Jumat, November 8, 2024

Perempuan dan “Gila Kerja” di Indonesia

N.M Dian N Luthfi
N.M Dian N Luthfi
Mahasiswi Fakultas Hukum UII, bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas. Tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, budaya, pendidikan, gender dan HAM.
- Advertisement -

Workaholic, kecanduan kerja atau gila kerja bukan menjadi sesuatu yang asing hari ini. Bagi sebagian orang, gila kerja adalah sesuatu yang positif atau bahkan dibutuhkan untuk mencapai cita-cita bernama kesuksesan. Dalam realitanya, tidak banyak yang memahami bahwa sesungguhnya gila kerja adalah kebiasaan yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan mental dan juga fisik seseorang.

Dikutip dari healthline.com, gila kerja atau workaholic pertama kali dikenalkan oleh seorang psikolog Amerika, Wayne Oates pada tahun 1971. Oates menjelaskan workaholic sebagai kebutuhan yang tidak terkendali untuk bekerja terus menerus. Selanjutnya Mat Glowiak, seorang konselor professional klinis, menjelaskan workaholic sebagai kecanduan kerja yang mana seseorang mengembangkan ketergantungan psikologis, emosional, dan sosialnya pada pekerjaan.

Fenomena ini memiliki kaitan erat dengan cara pandang kita terhadap seseorang yang giat bekerja, memiliki jabatan tinggi dan gaji besar. Maka gila kerja atau kecanduan kerja tak jarang dilakukan hanya untuk mendapatkan pengakuan dari perusahaan, teman, atau kerabat.

Kita mungkin akan cenderung puas dengan pengakuan-pengakuan orang lain, sehingga luput untuk mengakui diri sendiri. Mengakui bahwa dengan bekerja terlalu keras, banyak hal yang kita korbankan, terutama waktu untuk sendiri, memulihkan energi, bergabung dengan komunitas sosial, atau sekedar bersantai dengan keluarga.

Alih-alih mendapat untung atau bonus besar dari bekerja, para pecandu kerja yang mungkin tidak pernah sadar bahwa apa yang dilakukannya justru hanya memperkaya bos-bos besar di atasnya.

Sistem kapitalistik inilah yang membuat kita seakan-akan menikmati pekerjaan yang dalam realitasnya hanya mengalienasi kita dari lingkungan sekitar atau bahkan dari diri kita sendiri.

Gila Kerja di Indonesia

Dewasa ini, gila kerja bukan saja menjadi permasalahan mental-personal namun juga menjadi problem struktural yang perlu kita pahami bersama. Mulai dari konstruksi sosial masyarakat, kebiasaan-kebiasaan hingga peraturan perundang-undangan yang memberikan wadah bagi para gila kerja.

Di Indonesia, fenomena gila kerja ini sangat relevan dengan UU Cipta Kerja, khususnya kluster Ketenagakerjaan. Pasal-pasal yang dinilai bermasalah karena berpotensi mengubah kewajiban kerja menjadi lebih lama, upah rendah, dan aturan waktu kerja yang tidak jelas sehingga semakin besar terbukanya celah untuk mengekploitasi kaum pekerja.

Perempuan dan Gila Kerja

Mengutip dari healthline.com, kecanduan kerja lebih sering terjadi pada perempuan dan orang-orang yang menggambarkan diri mereka sebagai perfeksionis.

Dalam lingkungan masyarakat yang diskriminatif yang membatasi ruang kerja kaum perempuan sebatas dapur, sumur dan kasur, tak jarang kecanduan kerja kadang dilakukan oleh perempuan dilakukan untuk membuktikan eksistensi kaum perempuan pada masyarakat. Bahwa perempuan, punya hak, kemauan dan kemampuan yang sama dengan laki-laki.

- Advertisement -

Tidak hanya di masyarakat, di lingkungan kerja pun perempuan seringkali menjadi korban subordinasi penomorduaan perempuan dalam memperoleh atau menduduki posisi-posisi penting.

Selain itu, suasana kerja yang tidak sehat, seperti rentan menjadi korban pelecehan, gaji rendah, tidak adanya hak cuti haid atau melahirkan dan resiko dipecat dari pekerjaan. Faktor-faktor tersebut yang juga mendorong perempuan untuk tampil lebih agar dapat dipandang dan dipertimbangkan eksistensinya.

Tuntutan-tuntutan kultural yang melekat pada manusia yang terkontruksi sebagai perempuan, memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang mereka untuk bekerja yang akibatnya hari ini dapat dilihat pada kecanduan pekerjaan.

Workaholic bukan saja persoalan ketimpangan gender dalam konstruksi sosial, namun permasalahan yang dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan mental juga fisik.

N.M Dian N Luthfi
N.M Dian N Luthfi
Mahasiswi Fakultas Hukum UII, bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas. Tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, budaya, pendidikan, gender dan HAM.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.