Hari-hari ini energi kita seperti habis terkuras untuk menilai pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (selanjutnya: Ahok) di Kepulauan Seribu dan reaksi-reaksi atasnya. Mudah-mudahan ini proses growing pain yang harus kita lalui: kita mengalami kesakitan karena kita sedang tumbuh sebagai komunitas dan bangsa yang lebih dewasa.
Untuk alasan itulah saya menulis urun rembuk ini. Sama sekali tidak ada niat di hati saya untuk memperkeruh suasana. Dalam lima butir pokok pikiran di bawah, saya mengajak pembaca untuk merenungkan kasus ini dengan kepala dingin. Yang dipertaruhkan bukan saja nasib Ahok dan Jakarta, tapi juga masa depan Bhinneka Tunggal Ika dan demokrasi kita secara keseluruhan.
Yang pertama adalah yang paling sulit saya katakan tapi juga yang paling kokoh saya yakini: Ahok tidak menista agama. Pemeriksaan yang hati-hati atas seluruh konteks dan isi pernyataannya menunjukkan bahwa dia tidak sedang menista agama lain.
Dalam hal ini saya bersyukur bahwa Tempo, majalah yang sangat kritis kepada Ahok, juga punya penilaian yang sama. Penilaian sejenis juga sudah disampaikan Buya Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Mochtar Pabottingi, dua cendekiawan terkemuka yang tak pernah diragukan dedikasi dan integritasnya. Beberapa tokoh lain saya tahu juga punya penilaian yang sama, meskipun mereka tidak mau menyatakannya secara terbuka, karena pekanya masalah ini.
Meski demikian, kedua, saya juga menilai bahwa pernyataan Ahok bisa dan sudah melukai perasaan kelompok-kelompok tertentu. Mereka bukan hanya Muslim, tapi juga kelompok-kelompok non-Muslim yang peduli dan sudah bekerja keras untuk memperjuangkan koeksistensi damai di antara para pemeluk agama yang berbeda di Indonesia. Mereka merasa, Ahok sudah ikut campur dalam urusan kelompok agama lain.
Ahok sendiri sudah minta maaf. Baik sekali jika dia menyediakan waktu untuk terus memperluas langkah terpuji ini dan menegaskan maksudnya. Misalnya dengan mendatangi bukan saja pimpinan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, atau Majelis Ulama Indonesia, tapi juga pimpinan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Ketika menulis bagian-bagian ini, saya teringat wajah-wajah mereka: sementara tak terbiasa bicara dengan media massa, energi mereka terus terkuras untuk menenangkan komunitas masing-masing.
Ketiga, karena alasan-alasan di atas, mentersangkakakan Ahok dengan alasan penistaan agama adalah kriminalisasi yang tidak adil. Ini juga berbahaya, karena kasus ini akan menambah daftar panjang kriminalisasi atas orang-orang yang sebenarnya sedang menyatakan hak mereka untuk beragama atau berpendapat, tetapi oleh pihak lain (biasanya mayoritas) dianggap sedang menyebarkan kesesatan dan mengancam.
Seperti sudah berkali-kali dilaporkan lembaga pemantau seperti Setara Institute, Wahid Foundation, atau Amnesty International, pasal “Penodaan Agama” sering menjadi pasal “karet”—dan biasanya, hukum (negara) tunduk kepada tekanan mayoritas. Jika Ahok, yang elite, bisa dikriminalisasi, bagaimana dengan rakyat biasa? Jika Ahok bisa dikriminalisasi di Jakarta, mengapa seseorang seperti Zainal Abidin tidak bisa dikriminalisasi di Papua atau Nusa Tenggara Timur?
Keempat, upaya politisasi apa pun agar Ahok, karena alasan di atas, gagal menjadi salah satu kandidat dalam Pilkada DKI adalah upaya yang tidak fair bukan saja bagi Ahok, tapi juga bagi para pendukungnya. Ini juga akan merugikan demokrasi kita, karena demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang membuka kemungkinan bagi siapa pun untuk dipilih sebagai pejabat publik.
Dalam konteks ini, untuk para penentangnya, hukuman yang adil bagi Ahok adalah dengan tidak memilihnya dalam Pilkada DKI. Akan sangat terpuji juga jika pesaing Ahok meng-clear-kan masalah ini, tidak malah “memancing di air keruh”. Katakan secara terbuka, “Mohon Pak Ahok dibebaskan dari kriminalisasi terkait penodaan agama. Biarkan kami bersaing dengannya secara adil. Pilihlah kami, karena kami lebih baik dari Pak Ahok dalam A, B, atau C!!!” Ini semua akan memperkokoh demokrasi kita.
Kelima, kemarahan terhadap Ahok dalam kasus ini, seperti tampak dalam peristiwa demonstrasi 4 November lalu, berhimpitan dengan kekecewaan kepada sejumlah kebijakan Ahok sebagai Gubernur DKI, misalnya yang terkait penggusuran dan reklamasi. Yang pertama terkait penghormatan kita akan keragaman, yang kedua terkait dengan masalah keadilan sosial ekonomi.
Kita harus mengakui bahwa masalah-masalah ini ada—nyata, real! Sementara kita harus dapat memilah-milah beragam alasan ini, kita juga tidak boleh mendahulukan yang satu dari yang lainnya. Kita harus melangkah melampaui fans Ahok atau pembenci Ahok, beyond lovers and haters. Harus ada ruang di mana kebijakan publik diperdebatkan sepanas-panasnya: untuk dicari titik-titik temunya; kecil tak apa, asal terus diperbesar.
Akhirnya, penting diperhatikan bahwa keputusan apa pun terkait kasus ini akan mempengaruhi segala aspek kehidupan di republik ini, melampaui Jakarta. Perasaan terancam saudara-saudara kita keturunan Tionghoa di Jakarta, pada 4 November lalu, juga dirasakan oleh saudara-saudara Muslim teman saya di Tolikara, Papua, dan Manado, Sulawesi Utara.
Penumbangan Ahok secara paksa di Jakarta, jika terjadi, akan menjadi preseden buruk bagi upaya-upaya sejenis di pilkada-pilkada lain di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah yang komposisi etnis dan religiusnya serupa dengan Jakarta.