuba berjasa mengamankan kemerdekaan Angola dengan memukul balik invasi gabungan pemerintahan apartheid Afrika Selatan dan Zaire yang disponsori Amerika. Bahkan Nelson Mandela mengakui bahwa kehadiran Kuba di Afrika sangat menginspirasi perjuangan meruntuhkan rezim apartheid di benua itu, khususnya di Afrika Selatan.

Amerika kesal setengah mati kepada Castro. Kuba diembargo Amerika sejak 1961 dan baru pada 2014 normalisasi hubungan kedua negara digagas. Pada Maret 2016, Presiden Obama pun mengunjungi Kuba, pertama kalinya bagi presiden Amerika sejak Calvin Coolidge pada 1928.

Castro yang keras kepala menanggapi kunjungan itu dengan skeptis. Dalam surat yang ia tulis berjudul El Hermano Obama, ia menyatakan bahwa “Kuba tidak butuh hadiah dari kekaisaran (baca: kapitalis Amerika)”.

Wajar jika Castro masih kesal kepada Amerika setelah serangkaian upaya pembunuhan berkali-kali dilakukan terhadapnya. Mulai dari meledakkan cerutu kegemarannya sampai upaya merontokkan berewok kebanggaannya itu, semuanya gagal.

Sang kamerad dari Kuba berjuang sepanjang hayatnya. Ia berjuang di Kuba, ia berjuang untuk dunia yang adil dan bebas, dan terakhir ia juga berjuang melawan penyakit dan usia tua. Kini, perjuangannya telah berakhir, Castro beristirahat dalam damai.

Silang pendapat berseliweran mengenai jalan hidup yang telah Castro pilih. Castro adalah seorang kamerad, pahlawan, tiran, diktator, dan penyelam andal. Menanggapi hal tersebut, mungkin Castro hanya berpesan, mengutip pledoinya pada 1953: “Kutuklah saya, karena itu tidak penting. Sejarahlah yang akan membebaskan saya.”

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.