Belum usai tangis sanak saudara korban tragedi Mina yang menewaskan hampir seribu orang, peristiwa tersebut telah memunculkan “tragedi” lanjutan: pertempuran opini tentang apa sebenarnya yang menjadi akar penyebab tragedi menyedihkan ini. Aktor utamanya tentu saja media-media khususnya yang berasal dari Timur Tengah.
Setidaknya ada dua kesimpulan yang bisa dibaca dari berita-berita serta opini yang dimuat di berbagai media tersebut. Pertama, kebanyakan media Iran, Lebanon, Turki, Inggris, Amerika Serikat, mengulas bahwa akar persoalan peristiwa tersebut adalah mismanajemen Arab Saudi serta komersialisasi penyelenggaran haji dengan standar pengelolaan yang tidak bergerak maju. Media-media Iran misalnya, mengkritik keras Arab Saudi dan meminta pengelolaan ibadah haji dikelola bersama oleh OKI (Organisasi Kerjasama Islam) agar lebih transparan.
Sebaliknya, beberapa media Arab bilang bahwa peristiwa ini terjadi karena ada jamaah, di antaranya dari Iran yang melawan arus dan menyebabkan kepanikan massal. Media-media ini mengutip otoritas pejabat Arab Saudi yang menyebut bahwa petugas keamanan sudah menjalankan tugasnya secara maksimal. Bisa dibaca dengan jelas bahwa susunan alur logika tersebut menyimpulkan bahwa tragedi ini adalah hasil konspirasi Syiah Iran.
Dengan fakta berbeda-beda dari media-media tersebut tentu sulit untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi di Mina kemarin sebelum ada investigasi serius dan terbuka. Apalagi di Timur Tengah spektrum ideologi antar media ini juga beragam yang tentu berpengaruh pada bangunan konstruksi realitas yang disusun. Untuk melihat hal ini anda bisa baca buku pengantar Mass Media in the Middle East (1994). Buku yang dieditori Yahya Kamalipour dan Hamid Mowlana ini memetakan profil media di 21 negara di Timur tengah, dari Afghanistan, Arab Saudi, Iran, Suriah, sampai Israel.
Menurut Kamalipour dan Mowlana, sejak dekade akhir di abad 19 sampai puluhan tahun kemudian, ada jenis media yang muncul di Timur Tengah yang kemudian menjadikannya terfragmentasi sampai saat ini. Pertama, media yang dipimpin atau dididik oleh media-media Barat dan mempromosikan ide-ide tentang sekularisme, nasionalisme, dan liberalisme.
Kedua, media yang dipelopori oleh kelompok-kelompok Islam tertentu yang memiliki tujuan menyatukan seluruh komunitas Islam di Timur Tengah. Jurnalisme menjadi senjata revolusi. Sejarah media di Timur Tengah adalah sejarah perubahan dari saluran komunikasi yang terbatas menjadi medium propaganda dengan pengaruh yang begitu besar. Dengan gradasi kelompok Islam yang begitu luas, pertempuran opini antar media ini menjadi tak terhindarkan.
Dengan latar belakang tersebut, tak terlalu susah membayangkan kenapa saat ini dalam tragedi Mina, media-media di Timur Tengah memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Meski begitu, berat untuk tidak melihat peristiwa ini (termasuk musibah crane di awal penyelenggaran haji lalu yang menewaskan ratusan orang) dalam konteks yang lebih luas mengenai pembangunan besar-besaran di Mekkah.
Tahun-tahun belakangan, kita melihat begitu pesatnya perkembangan pusat-pusat konsumerisme di tanah suci. Hotel-hotel tinggi dan toko-toko mewah dibangun (termasuk milik keluarga Paris Hilton) dan situs-situs bersejarah dihancurkan, Mekkah sudah menyerupai Las Vegas. Sementara, tragedi yang berujung kematian ketika penyelenggaran haji terjadi berulang kali. Bisa dikatakan bahwa ibadah Haji telah menjadi industri raksasa yang menguntungkan tuan rumah, namun rentan bagi para jamaah yang ingin beribadah dengan tenang. Menurut saya, konteks besar ini yang luput diberitakan secara utuh oleh sebagian media.
Apa yang kemudian ironis dari berita-berita media seperti saya sebut di atas adalah minimnya sikap skeptis dari media di Indonesia ketika merujuknya. Beberapa media di Indonesia, banyak merujuk berita-berita dari media di Timur Tengah tanpa verifikasi serius. Misalnya, ada berita tentang 28 petugas haji yang hari ini akan dipancung Raja Arab karena dianggap bersalah dalam peristiwa kemarin. Beberapa media online dan cetak di Indonesia menyebut sumber berita tersebut adalah “seorang jamaah haji asal Indonesia yang mendengar berita dari pengadilan”.
Ini kesalahan yang fatal. Bagaimana mungkin untuk isu seserius itu sumbernya sulit diverifikasi dengan modal “katanya”? Padahal jika tidak malas dan mau mencari lebih jauh melalui mesin pencari, segera bisa ketahuan kalau sumber berita itu dari media nasionalis Lebanon yang memiliki tendensi anti-Arab Saudi. Dari sumber aslinya pun sulit artikel itu disebut sebagai berita. Lebih tepat disebut sebagai rumor.
Kesalahan semacam ini sering menghinggapi media-media di Indonesia khususnya media online ketika memberitakan berbagai kejadian di negara lain dengan rujukan media luar. Lebih ironis karena kesalahan-kesalahan tersebut jarang sekali direvisi, apalagi sampai meminta maaf. Padahal jika merujuk pada aturan pedoman media siber, cukup jelas tertera bahwa setiap ralat atau revisi berita bisa dilakukan. Dan dalam setiap ralat atau revisi perlu diberi keterangan sehingga pembaca bisa mengetahui apa yang diubah.
Dalam konteks tragedi Mina ini, kesalahan-kesalahan semacam ini menyebabkan munculnya tragedi kedua. Tragedi pertama adalah ratusan jamaah yang meninggal dan yang mengalami luka-luka. Selanjutnya adalah para pembaca berita yang semakin bingung, atau bisa saja tertipu dengan berita-berita ini. Hal ini pada tahap yang lebih jauh tentu menyedihkan karena bisa menjadi bahan bakar bagi kelompok-kelompok intoleran yang gemar membagikan fitnah. Ia tentu semakin menjauhkan kita dari substansi persoalan karena sejak sebuah informasi diberikan prasangka atau label tertentu, ia pada dasarnya sudah menutup ruang untuk diskusi. Apalagi mengambil hikmah dan pelajaran dari sebuah musibah.
Saya percaya bahwa setiap media memiliki kepentingan ekonomi politik di belakangnya. Ini yang menjelaskan kenapa berita-berita akan memiliki sudut pandang berbeda meskipun peristiwanya sama. Ini yang menyebabkan sulitnya mengharap media untuk menyampaikan fakta apa adanya. Namun, ternyata memang lebih sulit lagi membaca berita-berita dengan akal sehat.